Rasa nyaman di kos penjual masakan babi
Terlepas dari problem overthinking di atas, selebihnya Kiki mengaku nyaman-nyaman saja tinggal di kos penjual masakan babi di Mrican, Jogja, tersebut. Ia sudah tiga tahun tinggal di sana dan belum ada niatan untuk pindah.
“Biasa aja, sih (nggak ada yang ganggu). Kadang ada aroma masakan (babi) masuk ke kamar. Bikin laper sih emang hehe. Tapi itu kan nggak lantas bikin aku tergoda buat makan babi. Selain itu nggak ada yang ganggu,” ujar Kiki disertai tawa kecil.
Tiga tahun tinggal di kos penjual masakan babi di Mrican, jogja, Kiki mengaku tidak khawatir jika barang miliknya tercampur dengan barang-barang yang dipakai untuk masak atau makan babi.
Kiki memang jarang menggunakan dapur kos. Urusan makan, ia lebih sering makan di luar atau pesan online.
“Kami punya alat makan sendiri-sendiri. Jadi, nggak perlu takut campur aduk,” jelasnya.
Atas kenyamanan-kenyamanan yang ia dapat di kos Mrican, Jogja, itu, Kiki berencana untuk tetap tinggal di sana sampai lulus kuliah. Bahkan mungkin lebih lama jika ia bekerja di Jogja.
“Udah nyaman di sini. Kosnya bersih, tetangga kos juga enak. Jadi, nggak ada alasan buat pindah,” ujarnya mantap.
Toleransi jadi kunci di kos penjual masakan babi Mrican Jogja
Toleransi memang jadi kunci utama di kos Mrican, Jogja, ini. Begitu kata Margaret (21), mahasiswa PBSI beragama Katolik yang juga tinggal di kos penjual masakan babi tersebut.
Tinggal di kos tersebut memberi pengalaman berharga bagi Margaret. Sebab, ia bisa belajar tentang keberagaman dan bagaimana menghargai orang lain yang mungkin tidak bisa mengonsumsi babi.
“Buat saya, ini kesempatan buat belajar toleransi, karena nggak semua orang bisa makan daging babi. Kita bisa lebih menghargai perbedaan,” ungkapnya saat saya temui di waktu yang sama dengan momen bertemu Kiki.
Meski ada perbedaan preferensi makanan, Margaret menegaskan bahwa hubungan antar penghuni kos–yang berbeda agama–berjalan normal dan bahkan cenderung harmonis. Semua orang di kos ini tahu cara saling menghargai.
“Yang makan daging babi nggak bakal makan di depan yang nggak makan babi. Begitu juga sebaliknya. Jadi, semuanya saling menghormati,” tutup Margaret.
Menjelang Magrib, obrolan kami berakhir. Lokasi kos dan warung masakan babi letaknya memang bersebelahan. Keluar dari kos, beberapa orang tampak tengah makan di warung masakan babi tersebut.
Dari anak-anak kos, saya tahu kalau yang stay di warung adalah pegawai-pegawai ibu kos. Hal itu membuat saya urung untuk mewawancara ibu kos pemilik warung masakan babi itu. Mungkin lain waktu saya akan berbincang secara khusus dengannya. Semoga.
Penulis: Lina Sunarni
Editor: Muchamad Aly Reza
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Magang Jurnalistik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta periode September 2024.
BACA JUGA: 5 Jenis Kos di Jogja dari yang Spesifikasi Pesantren hingga Penuh Kebebasan
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News