Ramadan dan putranya, Alhayar, rela menempuh perjalanan selama tujuh hari di atas kapal demi mengikuti Audisi Umum PB Djarum 2025. Meski pengorbanan mereka belum berbuah hasil maksimal, tetap ada kebanggaan yang didapat.
***
Di balik gemuruh Audisi Umum PB Djarum 2025, saya berjumpa dengan seorang ayah yang langkahnya mantap meski wajahnya terlihat lelah. Namanya Ramadan (45), seorang pekerja swasta asal Sentani, Jayapura, Papua.
Hari itu, ia berdiri di pinggir Lapangan 3 GOR Jati, Kudus, menatap putranya, L.D. Alhayar Ramadan Hismente (10), yang sedang bertanding bulu tangkis.
Ramadan tak berasal dari kota tetangga, bukan pula orang yang sering datang ke Pulau Jawa. Ia datang dari tanah yang jauh, ribuan kilometer dari Kudus. Untuk sampai ke arena audisi, ia dan anaknya harus melakukan perjalanan selama tujuh hari di atas kapal laut.
“Kalau naik pesawat, bisa habis sepuluh juta, Mas,” kata Ramadan lirih, saat saya temui, Selasa (9/9/2025). “Naik kapal memang lama, tapi masih bisa saya bayar. Dan saya pikir, selama di kapal, saya juga bisa lebih dekat sama anak saya.”
Berjuang dalam keterbatasan
Di Sentani, tempat tinggalnya, bulu tangkis bukan olahraga populer. Memang ada beberapa klub tempat anak-anak mengembangkan bakat mereka, misalnya, Konco Badminton Academy Sentani (KBAS), tempat Alhayar berlatih.
Namun, jangan harap fasilitasnya sememadai klub-klub di kota besar lain, khususnya yang ada di Pulau Jawa.
“Namanya di daerah, apalagi kami dari Timur yang fasilitasnya memang serba tertinggal. Makanya, anak-anak di Sentani, termasuk Alhayar, berlatih dalam keterbatasan,” kata Ramadan.
Akan tetapi, itu bukan alasan untuk merasa kecil. Menurutnya, selama ada kemauan untuk maju, pasti jalan akan dimudahkan. Oleh karena itu, pada gelaran Audisi Umum PB Djarum 2025 ini, ia mantap mendaftarkan anaknya.
Baginya, program ini adalah jalan bagi anak-anak daerah, seperti Alhayar dan teman-temannya di Sentani untuk bisa meraih mimpi.
“Begitu ada pengumuman pendaftaran dibuka, saya mantap bilang ke anak saya, ‘kita berangkat, apapun hasilnya, yang penting dapat pengalaman dan pelajaran berharga.”

Memutuskan naik kapal demi bisa menikmati waktu berharga bersama sang anak
Ramadan memang mengaku kalau biaya akomodasi menjadi sedikit penghambat. Bagaimana tidak, untuk berangkat pulang-pergi Sentani ke Kudus dengan cara tercepat (naik pesawat) paling tidak dirinya kudu menyiapkan uang Rp10 juta.
Makanya, Ramadan memilih opsi naik kapal yang sesuai perhitungannya, “cuma” akan menghabiskan uang Rp6 juta. Meskipun, waktu tempuh yang mereka butuhkan juga lebih lama, yakni satu minggu.
“Saya tanya ke Alhayar, katanya, nggak apa-apa naik kapal,” ujar Ramadan. “Selain menghemat cukup lumayan, tujuh hari di kapal juga memberi saya banyak waktu buat lebih dekat dengan anak. Kami lebih banyak ngobrol, berinteraksi, karena hari-hari biasa waktu sedikit kurang karena sibuk kerja.”
Ramadan ingat, saat hari keberangkatan, Pelabuhan Jayapura penuh dengan aktivitas manusia. Ia menggandeng erat tangan anaknya saat naik ke kapal besar yang akan menjadi “rumah” mereka selama seminggu.
Baginya, tujuh hari di tengah laut adalah ujian kesabaran. Bagaimana tidak, saat malam tiba, cuma ada suara mesin kapal berpadu dengan debur ombak yang tak henti-hentinya. Mereka cuma sesekali melihat daratan saat transit di pelabuhan. Itupun tak lama.
Hari-hari di kapal terasa sangat panjang. Belum lagi Alhayar beberapa kali mengalami mabuk laut karena tidak terbiasa dengan suasana.
“Soalnya di Sentani itu pegunungan, sementara kita selama tujuh hari hidup di lautan,” katanya.

Kendati demikian, Ramadan bahagia karena selama di kapal ia bertemu orang-orang baik. Setiap mengobrol dan membahas anaknya yang akan mengikuti Audisi Umum PB Djarum di Kudus, banyak dukungan berdatangan.
Setelah tujuh hari mengarungi luasnya lautan, Ramadan dan Alhayar akhirnya sampai di Surabaya untuk kemudian lanjut dengan moda transportasi darat. Mereka akhirnya tiba di Kudus sehari sebelum pelaksanaan Audisi Umum PB Djarum, yakni pada Minggu (7/9/2025) dan tinggal di sebuah penginapan berjarak 500 meter dari GOR Jati.
Di Audisi Umum PB Djarum, sedih dan bangga bercampur jadi satu
Sejak Senin (8/9/2025), ratusan anak dengan seragam olahraga warna-warni memenuhi GOR Jati. Suara raket beradu dengan kok, bercampur teriakan pelatih, orang tua, dan tepuk tangan para penonton.
Pada Selasa (9/9/2025), saya menyaksikan Ramadan berdiri di pinggir lapangan. Wajahnya serius, kedua tangannya mengepal. Dan tak henti-hentinya ia memberi semangat kepada atlet cilik yang bertanding. Itu adalah momen perjumapaan saya dengan ayah hebat ini.
Di lapangan, pertandingan itu mempertemukan Alhayar vs. Alvaro Arsenio Young, peserta dari Kota Medan. Laga berjalan sengit. Ramadan bersorak tiap anaknya mendapatkan poin, meski beberapa kali terdiam karena ternyata lawan jauh lebih kuat.
Di akhir pertandingan, Alhayar harus mengakui keunggulan lawannya dengan skor akhir 12-21. Ia kalah.

Saat kok terakhir jatuh di sisi lapangan Alhayar dan wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan usai, saya melihat raut sedih dari wajah Ramadan. Namun, ketika sang anak menghampirinya, wajah muram tadi berubah seketika.
Ia kemudian langsung merangkulnya erat dan menepuk punggung anaknya dengan penuh kebanggan.
“Nggak apa-apa, lawannya emang lebih berpengalaman. Yang penting kamu sudah berusaha,” ucapnya kepada sang anak, mencoba menguatkan.
Di dalam riuhnya GOR Jati siang itu, saya menyaksikan pemandangan yang begitu luar biasa: seorang ayah, yang menyaksikan anaknya kalah, membuang jauh rasa kecewa kemudian merangkulnya dengan penuh rasa bangga.
Audisi Umum PB Djarum, lebih dari sekadar mencari pemenang
Kisah Ramadan dan Alhayar, menjadi pengingat bahwa Audisi Umum PB Djarum bukan sekadar ajang mencari juara. Bagi banyak keluarga, terutama dari daerah pelosok, ini adalah pintu untuk bermimpi lebih besar.
Sebagaimana Ramadan: jarak ribuan kilometer, biaya jutaan rupiah, dan waktu berhari-hari di laut, ternyata bukan halangan. Yang mereka kejar bukan hanya prestasi, tetapi kesempatan untuk melihat dunia lebih luas.
“Jujur saya tidak kecewa, Mas. Pertandingan memang ada yang menang dan ada yang kalah. Yang terpenting, hari ini anak saya bisa menyaksikan dunia yang lebih luas,” ujarnya.
Setelah pertandingan selesai, saya mendampingi Ramadan dan Alhayar keluar GOR Jati. Langkah mereka tidak tergesa-gesa. Beberapa kali mereka menyempatkan diri buat berfoto atau bertemu teman baru.
“Memang, Mas, perjalanan panjang tujuh jam dari Sentani ke Kudus belum menghasilkan kemenangan. Tapi ada kebanggaan yang kami rasakan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Tak Minder Pakai Raket Murah, Meski Seadanya tapi Bisa Beri Kebanggaan pada Orangtua di Lapangan Bulu Tangkis atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












