Seorang tenaga kesehatan (nakes) di Jakarta menyuntikkan vaksin kosong yang membuatnya menjadi tersangka. Hari itu menurut pengakuannya, ia menyuntikkan vaksin kepada 599 orang. Atas nama mengejar target, beban kerja seorang nakes kadang tidak diperhatikan pengambil kebijakan.
****
Vaksin massal yang membuat nakes kecapekan
Membaca berita seorang nakes bernama EO menyuntikkan vaksin kepada 599 orang dalam satu hari membuat pikiran saya kalut. Sebagai seorang nakes, saya tidak habis pikir. Kok bisa? Yang salah EO, atau atasannya?
Jumlah 599 orang bukan angka sedikit. Proses menyuntik yang ideal untuk satu orang diperlukan waktu sekitar 5 menit. Jadi, berapa waktu ideal waktu menyuntik 599 orang? 49 jam, Wow. Soal kebenaran pengakuan EO, biarlah polisi yang mengurusnya.
Di lapangan, beban kerja seorang vaksinator atau orang yang menyuntikkan vaksin memang tinggi. Target mengejar sebanyak-banyaknya orang yang divaksin, kadang mengabaikan aspek-aspek lain.
Saya melakukan wawancara dengan salah satu nakes di Jawa Timur yang juga vaksinator. Sebut saja namanya Mbak Yas (25).
“Haduh, kita bener-bener diforsir vaksin massal terus akhir-akhir ini. Nggak peduli kesejahteraan petugasnya, bener-bener ngerasa capek banget sumpah. Sehari pernah dibebani vaksinasi 4.000 lebih, itu di 2 lokasi berbeda,” Mbak Yas langsung ngegas ketika saya tanya tentang vaksinasi yang ia lakukan.
Sebagai informasi, Mbak Yas ini nakes yang bertugas di puskesmas salah satu kabupaten di Jawa Timur.
“Puskesmasku itu termasuk puskesmas dengan jangkauan penduduk yang luas. Kenapa kok bisa sampai begini? Saya rasa gara-gara sebelumnya ada kegiatan vaksinasi massal di salah satu stadion. Saat itu petugasnya berasal dari semua puskesmas satu kabupaten,” Mbak Yas mengingat-ingat.
“Waktu itu ada 7.000 lebih sasaran. Kalau dihitung-hitung, dibagi petugas puskesmas tiap kecamatan yang sekitar 35-an tim, setidaknya bisa 200. Nah, satu tim itu bisa terdiri dari 2 vaksinator, 2 verifikator, 2 observator dan 2 PSC (pencatatan, pelaporan, dan cetak sertifikat), sekitar 8 orang,“ ujar Mbak Yas.
Hitungannya, dengan satu tim melayani 200 orang, menurut Mba Tyas masih bisa ditangani, meski standarnya 100-150 orang. “Itu masih make sense. Tapi tidak lama setelah itu, tiba-tiba kita dapat tawaran dengan sasaran 4.000 lebih,” kata Mbak Tyas.
Jumlah tersebut tidak ditawarkan, tapi langsung penugasan kepada tim dari puskesmasnya. Hal tersebut membuat kalang kabut.
“Karena banyak, awalnya kita minta di dua waktu berbeda, tapi itu tidak di-acc. Maksudku 4.000 lebih itu bisa nggak dibuat seminggu atau beberapa hari. Enggak!! Ternyata harus satu hari. Kan ya gila kan 4.000 lebih!!!” Mbak Yas masih ngegas.
“Bayangin orang 4.000 lebih itu berkerumunnya kayak apa?” Mbak Yas tak habis pikir. Akhirnya tim puskesmasnya meminta bantuan nakes-nakes lain.
“Terus kita pengen tiga tempat. Tapi kalau dibuat tiga tempat kita nggak ada orang. Akhirnya kita maksimal cuma dua tempat saja, masing-masing 2.000, dengan sekitar dua puluhan petugas di masing-masing tempat,” jelasnya. Setiap tempat ditangani oleh satu tim dengan anggota masing-masing 20 orang.
“Tim vaksin itu bukan vaksinator saja ya. Dua puluh orang itu sudah termasuk pendaftaran, observasi dan lainnya. Itu bukan cuma nakes yang perawat dan dokter lo ya. Bayangin. Misal ada anak sarjana kesehatan masyarakat, otomatis nggak bisa skrining atau suntik kan. Jadi dua puluh orang itu termasuk admin juga!!!” Mbak Yas gas terusss.
Mbak Yas bercerita, saat itu dokternya cuma dikit. Hanya ada 3, itupun satu dokter ada yang merangkap tracer Covid. Padahal, waktu itu bersamaan dengan kenaikan kasus. “Satu dokter itu akhirnya mengurus kematian, penjemputan pasien, dan konsultasi pasien isolasi mandiri. Otomatis tidak bisa fokus,” imbuh Mbak Yas.
Lantas berapa orang yang bertugas untuk menyuntikkan vaksin?
“Kalau di bagianku yang 2.000 orang, aslinya ada sekitar 3 orang dokter vaksinator tadi. Akhirnya kita merekrut 2 bidan dan 2 perawat untuk diajari nyuntik. Syukur dapat lagi bantuan dari faskes lain lagi, akhirnya kita ada 12 vaksinator, itu petugasnya juga merangkap sebagai pencatatan,” katanya.
Di tempat yang satunya, 2.000 orang juga ditangani oleh tenaga yang tidak jauh berbeda jumlahnya. Tentu saja setelah meminta bantuan sana-sini untuk mencari tenaga suntik.
Kondisi waktu itu sebenarnya timnya sedang down dan pincang. Sebagian tenaga di puskesmasnya sedang isoman karena positiv Covid-19. Sudah kurang tenaga, dihajar dengan target 4.000 orang dalam sehari.
“Kenyataan di lapangan, kita itu kerja jam 7 sudah harus ready, jam 8 mulai. Itu selesai nyuntik jam 3 sore. Jadi durasi kerja kita kira-kira 7 jam. Itupun petugas lain yang merasa ini bukan wilayahnya sudah pulang sebelum jam 3 sore.”
Kalau saya cerna, 2.000 orang jika dibagi 12 vaksinator, maka, rata-rata satu orang vaksinator akan menyuntik sekitar 167 orang. Kalau dihitung tiap vaksinasi perlu waktu 5 menit, maka idealnya tiap vaksinator memerlukan 835 menit alias 14 jam. Padahal waktu aktif vaksinasi Mbak Yas cuma 7 jam. Wow terpotong 7 jam. Itu pun belum nyiapin alat, mencatat, edukasi, dan lainnya. Jauh lebih mudah daripada EO tadi, tapi tetap saja pekerjaan yang kurang masuk akal.
Padahal pengalaman saya yang melakukan vaksinasi selama 6 jam untuk 100 sasaran saja sudah bikin pegal banget. Itu pun saya masih minta gantian sama petugas skrining depan buat nyuntik. Palingan, saya sendiri cuma nyuntik 70-an. Itu saja sudah pegal betul.
Mbak Yas masih meneruskan ceritanya, “Sampai ya, berkas itu ada yang mungutin di jalan-jalan karena berantakan. Nggak tertata! Saking berkerumunnnya, peserta vaksin disuruh pulang dengan dalih sertifikat akan di-print dulu, kemudian bisa diambil keesokan harinya di balai desa masing-masing sesuai domisili. Ya begitu, kartu kendali tidak beraturan, dan petugas lainnya yang bukan dari puskesmas kita juga sudah pulang.”
Mengingat suasana saat itu, Mbak Yas bilang kacau. “Kita ditinggal! Kita ditinggal sama petugas yang merasa ini bukan wilayahnya tadi!!! Jadi berkas itu punya siapa, dimana, diinjak-injak pula, haduh wes nggak karu karuan,” Mbak Yas meneruskan kekesalannya, masih dengan ngegas.
“Jadi di Peduli Lindungi nanti apa bisa berpotensi ada kesalahan Mbak?” Saya mencoba mengkonfirmasi akibatnya kelak.
“Ya begitu. Tahu kan kalau kita berhubungan dengan masyarakat. Kita minta fotocopy KTP. Tapi mereka nggak bawa. Dan kita nggak tahu ini kartu kendali siapa. Orang nulis tanpa fotocopy KTP, cuma nulis NIK. kan pasti asal-asalan, nggak tahu kalau NIK itu ada 16 digit. Terus kita input nya gimana? Jangankan kurang, salah angka sudah tidak bisa.”
Kondisi tersebut selain membuat nakes makin kelelahan juga pusing dengan data orang yang melakukan vaksinasi. “Kalau dia nggak nyantumin nomor telepon, kita mau telepon kemana? Mau tanya ke siapa? Wes NIK nggak bener, nggak ada fotocopy KTP, nggak ada nomor telepon. Kan harusnya nggak seperti itu. Harusnya berhadapan dengan orangnya langsung, tanyakan telepon, NIK, domisili dan lainnya. Ya sudah kita usahakan semaksimal mungkin.”
Mbak Yas mengatakan, seharusnya pengambil kebijakan juga berpikir bahwa target 4.000 orang dalam satu waktu itu akan memberatkan, selain tentu saja membuat kerumunan. “Karena kalau mau mengadakan sesuatu, kembali ke dasar. Pikirkan 5 M: man, material, money, machine, method. Itu nggak. Percuma kita punya manusia tapi mesinnya tidak ada.”
“Sekarang lo. P-Care itu kalau dilakukan bersamaan. Iku munyer wae wes, pasti.”
Mbak Yas bercerita, tiga minggu lalu, ia bantu input data temannya. Ceritanya ada 2.000 ribu sasaran vaksin hari itu yang dibagi 3 tempat. Karena mendapat bagian sedikit, puskesmasnya selesai lebih awal. “Nah temanku lain yang dapat 700 lebih sasaran, selesainya terhalang P-Care. Akhirnya bantu input sampai jam 9 malam,” kata Mbak Yas meneruskan omelannya.
Butuh pijat bukan lipstik
Mbak Tyas mengatakan, saat melakukan vaksinasi 4.000 orang di dua lokasi, tempatnya didatangi pejabat. Waktu itu, ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sudah jutek karena capek. “Akhirnya orangnya kepo kan sama mukaku, terus tanya gini: ‘Mbaknya ini perawat? Bidan?’. Saya jawab, ‘Saya asal jawab kalau saya penyuluh’. Dia lalu bilang gini ‘O iya, bagus bagus jadi nanti sekalian bisa memberikan penyuluhan.’ Aku sampai menghela napas.”
Ada hal lain yang dikatakan pejabat itu ke Mbak Tyas yang membuatnya mangkel pol. “Pejabat itu ngomong, ‘Tenang ya, teman-teman di sini semua, insyaallah kami juga usahakan insentif. Ya nggak banyak, 200 ribu rupiah. Bisa buat beli lipstik.’ Dia bilang gitu coba!” Agaknya kekesalan Mbak Yas masih belum tuntas.
“Aku mangkel. Kok bisa mikir lipstik, iki awakku pegel kabeh arep bayar tukang pijet! Lha sekarang maskeran, ora katene mikir lipstik. Yang penting Becom-Zet, pijat, hot and cream atau fresh care. Di pikiranku, dapet 200 ribu itu bukan alhamdulilah. Itu seperti sepeda motor buat beli bensin, bukan ganti velg, slebor. Beda kan antara kebutuhan dan kesenangan. Itu memang kebutuhanku. Beli masker, face shield. Itu semua kita beli lo,” jelasnya panjang lebar.
“Sekta Mbak, beli hazmat? Masker? Vitamin? Susu?” Saya coba mencerna.
“Ya Allah kita beli sendiri. Kita pernah minta masker aja ditanyakan. Ceritanya begini, aku punya masker, aku dobel sama kain. Ndilalah masker medisku pedot. Lak yo mesakne se. Aku akhirnya cuma pake masker kain. Kita nggak pede kan kalau cuma pakai masker satu lapis apalagi kain aja. Aku datang ke ibu bagian alkes, aku minta masker, apa jawabnya? ‘Gae opo?’ Gae sopo?’”
“Ya opo kalau kamu digituin?” Mbak Yas menodong saya.
“Tak pisui Mbak,” saya refleks menjawab.
“Oiya Mbak, yang 200 ribu rupiah tadi dibayar beneran?” Saya coba mengonfirmasi.
“Nggak, demi Allah nggak, aku sampai tanya ke temanku, jangan-jangan temenku nggak jujur. Dia dapat, aku nggak. Aku tanya gini ‘Eh sampean krungu dewe to aku ditunjuk terus diomongi oleh 200 ribu. Kae ki tenan po ra? ‘Ora ki,’ ngunu jawab kancaku.”
Aku ikut menghela napas, runyam betul keadaan mereka.
“Kemarin itu aku dipanggil buat tanda tangan, terus dikasih amplop. Lha amplopane kok kandel, iki opo 200 ribu apa mataku yang salah ya. Aku buka amplopnya, ternyata kandel iku gara-gara isinya cuma 5 ribuan 4 buah. Piye ra kandel?”
Tak ada hari libur dan insentif yang tak mencukupi
Mba Yas izin curhat lagi. Ini tentang waktu kerja sebagai nakes yang tak mengenal waktu dan hilangnya hari Minggu. “Tahu ya kita itu kerja di puskesmas berapa hari? 6 hari. Senin sampai Sabtu. Ya Allah aku lek cerito ngene aku kudu nangis. Kita itu Minggu disuruh vaksinasi, berangkat pagi. Dan amplopnya 20 ribu rupiah itu tadi. Tambah nggarai nangis. Itu lo, Minggu. Kecuali kita dapat ganti Senin libur atau Sabtu bisa istirahat. Senin kita masuk seperti tidak apa-apa. Terus Minggune kapan? Minggune ra kroso ngunu lo. Agak nggak masuk akal,” kata Mbak Yas dengan nada sedih karena tak punya hari libur.
“Kita itu hampir setiap hari vaksinasi, dan itu kita hampir tidak disediakan sarapan. Padahal kita sendiri sebagai nakes atau ahli gizi tahu betul sarapan itu buat apa. Itupun kalau ada roti, lumayan lah bagi orang-orang yang suka roti. Orang jawa kayak aku, kalau belum makan nasi, itu rasanya belum makan.”
Saya bertanya ke Mbak Yas soal berapa insentif dia.
“Sampai sekarang, Alhamdulillah dapat satu juta,” katanya.
“Per bulan?” Saya ndedes.
“Perbulan gundulmu. Ya selama ini, selama pandemi ini cuma dapat satu juta rupiah-piah-piah.” Mbak Yas kembali ngegas lagi, agaknya strategi saya menanyakan insentif adalah langkah yang salah.
“Satu lagi, kita login P-Care itu coba ya kalau ada wifinya. Itu tethering sendiri Bos. Sebenarnya, di Puskesmas ada wifi, tapi jangan harap bisa buka P-Care pakai wifi Puskesmas. WA aja ngadat. Pengalaman waktu itu aku ada paketan 300 MB, dan ada pulsa nganggur 100 ribu. Aku pikir bisa lah pakai sisa 300 MB. Tapi hari itu pas P-Care-nya lemot. Bener bener nggak jalan. Ternyata paket data itu kurang dan akhirnya nyedot pulsa.”
Hari-hari ke depan, Mbak Yas masih akan banyak tugas untuk melakukan vaksinasi. Ia tak lagi mau memikirkan janji pejabat atau pulsanya yang kesedot. “Halah embuh wes aku nggak mikir. Pokok sesok dikon budal yo budal. Aku wes emoh mikir. Sesok bah sasarane 200 bah piro. Penting budal,” kata Mbak Yas tertawa.
Mojok menghubungi dr Taufik (31), dokter yang bekerja di salah satu Puskesmas di Gunung Kidul Yogyakarta. Ia mengakui, target pemerintah untuk melakukan vaksinasi massal awalnya cukup merepotkan. Puskesmasnya pernah diminta untuk melakukan vaksinasi kepada 400 orang dalam satu hari.
Tawaran itu tidak lantas diterima begitu saja. Puskesmasnya pernah punya pengalaman melakukan vaksinasi kepada 750 orang dalam satu hari, tapi banyak kemudian yg kelelahan. “Tempat saya kan puskesmas 24 jam yg SDM-nya terbatas, dan harus melakukan pelayanan poli rawat jalan ke pasien, tracking pasien, pemantauan ke pasien. Saya nego dalam satu hari 100 orang, tapi dilakukan rutin seminggu 4x setiap Senin-Kamis. Kasihan nakesnya kalau dipaksakan dalam sehari, selain juga akan menimbulkan kerumunan,” katanya.
Usulannya itu akhirnya bisa diterima. Semuanya jadi terasa lebih ringan. Masyarakat bisa mendapatkan vaksin, beban nakes dan vaksinator jadi lebih ringan. “Kalau tantangan di tempat kami itu justru mengajak masyarakat untuk mau vaksin. Banyak yang masih nggak mau,” katanya.
Ikatan Ahli Kesehatn Masyarakat (IAKMI) seperti dikutip di laman tirto.id menyatakan beban kerja tenaga kesehatan menjadi salah satu isu yang harus diperhatikan semua pihak. Kasus EO bukan sekadar vaksinnya kosong atau tidak, tapi ada beban kerja, beban psikologi, ada traumatik, prosedur, tata laksana yang harus lebih baik.
BACA JUGA Derita Anak Kos: Sendiri, Sakit, Isoman tanpa Pantauan Nakes dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.