Jaranan yang sedianya menjadi kesenian penuh nilai historis, makin ke sini justru identik dengan kesurupan. Terutama yang Mojok temui di Kediri dan daerah sekitarnya di Jawa Timur. Hal ini membuat beberapa penikmat seni meresahkan.
***
Kalau Jogja memiliki jathilan, di daerah Jawa Timuran memiliki kesenian serupa, yakni jaranan. Jaranan merupakan salah satu kesenian yang saat ini masih menjadi hiburan masyarakat di Jawa Timur, khususnya Kediri Raya.
Kesenian ini sebetulnya memiliki nilai historis yang kuat. Dari beberapa sumber sejarah, teatrikal dalam jaranan mengadopsi kisah sejarah dari masa kerajaan hingga perjuangan rakyat Indonesia di era kolonialisme.
Sayangnya, semakin ke sini nilai historis tersebut perlahan pudar. Jaranan tak lagi menonjolkan nilai-nilai sejarah di dalamnya, malah cenderung menonjolkan aspek mistisnya.
Alhasil, kini muncul stigma kalau jaranan identik dengan kesurupan. Sebab, setiap kali ada pertunjukan–khususnya di Jawa Timur–pasti ada saja pemain yang kesurupan.
Kesurupan dalam jaranan: bentuk penghormatan kepada leluhur
Saya bertemu dengan Sugeng (28), pelaku seni jaranan asal Blitar, Jawa Timur, yang sudah enam tahun berkecimpung di dunia seni tari jaranan. Sampai saat ini, ia masih menjadikan kesenian tersebut sebagai mata pencahariannya, di luar penghasilannya dari hasil produksi topeng Bujang Ganong.
Sugeng menjelaskan bahwa setiap pertunjukan jaranan, akan ada beberapa pemain yang harus siap diisi atau dimasuki roh-roh gaib. Baginya itu adalah suatu bentuk penghormatan kepada danyang atau leluhur yang ada di lokasi jaranan itu.
“Pemainnya itu betul-betul kesurupan, Mas. Karena memang kami memberi sesajen, lalu izin ke penunggu di situ, dan yang menikmati juga bukan cuma masyarakat, tapi juga leluhur yang ada di tempat itu,” ujar Sugeng saat saya wawancarai pada Senin (26/8/2024) pagi WIB.
Sebelum pertunjukan dimulai, pawang jaranan harus melakukan ritual terlebih dahulu dengan meletakkan sesajen di punden lokasi pertunjukan. Tujuannya untuk menghormati para leluhur dan meminta izin bahwa akan ada hajat kesenian jaranan di tempat tersebut.
Selain itu, pemain yang akan diisi atau sebagai wadah leluhur juga harus mengikuti ritual atau tirakat tertentu agar jiwanya kuat. Sehingga momen kesurupan tidak berdampak pada psikisnya.
Kesurupan bisa menghayati penceritaan dalam jaranan
Di sisi lain, Firzal (20) yang menghabiskan masa kecilnya di Kediri, Jawa Timur, mengaku sangat menggandrungi jaranan, terutama dengan corak Kedirian. Ia tertarik pada kisah jaranan Kediri yang menurut saya cukup kompleks karena ceritanya yang tak selalu sama dari setiap grup jaranan.
Akan tetapi, ia mengaku bisa mendapatkan pelajaran tentang filosofi percintaan dari karakter Bujang Ganong atau juga punya nama lain Pujangganom. Dalam cerita jaranan tersebut, Bujang Ganong rela melakukan apapun demi cinta sejatinya. Ia juga mendapat pelajaran tentang keikhlasan menerima kenyataan hidup yang tidak sesuai harapan.
Jaranan Kediri berkisah tentang seorang putri bernama Dewi Sangga Langit, putri Prabu Airlangga dari Kerajaan Kadiri, yang mengadakan sayembara untuk melamar dirinya. Beberapa orang-orang sakti mengikuti sayembara itu, termasuk Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong, hingga Bujang Ganong. Mereka terlibat dalam pertarungan ketika menuju ke Kerajaan Kadiri.
Kira-kira begitulah cerita yang tersaji dalam jaranan di Kediri yang sering Firzal simak. Nah, di sela-sela pertunjukan, ada momen ketika pemain jaranan kesurupan.
“Kalau kesurupan, menurutku itu sebuah cara agar cerita yang disuguhkan menjadi lebih menarik dan terkesan menghayati,” ungkap Firzal saat saya hubungi pada Senin (26/8/2024) siang WIB.
Pemain biasanya akan kesurupan sosok tokoh yang ia perankan. Yang paling umum misalnya Bujang Ganong dan Singa Lodaya. Sehingga, seolah sosok-sosok itulah yang sedang berinteraksi langsung denga penonton.
Firzal juga merasa suasana pada saat terjadinya proses kesurupan itu sangat berbeda. Bulu kuduknya merinding.
Kesurupan hanya gimmick
Namun menurutnya, tak semua pemain itu murni kesurupan. Dari cerita temannya yang juga menjadi salah satu pelaku kesenian tersebut, ia mengetahui jika beberapa di antaranya hanya gimmick saja, seolah sedang dikendalikan oleh leluhur.
Mendengar cerita Sugeng dan Firzal membuat saya teringat dengan salah satu seni jaranan yang ada di Blitar, yang murni sebagai pertunjukan seni. Tanpa ada gimmick kesurupan. Sayangnya, model jaranan yang seperti itu tidak banyak yang menggandrungi.
Jaranan yang berada di Desa Dayu, Kecamatan Nglegok, Blitar itu mengadopsi kisah zaman penjajahan Belanda, pada saat Pangeran Diponegoro memerjuangkan wilayahnya. Namanya Jaranan Mataraman.
Tantangan budaya viral
“Karena budaya kita sekarang budaya massa, budaya viral. Orang bikin pertunjukan hanya karena ngejar uang dan viralnya. Nilai atau values-nya diabaikan,” ucap Garin Nugroho, sutradara asal Jogja saat mengisi acara di Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) 2024, Sabtu (10/8/2024).
Meski konteks yang Garin bicarakan adalah film, tapi pernyataannya tersebut agaknya juga relevan dengan apa yang terjadi pada jaranan. Karena konsep dasar film dan jaranan sama: sebagai sebuah tontonan masyarakat.
Aspek kesurupan pada akhirnya dimasukkan dalam kesenian karena itulah yang membuatnya viral. Karena itulah yang menjadi daya tarik bagi penonton. Dengan begitu, para pelaku seni Jawa Timuran itu masih bisa eksis untuk menggelar pertunjukan.
“Kalau jaranan zaman dulu itu nggak ada (kesurupan), ya kalau yang sekarang kan kreasi (ada kesurupannya), itu penonton lebih tertarik,” jelas Sugeng.
Akan tetapi, kembali mengutip keterangan Garin Nugroho dalam acara yang sama, ia menyebut selera penonton bukannya tidak bisa dididik. Perlu ada pembiasaan pertunjukan jaranan yang murni sebagai kesenian warisan luhur Jawa, tanpa ada unsur kesurupannya. Awalnya mungkin tak begitu menarik bagi penonton. Tapi, perlahan namun pasti, jaranan yang murni seni (tanpa kesurupan) akan banyak diminati.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Muchamad Aly Reza
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News