Festival musik keras Rock In Solo sudah berkumandang hampir dua dekade lalu, tepatnya pada 2004. Banyak band metal internasional yang sudah mampir ke Kota Liwet ini. Mulai dari Dying Fetus, Death Angel, Cannibal Corpse, Nile, Suffocation, Behemoth yang sudah kedua kalinya, hingga paling baru Thy Art Is Murder dan Cryptopsy.
Sepanjang belasan kali edisi, saya baru berkesempatan menghadiri festival yang konon jadi “lebaran-nya jemaah blekmetaliyah” ini sebanyak tiga kali. Yakni pada 2015, 2022, dan terakhir 2023 pada 10 Desember kemarin.
Kendati pun kesempatan saya hadir belum begitu banyak, saya merasa Rock In Solo menjadi salah satu festival musik metal terbaik yang pernah saya hadiri. Ada banyak hal yang bisa saya rayakan di sini. Khususnya pada 2023 ini, ada banyak momen berkesan yang rasanya sayang jika tidak saya bagikan kepada pembaca Mojok sekalian.
***
Minggu, 10 Desember 2023, agaknya bakal menjadi hari yang “gelap”. Bagaimana tidak, sejak pagi cuaca di Yogyakarta, tempat saya tinggal, sudah diselimuti mendung. Namun, potensi hujan petir di Yogyakarta ini tak berarti bakal mengurungkan niat saya buat menjemput kegelapan lain yang ada di Surakarta bernama “Rock In Solo”.
Dan benar saja, saya beruntung. Mendung pada hari itu nyatanya hanya nge-prank. Hingga sore hari cuaca aman-aman saja kok. Bahkan, teman saya yang sudah berada di Benteng Vastenburg, Surakarta–venue konser—pukul 13.00 WIB mengabarkan bahwa cuaca di sana amat cerah. Tidak mendung, tapi juga tak terlalu terik.
“Cocok buat bikin moshpit,” katanya melalui sambungan telepon.
Menjumpai jemaah blekmetaliyah kaffah di Rock In Solo
Namun, karena ada satu dan lain hal, barulah sekitar pukul 17.00 WIB saya berangkat ke Solo. Satu jam perjalanan darat saya tempuh bersama kawan saya yang merupakan metalhead lain asal Yogyakarta.
Saya sadar bahwa kami sudah melewatkan banyak band-band lokal bagus yang tampil sore hari. Tapi, kami harus tetap menjaga api semangat. Toh, target utama kami adalah nonton Behemoth, raksasa metal asal Polandia, dan Cryptopsy yang baru saja menjadi band metal pertama yang manggung di Arab Saudi.
Sesampainya di lokasinya, saya berpisah dengan kawan saya dari Yogyakarta. Ia izin mau menemui kawan lamanya, jamaah blekmetaliyah lain asal Malang. Sedangkan saya mau berkeliling melihat-lihat situasi sekaligus mengisi perut. Kami janjian bertemu lagi saat Behemoth tampil.
Takjub! Begitulah kesan pertama saya ketika menyaksikan keriuhan penonton yang datang. Unik, adalah hal yang jarang saya jumpai di festival-festival lain. Banyak penonton yang datang dengan fesyen nyentrik, alias tak sekadar hadir dengan kaos band warna hitam dan rambut gondrong.
Banyak penonton yang datang merias wajah mereka laiknya musisi-musisi blekmetal seperti Abbath, Powerwolf, atau bahkan Behemoth itu sendiri. Pendeknya, mereka secara nyentrik jadi cosplay musisi-musisi idola mereka.
Blekmetal yang sudah mengakar dalam jiwa
Salah satu yang berhasil saya ajak ngobrol adalah Jempink Ghoib (40), lelaki yang jadi pusat perhatian karena merias tubuhnya hingga menyerupai hantu. Kepada saya, lelaki asal Banyuwangi, Jawa Timur, ini bercerita bahwa dirinya memang tipikal orang yang “tak suka setengah-setengah” saat datang ke konser metal. Katanya, ia selalu berusaha tampil beda dengan yang lain.
“Apalagi berkaitan dengan RIS [Rock In Solo], saya memang pengen mempersembahkan tampilan yang beda dari yang lain. Demi meng-support RIS, apalagi guest star-nya Behemoth yang paling saya idolai,” kata dia.
Lelaki yang punya nama lain “Sixtiyo Dore” ini mengaku bahwa perasaan “militansi” blekmetal memang sudah mengakar dalam jiwanya. Bahkan, selain berpenampilan nyentrik di acara konser-konser metal, ia juga beberapa kali manggung sebagai vokalis band metal–dengan tampilan yang nyentrik juga tentunya.
Pendek kata, ia boleh dibilang jamaah blekmetaliyah yang “kaffah”.
Selain tampil beda, pada gelaran Rock In Solo tersebut ia juga beratraksi dengan main semburan api di tengah-tengah crowd yang sedang moshing. Bayangkan, betapa gilanya beliau ini.
Blekmetaliyah di Rock In Solo yang tak lupa ibadah
Keunikan lain yang saya temui dari para jamaah blekmetaliyah di Rock In Solo adalah ketaatan ibadah mereka. Bagaimana tidak, kaos boleh sangar, lagu-lagu boleh keras, dan rambut boleh gondrong, tapi ibadah tidak boleh bolong.
Hormat yang tinggi juga saya berikan kepada penyelenggara festival. Tiap kali waktu salat tiba, tak ada musisi yang berada di atas panggung. Panitia Rock In Solo memberikan kesempatan para jamaah blekmetliyah untuk sembahyang secara khusyuk di venue.
Bahkan, menurut Yadi (41), metalhead lain yang saya temui, saat masuk waktu Maghrib panitia menampilkan visual adzan di layar atas panggung. Suara adzan pun juga terdengar di tiap sound. Para jemaah blekmetaliyah pun berbondong membuat saf di tengah-tengah crowd untuk melaksanakan salat Maghrib berjamaah.
Kata Yadi, yang jauh-jauh datang dari Surabaya untuk menyaksikan band Cryptopsy di Rock In Solo, “musik boleh sangar, tapi ibadah jangan ditinggal”.
Lelaki yang waktu saya temui masih dalam keadaan rambut lepek karena habis wudhu tersebut, mengatakan bahwa diriny menggemari musik blekmetal sejak remaja. Lagu-lagu band blekmetal Eropa seperti Dimmu Borgir hingga Marduk tak pernah lepas dari playlist di Spotify-nya.
“Tapi kalau soal salat jangan ditinggalkan. Sembahyang duluan, baru ikut moshingan,” kata dia dengan gelak tawa.
Festival yang ramah anak dan perempuan
Setelah menemui para jamaah blekmetaliyah yang sudah sejak siang memadati area Benteng Vastenburg, saya berjalan ke area taman bermain atau playground yang cukup menyita perhatian saya.
Bagaimana tidak, di tengah padatnya para metalhead yang merayakan kegelapan dengan moshing dan headbang, terdapat area yang dikhususkan untuk tempat bermain anak-anak. Tempat seperti ini yang jarang saya temui di festival musik metal lainnya.
Salah satu penonton perempuan yang membawa anaknya hadir di Rock In Solo adalah Rika Ajeng Safitri (37). Rika, sapaan akrabnya, mengaku baru pertama kali datang ke festival musik metal karena sebelumnya suaminya selalu datang sendiri.
“Tapi karena suami pengennya ngajak anak dan istri, okelah aku sama anak akhirnya ikut,” ujar Rika.
Perempuan asal Kediri, Jawa Timur, ini mengaku kalau awalnya dirinya sempat khawatir dengan situasi di venue konser. Apalagi setelah tahu kalau band-band yang tampil semuanya bergenre metal, musiknya keras-keras, dan tampilannya seram-seram.
“Setelah tahu info kalau RIS ternyata nyediain playground, terus nyediain ruang laktasi juga, akhirnya ikut,” sambungnya.
Merasa aman nonton bareng keluarga
Meskipun merasa lega karena orang tua bisa menikmati acara sementara anak asyik bermain, Rika juga tetap memperhatikan aspek kesehatan anaknya. Dalam acara tersebut, ia tetap membekali putrinya dengan earmurff untuk memastikan keamanan telingannya. Mau tidak mau, harus diakui konser musik metal pasti terdengar lebih bising.
“Mending lihat acara seperti RIS daripada nonton orkes dangdut, karena malah aman dari tawuran,” ujarnya dengan nada bercanda.
Selain Rika, saya juga mengamati ada banyak perempuan dan anak-anak lain yang memadati venue konser. Bahkan, dalam beberapa kali penampilan bintang tamu, para perempuan juga ikut merayakan lagu dengan masuk ke dalam kerumunan moshpit.
Sungguh pemandangan yang luar biasa. Seperti inilah idealnya konser, semua gender bisa menikmati tanpa adanya diskriminasi dan pelecehan seksual.
Festival paling nikmat buat crowd surfing
Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB. Sebentar lagi beberapa band yang saya tunggu akan segera tampil. Termasuk raksasa metal asal Solo, Down for Life, legenda musik rock Indonesia, Edane, serta tentunya Behemoth.
Crowd atau kerumunan penonton yang memadati area depan panggung memiliki semua syarat untuk dikatakan sebagai penonton konser terbaik. Tipe rekam sepanjang konser, ada. Tipe rekam beberapa lagu, kemudian lanjut headbang, ada juga. Atau, tipe yang sepanjang konser tanpa HP dan fokus moshing, banyak.
Namun, sebagaimana guyubnya para jemaah blekmetaliyah ketika konser, ada kode etik tak tertulis: saat kamu jatuh pas lagi moshing, kami bantu berdiri; kalau luka, kami bantu obati. Hal tersebut yang terlihat di sepanjang penampilan para line up. Saya beberapa kali mencoba nimbrung di kerumunan moshing, beberapa kali juga sempat terbentur dan jatuh, dan kode etik tak tertulis tadi benar-benar ditaati di Rock In Solo.
Saya juga beberapa kali mencoba crowd surfing. Berselancar badan di atas kerumunan yang sedang menonton. Betapa nikmatnya pengalaman di sini karena para penonton sangat suportif. Sehingga, pengalaman tadi pun jadi crowd surfing terlama dan terjauh saya dalam sepanjang menghadiri konser musik.
Ditambah lagi, lantunan nada gelap dari lagu “Conquer All” yang Behemoth nyanyikan semakin menenggelamkan saya bersama lautan jemaah blekmetaliyah lainnya.
Akhirnya, ketika warga X (Twitter) ramai-ramai mendeklarasikan bahwa Rock In Solo jadi festival musik metal terbaik dan teraman, saya hanya bisa tersenyum bersepakat. Seperti inilah festival musik metal yang ideal.
Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Curhatan Mereka yang Bernasib Sial karena Tertipu Konser Bodong
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News