MOJOK.CO – Kamar kosan yang saya huni menyimpan jejak darah yang tak terduga. Suara jeritan di tengah malam itu menjadi tanda bagi saya untuk segera pindah.
Kala itu tahun 2006, ketika hiburan mayoritas anak kosan masih berupa radio. Hanya segelintir yang memiliki televisi di kamarnya, sudah begitu masih memakai antena dalam yang kudu digoyang untuk mendapatkan gambar.
Kosan khusus mahasiswi yang saya tempati berada di salah satu gang buntu sebuah komplek perumahan besar di Jogja. Sederet rumah yang berjajar satu sisi dengan bangunan kosan tersebut juga dialihfungsikan sebagai kos mahasiswa oleh pemiliknya. Kebetulan, properti di sebelah kos saya dimiliki oleh ketua RT setempat. Sementara itu, di sisi belakang bangunan adalah pemakaman warga.
Kesan pertama masuk kosan itu
Pertama datang, satu-satunya kamar yang tersisa berada di ujung lorong lantai dua. Sempit, tapi sirkulasi udaranya baik. Harga sewanya 250 ribu rupiah sudah termasuk listrik dan air.
Kamar mandinya komunal, tetapi ada istri penjaga kosan yang selalu membersihkan setidaknya seminggu sekali. Bukan pilihan buruk, apalagi itu kali pertama pengalaman mencari kos di kota rantau. Jadilah saya memutuskan untuk tinggal di situ.
Lebih-lebih, kamar ujung mempunyai keunggulan bebas dari lalu lalang orang. Saat saya bertanya kepada penjaga kosan mengenai siapa tetangga sebelah kama, dia hanya mengatakan bahwa penyewanya jarang di kos karena rumahnya berada di Magelang. Praktis, dia lebih sering pulang kampung ketimbang bengong di kamar.
Berikut denah kosan putri yang saya huni:
Tidak ada yang aneh selama hampir satu tahun tinggal di sana. Semua berjalan seperti kehidupan anak kosan pada umumnya di zaman itu. Sesekali, saya melihat tetangga kamar datang. Dia ramah, tapi kami tidak dekat karena intensitas bertemu yang jarang. Bukan masalah sebab poin utama saya memilih kos ini adalah nggak ada jam malam dan harga sewa murah. Sempurna menurut hemat saya.
Namun, suatu ketika, ada kejadian yang membuat saya tidak berpikir dua kali untuk segera mencari kosan lain sesegera mungkin
Harum yang misterius
Masih teringat jelas kejadian sore itu. Padatnya kuliah membuat saya baru pulang pukul lima sore. Merasa bau badan tidak bersahabat, saya memutuskan segera mandi agar bisa beristirahat lebih awal. Saat melewati lorong untuk mencapai kamar mandi bersama di ujung lorong lainnya, tercium bau yang sangat wangi. Bukan wangi bunga, tetapi lebih seperti harum dupa. Mungkin Ida yang beragama Hindu sedang berdoa, pikir saya.
Berhubung tubuh rasanya sangat lengket, saya mandi cukup lama karena keramas sekaligus luluran. Saya selesai mandi kira-kira menjelang Magrib. Ketika keluar dari kamar mandi, tampak Ida tengah membereskan cucian bajunya. Basa-basi, saya membuka obrolan dengan bertanya apakah dia baru saja selesai beribadah mengingat tadi ada wangi dupa yang kuduga berasal dari kamar bawah.
“Nggak, Mbak. Saya baru pulang,” jawab Ida sopan sembari menjemur bajunya.
Mendengar jawaban itu, saya agak kaget, tapi nggak mau ambil pusing. Lagipula, saya bertanya sekadar menyapa sesama penghuni kosan saja. Ditambah lagi, badan rasanya sudah sangat capek sehingga ingin langsung rebahan saja. Sampai-sampai, saya ketiduran sampai melewatkan makan malam. Tak disangka, wangi misterius itulah awal terkuaknya rahasia kelam kosan ini.
Suara lengkingan dari arah tangga
Entah karena kelelahan atau memang “kebo”, saya baru terbangun pukul sembilan pagi hari berikutnya. Untungnya, kuliah hari ini diadakan siang. Masa itu belum marak food delivery sehingga mau tak mau, saya harus memasak mie instan di dapur bawah untuk sarapan. Saya lapar sekali lantaran semalam perut tidak diisi.
Sesampainya di dapur, terlihat Mbak Inah, istri penjaga kosan yang sepertinya hendak bersiap pergi. Mencoba bersikap sopan, saya menegur Mbak Inah.
“Mau ke mana, Mbak?” Saya bertanya sambil meraih panci yang disediakan di dapur umum.
“Eh, mau ke sebelah, Mbak. Bu RT nggak ada,” terang Mbak Inah lalu berpamitan.
Jelas, maksud Mbak Inah dengan “nggak ada” adalah meninggal dunia. Seingat saya, anak-anak kosan tidak ada yang melayat. Mungkin karena tinggal di komplek perumahan, kepedulian kami terlihat kurang bila dibandingkan dengan kos yang terletak di perkampungan. Hari itu, semua penghuni kos sibuk dengan agenda masing-masing.
Kabar meninggalnya Ibu RT menyebar ke seluruh telinga anak kosan malam itu. Namun memang tidak ada satu orang pun yang membahasnya lebih lanjut. Toh, semuanya tampak wajar. Justru yang tidak wajar adalah perilaku kami yang kurang empati. Bisa jadi, kejadian mengerikan yang akan menimpa kami malam itu adalah salah satu teguran untuk lebih peduli pada lingkungan sekitar.
Malam itu suasana kosan sunyi sekali. Sialnya, mata saya malah terbuka lebar. Daripada menganggur, waktu senggang itu saya manfaatkan untuk mencicil tugas kuliah yang dikumpul minggu depan. Seperti biasa, TV dibiarkan menyala begitu saja, tanpa ditonton. Saya masih bisa mengingat acara yang ditayangkan yaitu FTV di SCTV yang sudah pernah diputar pagi hari.
Penunggu yang mulai mengganggu
Tidak terasa, jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Kantuk tak juga datang, malah saya semakin fokus mengerjakan tugas. Ketika tengah asyik mengetik, sayup-sayup terdengar suara lengkingan dari bawah. Antara jeritan dan tawa. Entahlah. Fokus saya saat itu ada adalah layar laptop.
Berhubung suara perempuan, saya yakin itu adalah suara salah satu teman yang mungkin masih bercanda dengan teman kosan lainnya. Namun, dugaan saya ternyata salah besar.
“Semalam dengar?” Pagi itu Hana menghampiri saya saat tengah memasak air untuk membuat kopi di dapur bawah. Matanya memicing seolah menelisik sesuatu. Saya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.
“Maksudmu teriakan? Dengar kalau itu,” pungkas saya. “Ada gosip apa?”
Anak-anak bawah memang suka berkumpul di ruang televisi. Kadang, obrolan mereka baru selesai menjelang larut malam. Jujur, saya yang kamarnya di pojokan atas agak-agak malas ngumpul ke bawah kalau sudah nyaman di kamar. Anehnya, Hana tak kunjung juga membalas candaanku. Dia justru terlihat ragu-ragu menjawab.
“Kenapa, Han? Ada salah omong, ya? Sori, bercanda,” saya mencoba mencairkan suasana.
“Ngg…nggak. Cuma, semalam itu bukan suara anak-anak. Yang ketawa kenceng semalam itu, ‘Mbak’ yang di bawah tangga. Makanya kami di bawah langsung tidur bareng satu kamar. Emang anak atas nggak takut?” Hana balik bertanya. Sekejap, hasrat saya menikmati kopi langsung lenyap.
Kamar kosan bekas aborsi
Saya paling tidak bisa menoleransi hal-hal gaib di kosan. Terlebih, sebelah kamar saya sering kosong. Tanpa buang waktu, hari itu juga saya langsung mencari info kosan putri ditemani salah seorang teman kampus. Untungnya langsung dapat meski harganya dua kali lipat dari kos saya sekarang. Okelah, daripada senggolan sama hantu.
Setelah menemukan kosan yang baru, saya langsung mencicil berkemas dan pindahan. Malamnya, saya numpang tidur di rumah teman. Hari kedua saya berkemas, Kak Mira, kakak tingkat di kampus sekaligus penghuni salah satu kamar kos di bawah, datang ke kamar dan berbaik hati menawarkan diri membantu mengemasi barang-barang yang tersisa.
“Karena kamu pindah, saya cerita, ya?” Kak Mira mengalihkan obrolan ke topik lain ketika separuh barang saya sudah masuk kardus. “Sebenernya mau ngomong dari dulu, cuma kakak nggak tega bilangnya.”
Saya mengernyitkan dahi. Sama sekali nggak paham.
“Kamarmu ini rasanya sempit, kan?” Lanjut Kak Mira dengan pertanyaan retoris.
“Jadi, kamar ini sebenarnya hasil dibagi dua dengan kamar sebelah. Aslinya luas. Hanya, sejak ada kasus aborsi di kamar kos ini, ruangannya direnovasi jadi dua kamar. Kamarmu ini harusnya emang nggak boleh ditempati siapa saja soalnya ada anak kecil yang suka duduk di atas lemari pakaian. Syukur, deh, kalau kamu nggak diganggu.”
Detik itu juga, dada saya menjadi sangat dingin. Kak Mira malah tersenyum….
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ramadan di Tangerang: Sleep Paralysis Paling Aneh dalam Hidup Saya dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.