Dari atas kursi roda, seorang bapak difabel menjalani peran sebagai bapak sekaligus ibu untuk memperjuangkan anak semata wayangnya. Jalan Maliboro, Jogja, merekam malam-malam “keras” bagi sosok yang kemudian saya kenal bernama Barokah (48) itu.
***
Malam itu, Kamis (10/10/2024), saya berkendara dengan ngasal menyisir jalanan Jogja setelah kenyang mengisi perut di sebuah Warteg. Hingga melintas lah saya di Jalan Malioboro yang riuh padat meski bukan di akhir pekan.
Awalnya saya hanya berniat melintas, tak berniat berhenti. Malioboro terlampau sumpek.
Namun, pandangan saya tercuri oleh seorang bapak yang duduk di atas kursi roda. Di kursi rodanya itu, menggantung beberapa bungkus arum manis. Bapak itu didampingi oleh seorang gadis usia tujuh tahunan.
Dari jarak pandang saya, mereka tampak bersenda gurau menyusuri padatnya Malioboro, Jogja. Tiba-tiba mencuat perasaan hangat dari dalam dada saya. Maka saya memutuskan mencari parkiran motor untuk menghampiri mereka.
Apalagi, lama juga saya tidak njajan arum manis. Jajanan yang, dulu di masa kecil saya di Nganjuk, sudah terasa sebagai jajanan istimewa.
Tentang kursi roda
Namanya bapak difabel itu adalah Barokah (48). Perbungkus arum manis yang dia jual harganya Rp10 ribu. Saya membeli dua bungkus untuk menemani Barokah dan anaknya berbincang. Kebetulan keduanya sedang mengambil jeda dari keliling Malioboro, Jogja.
“Saya sudah hampir empat tahun, Mas, jualan arum manis,” ucap Barokah saat saya tanya sudah seberapa lama dia jualan arum manis?
Setiap hari Barokah akan jualan depan gapura Pasar Sore Malioboro. Sekitar jam 3 sore hingga jam 8 dia bisa ditemui di sana. Tergantung apakah dagangannya laku cepat atau tidak.
Jika sudah habis sebelum jam 8 malam, biasanya dia akan langsung pulang. Atau jika putrinya sudah mulai ngantuk, maka Barokah harus lekas pulang agar esok hari putrinya tak terlambat masuk sekolah.
“Soal kondisi saya, kaki kanan ini sudah sejak lahir begini, Mas. Kalau yang kiri, diamputasi karena kanker tulang,” ungkap Barokah menceritakan kondisi kakinya yang mengharuskannya beraktivitas dengan kursi roda.
Pahit manis di jalanan Malioboro Jogja
Barokah mengaku sejak kecil sudah dikucilkan. Bahkan, di antara saudara-saudaranya, hanya dia yang sama sekali tak menerima pendidikan, dari tingkat dasar (SD) pun tidak.
Namun, Barokah tak mau larut dalam kesedihan dan perasaan terkucilkan. Dia memutuskan untuk memperjuangkan hidupnya sendiri.
“Saya asalnya dari Purworejo. Lalu mencoba merantau ke Jogja. Ikut-ikut orang gitu mas,” kenang pria paruh baya itu.
Dari situlah, dia akhirnya merasa diterima dari segala kekurangannya. Dia merasa banyak orang peduli dengannya.
Masa-masa awalnya merantau di Jogja dia habiskan untuk menjadi pengamen bersama teman-teman jalanannya waktu itu. Akan tetapi, seiring waktu, Barokah mulai berpikir bahwa kelak dia pasti akan berkeluarga.
Barokah khawatir kelak anaknya bakal di-bully oleh teman-temannya jika melihat bapaknya adalah seorang pengamen. Baru membayangkannya saja Barokah sudah merasa tidak tega. Oleh kerena itu, dia akhirnya memutuskan mencari pekerjaan lain.
“Saya pernah kerja di hotel juga, Mas. Tapi nggak lama,” tuturnya.
Harapan hidup dari arum manis
Barokah sempat menikah pada 2013 dengan seorang perempuan yang awalnya menerimanya apa adanya. Sejak menikah itu pula Barokah mencoba bekerja makin keras: mengerjakan apa yang dia bisa kerjakan.
Saat itu dia pernah bekerja mengasongkan bakpia di sekitar Benteng Vredeburg, Malioboro, Jogja. Sayangnya memang tidak bertahan lama. Sebab, juragannya berhenti memproduksi bakpia.
“Saya akhirnya diberi nasihat oleh teman yang sama-sama disabilitas, namanya Pak Karno. Dia bilang, apa nggak capek kerja sama orang terus,” ungkap Barokah.
Dari situ, Barokah lantas mengumpulkan modal dan membeli alat pembuat arum manis. Barokah kemudian menjadi penjual arum manis.
Tak berhenti berjuang di Malioboro Jogja demi sang anak
“Saya ini duda, Mas, jadi kalau sedang jualan saya mengajak putri saya,” ungkap Barokah sembari mengenalkan sang putri yang sedari tadi menemani Barokah menyisir Malioboro, Jogja.
“Namanya bapak, ya. Jadi saya merasa waswas untuk meninggalkan anak saya,” imbuhnya.
Ternyata Barolah sudah bercerai dengan sang istri. Sehingga, tanggung jawab putri semata wayangnya tersebut dia pikul sendiri.
Kerap kali Barokah merasa gagal sebagai orang tua. Terlebih jika ada momen ketika dia tak bisa memberi uang saku bagi sang putri laiknya anak-anak lain.
Di titik itu, Barokah merasa beruntung punya putri seperti putri semata wayangnya itu. Seorang putri yang, kata Barokah, tak pernah menuntut apa pun pada sang bapak. Seorang putri yang sangat bisa mengerti kondisi sang bapak. Bagi Barokah, sikap dari sang putri bahkan sudah lebih matang ketimbang umurnya.
Oleh karena itu, Barokah bertekad tidak akan berhenti berjuang demi sang putri. Tidak ada waktu untuk menyesali takdir. Menjalani dan memperjuangkannya adalah pilihan yang Barokah ambil.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News