Seorang kenalan mengatakan, perempuan petani Sleman ini sangat layak disebut salah satu “tokoh tani berpengaruh di Indonesia”. Setengah abad hidupnya habis untuk mengedukasi petani. Sayang, di Sleman, ia justru “disia-siakan” oleh Pemkab Sleman sendiri.
***
Namanya Dwi Susilowati (47). Orang-orang di lingkungannya—termasuk kenalan saya—memanggilnya Susi.
Kami bertemu tanpa sengaja pada Kamis (19/9/2024), menjelang jam 10 malam di rumah kenalan saya di Sleman, Jogja. Melihat penampilannya, orang pasti mengira ia hanya ibu-ibu tani biasa. Terlebih, momen saat kami bertemu malam itu, ia datang dengan mengendarai motor seorang diri.
“Padahal punya mobil, tapi suka motoran,” ujar kenalan saya. Ia memang sudah berteman lama dengan Susi.
“Orang ini pinter banget aslinya,” sambung kenalan saya sembari menunjuk Susi.
Susi sempat ikut nimbrung obrolan kami, membincangkan pengalaman panjangnya di dunia pertanian, khususnya dalam urusan pembibitan. Sayangnya, obrolan kami tak terlalu lama, sebab ia harus lekas pulang ke Pakem, Sleman.
Tapi obrolan singkat itu membuat saya merasa harus bertemu secara khusus dengannya. Momen itu pun akhirnya terjadi pada Kamis (26/9/2024) sore WIB. Diiringi hujan yang belakangan rutin turun di sore atau malam hari, saya bertamu ke “laboratoriumnya” di Harjobinangun, Pakem, Sleman. Kalau di Google Maps, nama lokasinya tertulis “Susi Pertanian”. Di sanalah Susi melakukan produksi benih, bidang yang sudah ia tekuni selama bertahun-tahun.
Mencintai pertanian sejak kecil
“Saya memang lebih nyaman naik motor, Mas. Kalau ke mana-mana waktunya bisa terkejar,” tutur Susi dengan tawa kecil menjawab pertanyaan saya kenapa ia lebih suka naik motor. Padahal sebuah mobil jelas terparkir di garasi rumahnya.
Susi ternyata asli Klaten. Sejak kecil ia memang sudah dekat dengan dunia pertanian.
“Simbah saya petani. Dulu sejak SD diajari simbah soal pertanian. Diajak bantu di sawah, dari gosrok, jaga burung menjelang musim panen, sampai bantu jemur padi. Dari situ saya mulai mencintai pertanian,” beber Susi.
Tak berhenti di situ, ia juga belajar perihal pertanian dari sang ayah yang bekerja sebagai periset tembakau di sebuah lembaga di Klaten. Setiap momen libur sekolah, Susi mengaku kerap ikut sang ayah. Ia belajar banyak hal tentang tembakau, mulai dari menanam tembakau sampai proses pengeringan/penjemurannya.
Itu hanyalah gambaran singkat saja dari sekian kenangan masa kecil bersama simbah dan sang ayah yang membuat Susi begitu dekat dengan dunia pertanian. Yang pasti, sejak kecil itu pula ia mantap bercita-cita sebagai seorang petani profesional.
Menimba ilmu di Korea Selatan
Pertemuan dengan seorang pengembang benih asal Korea Selatan mengubah hidup Susi.
Pada 1999, Susi bersama beberapa temannya mendapati lowongan kerja di sebuah perusahaan pengembang benih tanaman di Korea Selatan. Susi pun memasukkan lamaran. Ndilalah-nya ia keterima, sementara beberapa temannya yang sama-sama mendaftar tidak ada yang tembus.
“Di sana saya diajari serius di bidang benih. Tak cuma soal produksi benih unggul, tapi juga soal perawatan tanaman. Tahun 2003, saya dilepas menjadi plasma (pengembang benih) sendiri,” ujar Susi.
Susi akhirnya pulang ke Indonesia. Cangkringan, Sleman, ia pilih menjadi “laboratorium” pertamanya: membuka lahan perkebunan di sana. Hanya saja tak bertahan lama.
Produksi di Cangkringan tak berjalan lancar karena kendala air saat musim kemarau. Susi lalu sempat berpindah-pindah dalam kurun 2003-2010. Ia sempat ke Manisrenggo (Klaten), ke Wonosobo, Purworejo, Garut, dan terakhir ke Magelang.
Dari petani di Pakem Sleman hingga ke seluruh Indonesia
“2010 itu terus buka di Pakem sini. Sewa tanah bengkok dan dukuh, total seluas 30 hektare, 1,5 hektarenya milik sendiri,” kata Susi.
“Benih yang diproduksi di sini adalah F1 untuk segala jenis holtikultura, terutama tomat dan cabai besar,” paparnya.
Tempat yang kemudian dikenal dengan nama Susi Pertanian itu lalu tumbuh pesat, hingga memiliki demplot (lahan percontohan) yang tersebar di berbagi wilayah Indonesia.
Di Sleman, ia kini memiliki 200-an karyawan petani: ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak muda. Dalam pembibitan, ia menciptakan benih hibrida terbaik dari F1 melalui polinasi (penyilangan). Hasilnya berupa tanaman tahan virus dan hama, buahnya tidak patek nan berwarna ranum, serta berfigur pohon bagus.
“Saya mulai ke daerah-daerah itu 2013 untuk sosialisasi benih-benih F1 yang saya produksi. Sekarang komunikasi kan bisa lewat video call, temen-temen di daerah-daerah bisa konsultasi soal hasil benih yang ditanam, bagus atau nggak. Kadang saya masih diminta untuk datang langsung ke demplotnya,” sambung Susi.
Lulusan SMA yang jadi kepercayaan orang Korea
Sepulang dari Korea Selatan pada 2003, sebagai plasma Susi ternyata masih bekerjasama dengan perusahaan tempatnya bekerja sekaligus menimba ilmu tersebut. Bahkan, kata Susi, bosnya di perusahaan itu sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
Susi hanya seorang lulusan SMA. Lalu saat ikut bosnya itu, ia diajari banyak hal perihal pertanian, khususnya dalam hal benih, hingga ia menjadi petani profesional seperti sekarang.
Oleh karena itu, sejauh ini ia hanya mau bekerjasama dengan perusahaan tersebut. Sebab, ia ingin menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya.
“Aset” yang dipinggirkan
Kenalan saya—yang sekaligus teman Susi—dengan serius menyebut Susi sebagai “aset”. Tidak cuma bagi Sleman, tapi juga bagi Indonesia.
Sayangnya, ia malah terkesan dipinggirkan oleh Pemkab Sleman yang katanya menaruh perhatian serius pada sektor pertanian (bahkan hingga punya program “Petani Milenial”). Setidaknya begitulah yang Susi rasakan.
“Dulu lomba tanam cabai di Sleman (2022), itu yang usul ke Pemkab kan saya. Baru pertama kali ada di Sleman itu. Saya dipasrahi ngurus obatnya, pupuk, hingga benih,” keluh Susi.
“Lombanya ternyata berhasil, tapi setelahnya saya malah nggak dilibatkan apapun,” lanjutnya. Ia lalu mengambil jeda sejenak, mengatur napas. Ada perasaan mengganjal di hatinya.
Ide lomba tanam cabai—agar tumbuh cabai-cabai kualitas bagus—itu Susi gagas secara tidak langsung untuk memberi solusi. Ia berkaca pada kegagalan tanam cabai parah yang pernah terjadi di Sleman 2016 silam.
Susi ingat betul, saat itu ada pelelangan benih. Pihak pelelang saat itu menyebut benih yang dilelangkan adalah F1. Namun, yang keluar justru lain. Alhasil, cabai yang tumbuh rusak.
Pertanyakan keseriusan Pemkab Sleman dalam dampingi petani
Susi mempertanyakan keseriusan Pemkab Sleman dalam memperhatikan sektor pertanian. Sebab, ia menilai ada hal-hal yang terkesan “ngawur”.
“Saya sering mengkritik PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Kayak nggak serius aja mendampingi petani yang belum profesional,” kata Susi.
Kata Susi, PPL cenderung suka promosi produk tertentu obat pembasmi hama (orientasi bisnis). Tapi tidak begitu mengedukasi, bahwa sebenarnya yang paling penting bukanlah pengobatan, melainkan perawatan.
“Hama itu bukan tergantung merek obat. Harus perawatan secara rutin, tidak harus berdosis tinggi,” ungkap Susi.
“Lah yang PPL ajarkan ke petani, pokoknya kalau tanaman bagus, ya sudah nggak dirawat. Tapi kalau sudah keserang hama terus digenjot dengan dosis tinggi,” jelasnya.
Kritik tersebut sudah beberapa kali Susi layangkan. Tapi seperti tak digubris pihak bersangkutan.
Wajar anak muda takut jadi petani
Masalah lain—untuk pertanyakan keseriusan Pemkab Sleman dalam dampingi petani—yakni tidak adanya manajemen pola tanam yang baik: untuk dataran rendah harusnya menaman apa, kalau di dataran tinggi baiknya tanaman apa.
Atau jika wilayah banyak air baiknya tanaman apa, kalau sulit air yang pas menanam jenis apa. Sayangnya, kata Susi, tak ada pola menajemen seperti itu. Para petani terkesan dilepas saja, sehingga kerap mengalami kegagalan.
“Kalau pola tanam tidak diatur, nanti otomatis dengan harga tinggi, semua (petani) serentak pengin tanam. Karena stok banyak, maka harga turun. Kan masalah,” terang Susi dengan tatapan mata penuh tanda tanya.
Belum lagi penanganan di lahan-lahan tani saat musim kemarau yang di mata Susi masih kurang merata.
Nah, rangkaian hal yang membuat kegagalan dalam tani itu lah yang kemudian membuat anak-anak muda takut menjadi petani. Padahal, jika dibimbing dengan serius, pertanian sungguh sangat menjanjikan.
“Kalau anak muda nggak mau tani, ya nanti pangan kita akan lenyap,” tutur Susi.
Lahan tani kian menyusut bagi petani Sleman
Kalau dicek lagi, ada beberapa masalah lain lagi di sektor pertanian Sleman. Salah satu isu yang belakangan ini mendapat atensi besar adalah perihal alihfungsi lahan pertanian. Entah jadi jalan tol, tempat wisata, perumahan, dan bangunan-bangunan lain.
Melansir Espos, pada Januari 2024 lalu Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Sleman, Siti Rochayah, terang-terangan menyebut bahwa lahan tani di Sleman—dalam hal ini adalah sawah—kian hari kian menyusut.
“Dari 2019 sampai 2023 penyusutannya hampir mencapai 2.153 hektare,” ujar Rochayah waktu itu.
Gambaran dari Rochayah: luas baku sawah di Sleman pada 2019 mencapai 18.137 hektare. Namun, dalam kurun empat tahun atau tepatnya di 2023, jumlahnya terus berkurang dan tinggal menyisakan 15.984 hektare saja.
Rasa-rasanya agak bertolak belakang dengan wacana Pemkab Sleman yang ingin memberi perhatian serius pada petani.
Wariskan ilmu tani pada anak
Ah, jika masalah-masalah di atas teratasi, sekian kali Susi menyebut, pertanian sebenarnya menjadi sektor yang sangat menjanjikan, termasuk bagi anak-anak muda.
“Maka dari itu, saya tetap akan wariskan ilmu tani saya pada anak. Biar kelak sudah jadi petani profesional sejak muda,” ungkap Susi.
Susi memiliki dua anak. Anak pertamanya sekarang kuliah di salah satu kampus negeri Jogja. Sementara anak keduanya masih kanak-kanak.
Sepengakuan Susi, anak keduanya tersebut bahkan secara terang-terangan bilang kepada Susi kelak ingin menjadi petani seperti sang ibu. Ia juga kerap ikut membersamai Susi saat sedang di kebun.
Susi juga kerap menerima mahasiswa atau anak-anak muda yang ingin menimba ilmu pertanian padanya. Ia dengan senang hati membuka pintu. Ia merasa punya tanggung jawab untuk memberi edukasi pada mereka, agar tak salah paham apalagi salah kaprah dalam bertani.
“Orang sehebat itu sayangnya kok nggak diberdayakan itu, loh!” Gerutuan kenalan saya saat ngrasani Susi kapan lalu terngiang di telinga saya, persis saat saya dan Susi menyudahi obrolan, kala hujan berangsur mereda.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Urban Farming, Solusi Bertani di Ruang Terbatas buat Orang Kota yang Menjanjikan di Masa Depan
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News