Kampung Kentingan Baru, Jebres, Solo tiba-tiba diguyur hujan ketika saya sampai di rumah salah seorang warga pada Minggu (16/2/2025). Cipratan air memasuki bilik tempat saya dan warga kampung berbincang.
Maklum saja, terdapat banyak rongga di bangunan rumah ini. Dinding triplek tak menutup ruangan secara menyeluruh, atap berbahan asbes juga bolong sana-sini. Kami pun mulai merapat ke tengah, mencari posisi duduk yang aman agar tak basah terkena cipratan.
“Maaf ya, Mas. Tempatnya seadanya,” kata Jamin, lelaki berusia 70-an tahun yang sudah seperempat abad mendiami Kampung Kentingan Baru. Ia juga sekaligus tokoh yang dihormati di lingkungannya.
“Dulu ini kampung seperti pada umumnya, Mas. Ada masjid, orang usaha, rumah-rumah juga sudah tembokan semua, malah ada yang rumahnya tingkat (dua lantai). Tapi gara-gara mafia tanah, dirobohkan semua,” imbuhnya, dengan nada geram.

Rumah Jamin berada di Blok I Kampung Kentingan Baru, Solo. Lokasinya mepet dengan kompleks Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)–bahkan tembok pembatasnya pun menjadi satu dengan Fakultas Pertanian. Permukiman ini berisi 10 rumah (15 KK) dengan 50-an penghuni. Semua bangunan di sini ia sebut sebagai “rumah darurat” yang dibikin apa adanya.
“Soalnya kalau mau membangun ulang, nggak ada biayanya, Mas. Toh, kalau kami membangun rumah lagi, khawatir kalau ujung-ujungnya digusur lagi.”
Dua peristiwa yang mengubah wajah Kampung Kentingan Baru
Ada dua momen yang bikin Jamin dan ratusan warga Kampung Kentingan Baru lainnya kehilangan rumah mereka. Momen pertama terjadi pada 16 Desember 2018, saat ratusan polisi, TNI, satpol PP, dan preman, menggusur paksa warga kampung ini.
Bentrokan tak terhindarkan. Beberapa warga terluka dan sebagian lagi ditangkap oleh polisi. Di akhir penggusuran, ada lima rumah warga yang dirobohkan.

Setahun berselang, 7 November 2019, aparat gabungan kembali datang. Warga yang sudah kebacut trauma dengan peristiwa sebelumnya, memilih untuk tak melawan karena takut. Kebanyakan dari mereka sudah pindah setelah dengan terpaksa menerima untuk direlokasi.
“Itu jumlah warga sama aparat, malah banyakan aparat,” ungkap Jamin, mengingat kejadian empat tahun silam. “Warga pada digebukin. Saya ketendang di bagian perut, seminggu masih terasa nyerinya.”
Brutalitas aparat gabungan bikin warga yang dibantu mahasiswa terpukul mundur. Alhasil, 200-an rumah di empat blok, termasuk rumah Jamin, tergusur paksa. Bekas lahannya kini hanya dibiarkan kosong. Sementara Jamin bersama 50-an warga lain, mendirikan bangunan darurat di Blok I, tempat kami mengobrol di hari itu.
Laode Edirahman, advokat LBH Jogja yang memberi bantuan hukum pada warga korban penggusuran di Kampung Kentingan Baru, menyebut tindakan brutal yang dilakukan aparat tak bisa dibenarkan. Penggusuran sendiri ia anggap ilegal karena dilakukan tanpa prosedur yang berlaku.

Ia menjelaskan, warga kampung memilih bertahan karena menurut hukum, memang mereka berhak atas tanah tersebut. Penjelasan selengkapnya soal perjuangan warga melalui hukum dapat dibaca dalam liputan “Riwayat Warga Kampung Kentingan Baru Melawan Mafia Tanah Solo, Digusur Paksa Polisi dan Preman”.
Dipaksa tidur bersama tikus, sampai ada warga yang meninggal
Ada kejadian unik ketika saya berkeliling menyusuri puing-puing bekas rumah yang digusur. Saya menjumpai biawak seukuran orang dewasa. Malahan, saya sempat mengira hewan itu buaya, saking besarnya.
Ketika saya menceritakan itu kepada Jamin, ia hanya tertawa. Menurutnya, sejak terjadi penggusuran, binatang melata kerap dijumpai. Sebagian malah masuk rumah.
“Biawak sering. Ular juga. Saya 12 kali membunuh ular yang masuk rumah, Mas,” jelas warga Kampung Kentingan Baru ini.

Peneliti League of Social Studies and Research (LSSR), Aminullah (25), bahkan mengatakan ada beberapa warga yang meninggal setelah penggusuran.
“Setelah penggusuran, warga kehilangan tempat tinggal. Mereka terpaksa tidur dalam kondisi kakinya digigitin tikus. Sampai ada satu warga meninggal karenanya (digigit tikus), kemungkinan kena penyakit leptospirosis,” jelas lelaki yang sudah mengadvokasi warga sejak 2018 ini kepada Mojok, Minggu (16/2/2025).
Tak cuma itu, ia bersama kolektif mahasiswa UNS yang bersolidaritas ke warga juga mencatat, sedikitnya ada dua warga lain yang meninggal setelah penggusuran. Satu orang karena tertimpa dinding, sementara satu lagi karena serangan jantung.
“Itu yang baru tercatat dan diduga berkaitan dengan situasi pasca penggusuran,” ungkapnya.
Anak-anak Kampung Kentingan Baru trauma dengan polisi
Tak cuma itu, Amin juga menjelaskan banyak anak-anak di Kampung Kentingan Baru mengalami trauma atas tindakan brutalitas aparat. Bagaimana tidak, saat penggusuran paksa terjadi, anak-anak menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut.
“Banyak yang takut sama polisi. Ada juga yang menjadi benci dengan polisi,” kata Amin.

Penggusuran di Kampung Kentingan Baru juga bikin anak-anak “terisolir” dari pergaulannya. Mereka menjadi terpisah dengan teman bermain lamanya karena orang tuanya direlokasi paksa.
Tempat bermain mereka pun juga hilang. Amin mengatakan, dulu ada lapangan yang menjadi tempat bermain anak-anak. Kini, lapangan tersebut tertimbun bekas-bekas bangunan, ditumbuhi rumput liar, dan dihuni binatang melata sehingga tak aman lagi untuk bermain.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pahitnya Janji Pemerintah kepada Kelompok Tani Kampung Bayam, Usai Dipenjara kini Terpaksa Tinggal di Huntara atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.