Ada banyak permintaan peti mati, tapi produsen tidak bisa memenuhi. Relawan donasi peti mati berharap pekerjaan mereka segera berhenti dan jumlah korban tak bertambah lagi.
***
“Saya masih di rumah mas, ini mau ke UGM lanjut ke Klaten,” suara dari Herlambang Yudho (58) terdengar di seberang. Ia adalah juru bicara Relawan Alumni Gelanggang Mahasiswa UGM. Mojok.co menghubunginya, Minggu (11/7) untuk mengetahui perkembangan donasi peti mati yang ia dan kawan-kawannya kerjakan.
“Kami kirim ke sana hari ini 5 peti mati. Mereka sebenarnya sudah berkali-kali minta, tapi kami belum bisa memenuhi,” kata Herlambang.
Aksi mereka membuat donas peti mati sebenarnya diharapkan memancing orang-orang atau komunitas untuk melakukan hal yang sama mengingat kelangkaan peti mati sekarang ini.
Awalnya emosi diajak terlibat donasi peti mati
Sebuah notifikasi ajakan bergabung di sebuah grup WhatsApp Senin 5 Juni 2021, pukul 11 malam kurang 3 menit membuat emosi Herlambang. Nama grupnya PM. Kependekan dari ‘Peti Mati’.
“Saya tanya, apa maksudnya ini?”
Ada 12 orang yang ada di grup tersebut. Penggagasnya Capung Indrawan. Orang yang mengundang Herlambang di grup WA tersebut.
“Saya awalnya emosi karena selama ini kan saya selalu support teman-teman yang sakit karena Covid-19, di komunitas, di media sosial, saya memberi semangat, optimisme, nggak berpikir tentang kematian, ketakutan, kecemasan eh.., ini tiba-tiba diajak bikin peti mati,” kata Herlambang.
Kejengkelan Herlambang berubah saat ia ditunjukkan fakta bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Daerah Istimewa Yogyakarta banyak jenazah yang tidak bisa segera dikebumikan karena kelangkaan peti mati.
Obrolan berhenti saat itu. Herlambang berjanji datang ke rumah Capung untuk meminta kejelasan. Ia tahu, sahabatnya itu meski dikenal suka guyonan, tapi kalau soal kebencanaan, kegawat daruratan, dan kemanusiaan pasti memang ada hal yang serius.
Keesokan harinya, ia datang ke rumah Capung dan berjumpa dengan kawan-kawan lainnya, salah satunya Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Arif Nurcahyo.
Herlambang yang sebelumnya enggan bersingungan dengan kematian akibat Covid-19 berubah pikiran setelah mendapatkan penjelasan dari Capung. “Di Sardjito, jenazah yang sudah disucikan harus menunggu beberapa jam, untuk dikirim dan dimakamkan karena ketiadaan peti mati. Capung berinisiatif untuk membuat donasi peti mati agar jenazah segera bisa dimakamkan, tidak menumpuk di rumah sakit,” jelas Herlambng.
Sambil membicarakan rencana, Capung membuat satu peti jenazah untuk kemudian dievaluasi apakah sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak. Sore itu juga mereka sudah mendapatkan donatur sehingga keesokan harinya sudah mulai produksi peti mati.
Herlambang mengatakan dari 12 orang yang ada grup, hanya sekitar 5-6 orang yang kemudian aktif. Ia menyadari, bahwa semua orang punya aktivitas masing-masing dan gerakan yang dibuat buat juga bukan gerakan yang serius dan formal. Apa yang bisa dilakukan itu yang dilakukan. Ada banyak pilihan menjadi relawan selama pandemi.
Banyaknya korban meninggal karena Covid-19 tentu membuat lelah para relawan. Keberadaan peti mati yang cukup tentu akan membantu relawan lain maupun tenaga kesehatan bisa bekerja segera.
Di relawan donasi peti mati, siapapun bisa terlibat. Baik sebagai donatur maupun menjadi tim yang membuat peti mati. Setelah beberapa hari, mulai berdatangan relawan-relawan yang membantu pembuatan peti mati.
“Ada sutradara fim, fotografer, dosen, satpam, masyarakat umum, datang saja. Ada pekerjaan-pekerjaan yang nggak butuh skill tinggi, tapi memang ada yang harus ahli melakukan,” kata Herlambang.
Herlambang kedapuk menjadi bendahara, sekaligus juru bicara jika ada wartawan yang bertanya. Peran itu sebenarnya juga fleksibel karena bisa dilakukan siapa saja di tim relawan. Ada bagian potong bahan, amplas, ngecat sampai bagian antar.
Herlambang mengatakan ada dua tempat pembuatan peti mati. Pertama di kawasan Nogotirto, Sleman untuk proses pemotongan bahan dan perakitan. Sementara di markas Pemadam Kebakaran UGM untuk proses pengecatan dan pemasangan plastik.
Kabar kematian di depan peti mati
Secara pribadi, Herlambang bercerita, sebelum bergabung di relawan yang membuat peti mati, ia sejujurnya memiliki perasaan panik, cemas jika memikirkan soal pandemi Covid-19. Kabar kematian selalu ia dengar. “Tiba-tiba saya dihadapkan pada tumpukan peti mati di depan saya. Kalau dilihat-lihat sekadar peti mati. Tapi saya kemudian menyikapi kematian itu menjadi berbeda,” kata Herlambang.
Ada pengalaman batin yang membuatnya yakin, bahwa gerakan donasi peti mati ini memang harus ada. Suatu hari, saat ia sedang berada di tempat pembuatan peti, ada pesan masuk dari teman masa SMP-nya.
“Her, aku baca status WAmu. Aku terhari. Hari ini temanku meninggal di Jogja (karena Covid-19). Mungkin dia pakai peti buatanmu juga. Terima kasih ya,” kata Herlambang menirukan pesan temannya. Status WA Herlambang berisi tentang donasi peti mati agar jenasah bisa dimakamkan. Di seberang telepon, Herlambang seperti tercekat.
“Hari itu, ketika pesan itu masuk, ada lonjakan korban meninggal di RSUP Dr Sardjito,” katanya.
Masih dalam situasi di depan tumpukan peti mati, tiga hari lalu Herlambang mendapatkan pesan dari keluarganya. Salah satu Om-nya meninggal di Jakarta.
“Kematian jadi terasa sangat dekat. Tapi sekarang saya menerimanya lebih enak, lebih ikhlas. Saya membayangkan siapa saja bisa ada di dalam peti mati di depan saya. Bisa saja saya yang akan berada di dalam peti mati itu,” kata Herlambang.
Relawan-relawan juga melihat tumpukan peti mati itu bukan sekadar kotak kayu. Kotak sederhana yang belum dicat, tidak ada hiasan. Tapi tidak ada yang menduduki atau jadi tempat pijakan. “Kami melihatnya jadi lain, kami lebih menghargai,” katanya.
Sejak memulai pembuatan donasi peti mati, hingga Sabtu (10/7) sudah ada 50-an peti mati yang didistribusikan ke beberapa rumah sakit. Paling banyak ke RSUP Dr Sardjito dan RS Akademik UGM.
Herlambang mengatakan, pihaknya akan terus membuat peti mati selama masih ada donasi. Permintaan akan peti mati selalu ada dan itu membuatnya sedih karena tidak bisa memenuhi.
“Kami sedih, ada orang yang meminta bantuan peti mati ke kami karena mereka kesulitan dapat, atau mahal, sementara stok di kami kosong. Ada orang-orang yang memang nggak mampu untuk beli peti mati, dan semakin banyak yang mencari peti mati, artinya korban yang meninggal tinggi. Kami tidak ingin seperti itu,” kata Herlambang.
Sampai kapan donasi peti mati dibuat? Di ujung telepon, Herlambang menarik napas panjang. Donasi peti mati ingin sekali berhenti. “Sekarang kami mengisi kekosongan produsen peti mati yang kewalahan menerima pesanan. Kami tidak ingin menghalangi rezekinya mereka, tapi kondisinya saat ini memang sulit mencari peti mati,” kata Herlambang.
“Ini kami ditelepon oleh Satgas Pemakaman Kabupaten Sleman, minta peti mati. Sedih, karena kami tidak bisa memenuhi permintaan mereka,” kata Herlambang. Peti mati itu dibuat dengan berat hati. Berat karena semakin banyak permintaan, itu berarti orang yang meninggal karena Covid-19 masih tinggi.
BACA JUGA Skripsi dan Mereka yang Berburu Vaksin dan liputan menarik lainnya di Mojok.