Selama ini, yang saya tahu, cerita horor selalu identik dengan malam, gelap, dan sepi. Sehingga tempat-tempat seperti rumah kosong, kuburan, atau hutan-hutan tak terjamah banyak dipakai sebagai lokasi film atau cerita horor. Namun, cerita seram yang saya temui malah hadir dari kisah cinta sekolahan.
Cerita ini tentang kuyang. Buat yang masih asing, kuyang itu kurang lebih kuntilanaknya Kalimantan. Makhluk gaib jelmaan wanita jadi-jadian yang hanya berupa kepala dan organ dalamnya. Biasanya makhluk ini mengincar darah ibu hamil dan bayi sebagai santapannya.
Umumnya, kuyang berpraktik di malam hari. Menurut kepercayaan orang Kalimantan, sisa badan dari si wanita jadi-jadian ini ketika dia sedang ‘terbang’ berada di balik pintu rumahnya. Karena jadi-jadian, pada siang hari kuyang juga beraktivitas layaknya manusia biasa. Nah, salah satu cara ampuh mengidentifikasi kuyang di antara perempuan lain adalah lewat lehernya. Jika terdapat tanda merah seperti bekas luka yang mengelilingi leher seorang wanita, bisa dipastikan dia adalah kuyang.
Tumbuh dan besar di Kalimantan, saya merasa jauh lebih dekat dengan kuyang ketimbang makhluk seram lain seperti pocong, tuyul, atau wewe gombel. Ya gimana mau seram dengan cerita bambu berderik, orang bambu aja nggak banyak tumbuh di pulau ini. Cerita tentang kuyang pun tak hanya seputar urban legend, tapi juga kesaksian teman dan saudara yang melihatnya langsung, juga berita-berita di koran. Sampai di era milenial ini, foto dan video kuyang juga ikut beredar antar grup Whatsapp sampai akun instagram lokal.
Nah, pada suatu hari, saya melakukan perjalanan ke luar kota bersama beberapa orang. Salah seorang ini, sebut saja Udin, adalah seorang laki-laki berusia empat-puluhan yang sangat supel. Sepanjang perjalanan, Udin inilah yang mendominasi pembicaraan dengan cerita-cerita lucunya. Pada saat melewati sebuah daerah, Udin pun terkenang masa lalunya ketika sekolah SMA di sana.
Daerah yang saya lewati ini (lebih baik tidak usah disebutkan), memang terkenal dengan cerita-cerita mistis yang didominasi oleh perempuan-perempuan ‘berilmu’. Mungkin karena daerah ini dekat dengan daerah pertambangan, cerita-ceritanya pun cenderung serupa. Yang paling populer: seorang laki-laki pekerja tambang berpacaran dengan perempuan lokal. Ketika masa kerjanya habis si lelaki kembali ke pulau asalnya dan meninggalkan si perempuan. Perempuan itu merasa dikhianati, lalu menjampi-jampi si lelaki sehingga tititnya lepas dan digatung di dinding kamarnya. Alhasil, si lelaki di sana tak bisa lagi berhubungan intim dengan wanita lain.
Kembali ke kisah Udin. Ketika melewati daerah tersebut, Udin bercerita pengalaman kisah kasih di sekolahnya. Waktu itu, Udin kepincut seorang siswi kelas sebelah yang wajahnya mirip Tamara Bleszynski. Awalnya lirik-lirikan, kirim-kirim salam, sampai saling kirim surat yang wangi sekali karena dikasih parfum. Duh, semut merah yang berbaris di dinding pun malu saat pertama kali tangan keduanya bersentuhan di depan kelas.
Sama seperti pemuda kebanyakan pada hari-hari tertentu, Udin apel ke rumah pacar dan pacaran di depan teras. Udin pun mengaku suka dengan teras rumah pacarnya itu.
“Teras itu lampunya temaram, lampu merah yang gelap. Terus di kelilingi banyak tanaman, jadi kalau kita duduk di teras itu nggak kelihatan,”ujar Udin, cekikikan.
Namun sayangnya, niat Udin untuk bermesraan karena merasa ada kesempatan itu susah terlaksana. Ketika malam sudah mulai sepi, sang pacar selalu mengusirnya supaya pulang. Alasannya, si pacar mau mengerjakan PR. Udin sempat kesal, karena ketika di sekolah si pacar malah sering ditegur guru karena tidak mengerjakan PR. Namun kekesalan itu hilang ketika suatu malam si pacar mau diajak bermesraan.
“Dia itu kalau di rumah selalu pakai syal di lehernya, kayak di fim-film Grace Kelly. Jadi waktu itu kan aku mau, aduh … hahahaha,” kata Udin, kembali terkekeh, “Ya kalian ngertilah anak muda. Pengin juga nyium selain pipinya.”
Kami yang lain sama-sama paham dan ikut tertawa. Lalu Udin melanjutkan.
“Jadi, aku coba tarik syalnya. Dia diam aja. Tapi pas aku dekatin lehernya, astagaaa … ada luka di sekeliling lehernya! Kuyang ternyata dia!”
Maka terkuaklah sudah perilaku-perilaku pacar Udin yang selama ini menjadi misteri. Misal waktu sang pacar yang mau mengerjakan PR, ternyata itu adalah waktu si pacar untuk beroperasi. Udin lalu paham mengapa si pacar tampak lesu setiap sekolah, dikarenakan sepanjang malam dia harus lembur menjadi kuyang. Begitu pula dengan syal di leher, itu bukanlah fashion statetment 90-an yang terlambat datang seperti yang Udin kira. Pun teras yang gelap dan dikelilingi oleh tanaman, tak lain dan tak bukan untuk melindungi tubuh si pacar di balik pintu ketika sedang terbang.
Kisah berpacaran dengan kuyang yang rawan dusta itu pun dipertanyakan oleh teman-teman lain di mobil. Namun Udin berkukuh bahwa cerita itu benar. Dia bahkan bercerita bahwa pacarnya itu sebenarnya tak mau jadi kuyang, tapi dia harus menerima ‘kekuyangan’ yang diturunkan dari ibunya yang ingin pensiun.
Si Udin menyebutkan siapa ibu si pacar, yang merupakan istri seorang bapak yang memiliki jabatan di daerah itu. Identitas ibu itu dikonfirmasi oleh seorang teman lain yang asli daerah dekat situ. “Oh, iya ibu itu dari dulu kabarnya memang kuyang,” ujarnya, membenarkan.
Kisah cinta itu harusnya kandas di situ. Namun Udin mengaku tak ingin meninggalkan si pacar hanya karena dia kuyang. Maka sebagai pacar yang baik, Udin pun membantu si pacar menyeimbangkan job malam dan sekolahnya. Waktu apel kadang diisi dengan mengerjakan PR bersama, leher berkeliling luka itu pun tetap dicupang Udin sepenuh hati. Dia bilang, cintanya lebih besar daripada perbedaan macam itu.
“Halaaah … paling-paling kamu takut burungmu lepas, kan?” celetuk seorang teman.
Udin cuma meringis, mesam-mesem. Dia mengaku, akhirnya memang pacarnyalah yang memutuskan hubungan mereka.