Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan

Tangis Buruh Gendong Pasar Giwangan di Antara Berat Pikulan Keranjang

Hammam Izzuddin oleh Hammam Izzuddin
14 September 2023
A A
buruh gendong pasar giwangan jogja. MOJOK.CO

Ilustrasi buruh gendong yang kuat meski memikul beban berat (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Buruh gendong di Pasar Giwangan hidup di tengah keterbatasan. Seorang buruh sampai menitikan air mata saat mengingat beban yang harus dipikul setiap hari demi keluarga.

***

Seorang perempuan paruh baya berjalan sambil memanggul keranjang di punggungnya. Keranjang dengan muatan buah semangka dengan ukuran cukup besar. Ia melangkah pelan dari dalam bangunan pasar menuju sebuah mobil bak terbuka di parkiran.

Usai meletakkan keranjang berisi semangka tersebut. Perempuan buruh gendong segera kembali ke dalam. Lalu dalam sekejap sudah kembali mengangkat kardus berisi mangga menuju mobil yang sama.

Selepas itu, seorang lelaki menyerahkan beberapa lembar uang. Buruh gendong itu lalu sedikit mengangguk, mulutnya tampak mengucap terima kasih lalu kembali melenggang ke dalam los pasar.

Pemandangan itu terlihat saat saya sedang duduk di sebuah angkringan di Pasar Giwangan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Di tempat buah dan sayur dari berbagai daerah terdistribusi ke segala penjuru Jogja ini para buruh gendong mencari rezeki. Sebagian dari mereka merupakan perempuan paruh baya yang sudah punya cucu. Sehingga di tempat ini mereka biasa disapa “Mbok Gendong”.

Dari angkringan saya lalu melangkah ke dalam melihat kesibukan para buruh gendong yang sedang menunggu panggilan dari para pemborong buah-buahan. Jumlah mereka dari amatan saya sekitar belasan orang. Namun, data dari Dinas Perdagangan DIY menyebut jumlah buruh gendong di Pasar Giwangan mencapai 134 orang.

Mereka tampak akrab dengan juragan buah di pasar. Bagaimana tidak, puluhan tahun mereka telah hidup saling berdampingan.

Tangis buruh gendong sembari tersandar di peti buah

Di antara para buruh itu, saya kemudian berbincang dengan sosok Ruminem (55) dan Ngatini (50). Keduanya sama-sama berasal dari Lendah, Kulon Progo.

Ruminem pulang ke Kulon Progo tiga hari sekali. Menaiki Bus Mulyo Jurusan Jogja-Purworejo yang melewati daerahnya. Saat tidak pulang ia tidur di sekitar pasar.

“Di sana alasnya pakai peti buah ini dijejer seperti dipan,” ujarnya seraya menunjuk sudut los pasar.

Ada beberapa buruh gendong yang kerap bermalam di emperan los pasar. Selain itu, ada yang memutuskan mengontrak rumah bersama-sama agar biayanya ringan. Kebanyakan di antara mereka berasal dari Kulon Progo.

Pasar sudah jadi bagian tak terpisahkan dari ibu lima anak ini. Dulu, sebelum Pasar Giwangan resmi beroperasi pada 2005, ia sudah menjadi buruh di pasar buah dekat Pasar Beringharjo. Ruminem hijrah setelah pasar itu mengalami relokasi ke tempat ia berdiri saat ini.

Ada kisah pilu tentang awal mula ia mulai menjadi buruh gendong di pasar. Ruminem, mulanya seorang ibu rumah tangga yang merawat anak-anaknya. Sekitar tahun 2000, saat anak kelimanya berusia setahun ia harus ikut bekerja.

Iklan

Ia masih ingat momen-momen itu. Suatu hari, uang Rp20 ribu yang suaminya beri tidak cukup untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

“Uangnya sudah habis, sabun untuk cuci baju belum terbeli,” kenangnya.

Ruminem lantas bercerita kepada suaminya bahwa uang itu belum mencukupi. Suaminya hanya buruh serabutan di desa. Namun, bentakan justru ia dapat dari lelaki itu.

buruh gendong.MOJOK.CO
Sosok Ruminem, buruh gendong di Pasar Giwangan (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Nada suara Ruminem jadi berat saat menceritakan penggalan kisah hidupnya itu. Matanya memerah menyiratkan berat kenangan yang sudah terlewati lebih dari dua dekade silam.

“Saat itu saya nggak kuat dengan bentakan dan omongan kasar suami. Saya ingin buktikan bisa cari uang sendiri,” ujarnya bergetar. Air menetes dari pelupuk matanya. Ia menunduk, mengusap wajah, tak ingin terlihat lemah.

Jalani beratnya hidup demi anak

Akhirnya, ia memutuskan berangkat ke Pasar Shoping samping Beringharjo untuk mengadu nasib menjadi buruh gendong. Keputusan yang berat. Sebab, ia harus meninggalkan anaknya yang belum bisa bicara.

“Di Shoping saya tiga hari nggak makan. Saya saat itu juga sedang masa menyusui, di pasar ASI mengucur terus,” ungkapnya.

Masa awal menjadi buruh terbilang berat. Setiap pulang ke rumah, Ruminem tak ingin berhenti memeluk dan menimang anak yang kemudian ia titipkan di rumah orang tuanya.

Saat anaknya beranjak tumbuh, saat pulang sesekali ia membawakan baju baru. Riang sang anak saat Ruminem sampai rumah jadi pelipur berat setelah berhari-hari berpisah dan menghadapi lelahnya pekerjaan fisik di pasar.

Setiap hari, sejak subuh hingga jelang sore hari Ruminem bersama para buruh gendong lain siap sedia di sekitar los-los buah. Menanti panggilan untuk membantu memikul belanjaan dari para pembeli.

Saat ini, sekali membantu menggendong belanjaan ia mendapat upah Rp5 ribu. Terkadang, ada yang memberi upah di bawah itu, tapi para buruh tetap mencoba bernegosiasi.

pasar giwangan.MOJOK.CO
Deretan penjual buah di Pasar Giwangan (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Orang yang berbelanja di pasar mungkin banyak. Namun, barang bawaan harus dibagi kepada para buruh yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Bersyukur buruh gendong bisa sekolahkan anak hingga SMA

Sehari Ruminem mengaku bisa mengantongi Rp30-50 ribu. Terkadang lebih tapi tak jarang juga kurang dari itu.

“Nggak menentu. Apalagi pas corona dulu. Sepi sekali,” keluhnya.

Namun, Ruminem bersyukur karena pekerjaan ini bisa membuatnya menyekolahkan anak ketiga, keempat, dan kelima sampai jenjang SMA. Dua anak pertamanya, tidak sampai lulus SD karena keterbatasan.

Sekarang perempuan ini juga sudah punya cucu. Usianya sudah semakin tua. Namun, ia belum ingin berhenti bekerja.

Ngatini, perempuan lain yang sedari tadi menyimak, akhirnya ikut bercerita. Kedua buruh gendong ini masih terbilang kerabat di kampung. Sering pulang bersama menaiki bus.

Sebelumnya, Ruminem mengaku beruntung karena selama menjadi buruh gendong tidak pernah mengalami cedera serius. Lain cerita dengan Ngatini yang pernah keseleo saat memikul peti berisi jambu.

“Dulu mikul jambu, saat mau menaikkan ke atas mobil saya malah menggelimpang. Boyoke ora kuat,” ujarnya.

Punggungnya seperti terkilir. Namun, Ngatini memutuskan tetap bekerja keesokan harinya. Alhasil kondisinya semakin parah dan ia memutuskan pulang. Saat pulang ke rumah ia baru memijatkan punggungnya ke tukang urut.

Pada waktu itu ia harus beristirahat selama sepekan sebelum akhirnya berangkat lagi ke Pasar Giwangan. Saat mulai bekerja, punggungnya belum pulih sepenuhnya.

“Ya tapi syukur lama-lama jadi mendingan,” tuturnya.

Dapat layanan kesehatan rutin

Selain terkilir, para buruh gendong sering mengalami sakit di kaki. Ngatini mengaku kakinya kerap kaku hingga sulit menekuk. Baginya hal itu sudah jadi risiko dari pekerjaan yang harus ia rasakan.

“Kakinya yang sakit tapi rasanya badan jadi nggak enak semua kalau lagi seperti itu,” keluhnya.

Beruntungnya, para buruh gendong mendapat layanan kesehatan rutin setiap bulan dari beberapa lembaga. Saat ada petugas yang datang Ruminen, Ngatini, dan rekan-rekannya bisa menyampaikan keluhan seputar kesehatan. Mulai dari pengecekan gula darah hingga asam urat.

buruh gendong.MOJOK.CO
Ngatinini sedang memindahkan peti dari pikulannya ke mobil (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

 

Kami tidak bisa berlama-lama berbincang, sebab para buruh gendong kembali mendapat panggilan untuk memikul belanjaan. Ngatini bergegegas mengangkat sebuah peti berisi jeruk menuju mobil bak terbuka. Buah itu hendak dibawa ke Imogiri, Bantul.

Sudah berat-berat membawa, setibanya di mobil, sopir tidak tampak batang hidungnya. Ngatini pun mengeluh sambil membungkuk, “Walah.. ndi ki sopire.”

Orang-orang di sekitarnya lalu berteriak memanggil sopir tersebut. Tak berselang lama, sopir itu keluar dari toilet. Berlari sambil membenakkan resleting celana yang belum tertutup sempurna. Ia langsung melompat ke bak mobil dan menerima memindahkan peti dari punggung Ngatini.

Selepas mendapat upah, Ngatini langsung menyusul Ruminem yang sudah berada di pojok los. Di sekitar peti yang tertata dan bertumpuk mengelilingi. Seperti bilik kamar namun jauh dari kata layak. Di sanalah mereka beristirahat.

Penulis : Hammam Izzuddin
Editor  : Agung Purwandono

BACA JUGA Buruh Gendong, Kartini Pasar Beringharjo yang Jariknya Sobek Setiap 5 Bulan

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Terakhir diperbarui pada 14 September 2023 oleh

Tags: buruhburuh gendongJogjaPasarpasar giwanganperempuan
Hammam Izzuddin

Hammam Izzuddin

Reporter Mojok.co.

Artikel Terkait

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO
Liputan

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO
Ekonomi

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO
Liputan

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.