Di musim penerimaan mahasiswa baru kayak sekarang, yakin deh, nggak sedikit calon mahasiswa yang pasti pernah googling “kampus terbaik di Indonesia”. Hasilnya, mereka bakal nemuin bahwa Google menempatkan berurutan kampus terbaik di Indonesia adalah: Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Diponegoro (Undip), dan seterusnya. Kuliah di UGM sounds legit. Hm….
Singkirkan dulu soal valid nggaknya peringkat universitas terbaik versi halaman pertama Google tersebut. Khusus UGM, secara urban legend kampus satu ini emang udah dicap sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia (meski 2018 lalu mereka dihantam kasus pelecehan seksual saat KKN yang penyelesaiannya berlarut-larut dan bikin kecewa). UGM bagi masyarakat luas memang terkenal sebagai alma maternya kaum-kaum elit nasional. Sri Sultan Hamengkubuwono X, Ganjar Pranowo, Hotman Paris Hutapea, sampai dr. Tirta Presiden Joko Widodo, mereka semua adalah alumnus Universitas Gadjah Mada.
Pertanyaannya, terutama buat kamu yang sedang mengincar masuk UGM atau pernah pengin jadi mahasiswa di situ tapi gagal, emang kampus kayak UGM isinya orang-orang pintar dan baik budi semua? Apakah UGM memang seagung itu?
Sebagai pengantar, sebuah thread di Twitter yang sempat ramai diperbincangkan pada 2018 lalu tampaknya bisa ngasih sedikit cerita buat menjawab pertanyaan apakah anak UGM pasti pinter semua.
Thread tersebut ditulis mahasiswa UGM bernama Fuad Dwi Rahmawan (@fuadder). Ia menceritakan pengalaman nahas bin konyol yang ia alami. Alkisah, suatu hari Fuad sedang makan siang di sebuah warteg murah di kawasan bundaran Kehutanan UGM. Ketika ia hendak pulang, ia mendapati motor Varionya hilang. Menurut kesaksian orang-orang sekitar, ada seseorang berbaju abu-abu yang menuntun motor Fuad ke arah barat. Fuad yang dagdigdug bergegas melapor ke kantor polisi terdekat.
Setelah melapor, Fuad dan teman-temannya masih enggan menyerah. Mereka kemudian menelusuri jalan-jalan yang sekiranya dilewati maling motor tersebut. Fuad lantas menemukan motornya sedang teparkir di sebuah bengkel sebelah warung jus Pak Lebah. Setelah ditanya-tanyai, pihak bengkel menceritakan bahwa tadi ada seseorang yang menuntun sambil ngasih kunci motor. Katanya rusak. Pihak polsek pun ikut datang dan menyelidiki kejadiannya. Singkat cerita, datanglah si maling motor dengan wajah polos tak berdosa.
Ketika dimintai keterangan, ternyata si maling adalah seorang mahasiswa baru UGM yang memiliki motor dengan tipe dan warna yang sama dengan motor Fuad. Ia mengira motor Fuad adalah motornya yang mendadak rusak dan tidak bisa dinyalakan. Dibawalah motor yang salah tersebut ke bengkel. Dan benar saja, ketika polisi memeriksa parkiran motor warteg tadi, motor si “maling” masih terparkir di sana dengan aman. “Jadi kesimpulannya, Masnya tadi salah bawa motor karena mirip,” tulis Fuad dalam thread-nya.
“Hikmah yang dapat diambil, hati-hati kalo bawa motor, dicek sik kuwi motormu opo udu (dicek dulu itu motormu apa bukan). Jangan sampai salah ambil motor orang wkwk,” tambahnya. Meskipun menurut pihak polisi kejadian tersebut sudah termasuk kasus pencurian, namun Fuad memilih jalan damai. Kasihan, katanya. Berbekal ilmu cocoklogi, kejadian itu kiranya bisa sedikit menggoyahkan citra bahwa mahasiswa UGM pasti pinter. Ternyata nggak juga, Bos. Wqwq.
Tapi gimana menurut anak UGM sendiri? Apa bayangan mereka sebelum masuk UGM? Apakah kenyataannya kemudian cocok dengan imajinasi awal? Untuk mengetahui pandangan mereka, Mojok ngobrol dengan beberapa mahasiswa kampus Bulaksumur ini.
Yang pertama adalah I Wayan Bhayu Eka Pratama (22). Sebenarnya Bhayu ini bukan mahasiswa lagi sih, soalnya sejak Februari kemarin doi udah sah mendapatkan gelar sarjananya.
“Waktu dulu pertama kali keterima UGM, jelas aku senang dan bangga sekali ya. Apalagi pas masa orientasi tuh kita (mahasiswa baru UGM angkatan 2017) disambutnya bener-bener meriah. Jadi waktu itu bener-bener maksimal lah rasa bangganya,” buka Bhayu. Cerita Bhayu pun berlanjut ke hal-hal seputar ekspektasinya sebelum dan sesudah berkuliah di UGM.
“Aku dulu lebih banyak berekspektasi ke arah kemahasiswaan kayak organisasi dan lomba-lomba dan itu semua untungnya cukup terjawab. UGM banyak memberikan peluang. Yang ternyata mematahkan ekspektasiku justru, ternyata di UGM, menurutku loh ya, ruang-ruang terbuka hijau buat kita belajar atau sekadar diskusi-diskusi tuh kurang merata,” ujarnya.
“Kalo yang menyangkut pertemanan, aku kenal banyak orang yang santuy banget. Aku sih nggak bilang dia bodoh atau gimana-gimana ya, tapi pembawaannya memang bener-bener santai banget dan males-malesan. Ya, nggak kenapa-kenapa juga, toh nggak melanggar aturan. Cuman secara semangat, atau dengan anggapan orang-orang mengenai mahasiswa UGM, menurutku sifat yang kayak begitu ya kontradiktif. Lebih ke habit-nya yang kelewat santai itu sih, bikin aku agak kaget,” tambah Bhayu.
Oke Bhayu, kamu selamat. Narasumber selanjutnya adalah seorang mahasiswa UGM yang tidak berkenan disebut namanya. Kami berbincang mengenai hal-hal yang kurang lebih sama dengan perbincangan dengan Bhayu.
“Aku tuh pas awal-awal mikirnya nanti bakal kayak belajar banget tiap hari ke perpustakaan, terus sepedaan di dalam kampus. Ya ampun, ternyata mager. Kampusnya luas banget soalnya.” Itu jawaban pertamanya.
“Lumayan banyak sih perkiraanku yang ternyata nggak bener. Aku mikirnya temen-temenku bakal kayak yang belajar banget. Apalagi aku masuknya tuh ke jurusan yang aku kira bakal introver semua. Ternyata nggak. Pas aku baru awal-awal kuliah tuh aku udah kaget karena ternyata orang-orangnya, kalo dibilang pinter sih iya, tapi bukan orang pinter yang tiap hari ngambis banget belajar. Banyak juga yang suka ke klub gitu tiap weekend. Beberapa kali aku ikut, tapi jatohnya lebih ngurusin temen-temenku yang kobam,” ujarnya.
“Temenku tuh banyak banget yang aku nggak nyangka nih orang kok bisa masuk UGM. Ada temenku yang kerjaannya kalo ada PR tuh selalu nge-chat-in orang-orang buat minta jawaban termasuk aku. Awal-awal aku kasih, terus besoknya minta lagi minta lagi sampe akhirnya chat-nya nggak pernah aku bales. Terus dia tuh jam tidurnya kacau banget nggak tau kenapa. Tapi emang anehnya, mereka yang begitu banyak juga yang pinter-pinter,” tambahnya.
Narasumber kedua ini juga nggak sepakat kalau UGM disebut kampus merakyat. “Ada anggapan ‘UGM Kampus Merakyat’. Nggak. Sifat orang-orangnya dari yang aku lihat sih banyak yang nggak merakyat. Terus, anak UGM tuh nggak semuanya innocent. Banyak banget skandal-skandal nggak jelas. Terus politiknya UGM tuh juga kenceng banget. Gimana ya, kayak suka ada gerakan-gerakan terselubung buat mengutamakan kepentingan lain lah kayak gitu. Partai-partai selundupan nggak jelas gitu masuk. Coba aja tuh cari tahu tentang itu. Tapi aku nggak mau jadi narasumbernya. Takut ntar ilang,” tutupnya sambil tertawa.
Yah, yang namanya bayangan, emang jarang banget sesuai kenyataan sih. Dari obrolan di atas kita jadi tahu kalau imajinasi pra- dan pascamasuk UGM pun demikian—hal yang sangat mungkin ditemukan juga di kampus lain. Pelajaran moralnya (ciyeee, pelajaran), masuk UGM itu istimewa sekaligus nggak istimewa. Jadi yang SNMPTN kemarin keterima jadi Gadjah Mada muda, nggak usah terlalu sombong yes.
BACA JUGA 5 Alasan Kenapa Kamu Tidak Perlu Kuliah di UGM dan liputan menarik lainnya di Mojok.
Foto dari Wikimedia Commons
[Sassy_Social_Share]