Ada beberapa kelakuan pengurus masjid di Indonesia yang diresahkan oleh banyak orang. Hal tersebut menjadi faktor banyak umat Islam di Indonesia—dari anak-anak hingga dewasa—enggan dan bahkan sengaja menjauh dari masjid. Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi memberi “kritik halus” yang harusnya bikin para pengurus introspeksi diri.
***
Keresahan pada kelakuan pengurus masjid di Indonesia sebenarnya sudah saya rasakan sejak dulu. Saya pun pernah menulis beberapa opini mengenai hal tersebut.
Awalnya saya mengira hanya saya saja yang meresahkannya. Kalau iya, barangkali hati saya memang sudah gelap. Akan tetapi, ternyata saya mendengar banyak keluhan yang sama dari banyak orang lain.
Oleh karena itu, belakangan saya sangat suka menyimak aktivitas Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi, Jawa Barat, melalui akun Instagram resminya.
Masjid dengan nama asli Masjid At Tin tersebut belakangan memang tengah viral di media sosial. Sebab, para pengurus masjid di situ memiliki cara pengelolaan yang berbeda sama sekali dari masjid-masjid pada umumnya di Indonesia.
Dalam banyak narasi kontennya, Masjid Sejuta Pemuda secara halus mengkritik kelakuan pengurus masjid yang kemudian menjadi keresahan banyak orang. Memang ada yang tidak sejalan dengan Masjid Sejuta Pemuda. Tapi lebih banyak orang yang mendukung gerakan dari jajaran pengurus masjid di Sukabumi tersebut.
Keresahan-keresahan terhadap kelakuan pengurus masjid di Indonesia pada umumnya antara lain:
#1 Menutup diri untuk umat
Saya pribadi punya banyak keresahan terhadap pengurus masjid. Namun, akan saya hadirkan pengalaman yang paling baru saja, yakni pada Juni 2024 lalu.
Pada suatu malam di bulan Juni 2024 itu, dalam perjalanan pulang Jogja-Rembang, saya mampir di salah satu masjid di pinggiran jalan di Rembang, Jawa Tengah. Waktu itu menjelang pukul delapan malam.
Karena tidak enak (sama Allah Swt) kalau mampir masjid cuma buat selonjoran kaki dan numpang buang air kecil, maka saya pun sekalian salat Isya. Itu pun tidak di area dalam masjid, tapi di selasar. Usai salat Isya, suasana masjid memang sudah sepi. Hanya ada satu-dua orang saja yang berlalu-lalang. Saya memutuskan untuk berhenti sejenak, membalas pesan-pesan WhatsApp yang masuk dan belum sempat terbalas saat saya tengah menyetir (motor).
Jam delapan lebih sedikit, saya lalu bergegas ke parkiran motor: mengambil motor untuk lekas lanjut perjalanan menuju rumah. Sialnya, motor saya tak bisa keluar. Sementara gerbang utama masjid sudah digembok. Waktu itu saya tidak sendiri. Ada satu orang lain, dua orang perempuan yang juga kebingungan karena motor tak bisa keluar.
“Masih zaman ya masjid jam segini sudah dikunci,” gumam salah satu dari perempuan itu. Saya hanya tersenyum kecut.
Kami pada akhirnya tetap bisa keluar karena ada orang (mungkin jemaah) yang membantu menelepon pengurus masjid untuk membukakan pintu. Hanya saja, si pengurus masjid malah agak dongkol dengan kami.
“Sudah tahu sudah jam segini, malah masih di dalam (masjid). Tadi waktu jemaah Isya ke mana aja,” ujar si pengurus masjid. Saya hanya diam saja. Tak terlalu kaget. Karena hal semacam itu sudah kerap saya temui sejak dulu.
#2 Pengurus masjid di Indonesia suka bentak anak-anak
Saat ini, Rofal (15) menjadi anak yang sangat malas pergi ke masjid. Entah untuk salat, tadarus Al-Qur’an, dan lain-lain. Hal tersebut tidak lepas dari apa yang pernah ia alami sejak SD. Pengalaman buruk dengan pengurus masjid di dekat rumahnya di Rembang.
“Aku dan temen-temenku nggak pernah lagi ke masjid karena dulu sering dibentak-bentak karena main-main di masjid,” tutur Rofal, Senin (19/8/2024).
“Dulu pernah waktu Tarawih. Habis tarawih kan biasa anak-anak main di pelataran masjid. Tapi karena dianggap mengganggu orang-orang yang tadarus kami dikejar pengurus masjid, dilempar gagang sapu,” ungkapnya.
Sementara mereka juga tidak mendapat tempat untuk ikut tadarus. Sebab, orang-orang tua (termasuk pengurus masjid) merasa bahwa ngaji anak-anak SD belum fasih. Dianggap akan merusak bacaan Al-Qur’an.
“Aku dulu rajin azan loh, Mas. Semangat banget. Saking semangatnya, aku dulu Magrib, Isya, dan Subuh pasti azan,” kata Rofal.
Sayangnya, respons pengurus masjid justru tidak enak. Hanya karena Rofal salah melafalkan lafaz selawat saat melantunkan pujian, ia dimarahi habis oleh si pengurus. Saat itu ia hanya bisa menangis karena merasa salah. Tapi saat ini ia mulai sadar, kalau salah, harusnya diajari mana yang benar. Bukan malah dimarahi.
Sekarang ia nyaris tak pernah menginjakkan kaki ke masjidnya lagi. Ia ke masjid mungkin hanya waktu salat Jumat atau salat Idulfitri saja. Sisanya tak pernah.
“Itu kalau ada pengajian pasti disindir. Anak-anak sekarang nggak ada yang mau memakmurkan rumah Allah,” tutup Rofal.
#3 Melarang jemaah berdiam diri atau istirahat di masjid
Salah satu konten yang viral di Instagram Masjid Sejuta Pemuda adalah ketika orang-orang yang tengah tiduran di masjid justru difasilitasi. Pengurus memberika mereka bantal bahkan kasur agar para jemaah bisa berbaring atau istirahat dengan nyaman.
Servis semacam ini nyatanya amat jarang ditemui di masjid-masjid lain. Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang, jangankan tiduran, baru duduk selonjoran kaki saja sudah diperingatkan. Bahkan ada masjid yang secara terang-terangan memasang papan peringatan “Dilarang tiduran di sini!”.
“Banyak rumah Allah yang besar-besar malah nggak bisa buat istirahat umat-Nya.”
“Saya jadi teringat dulu pernah diusir satpam karena mau numpang istirahat di masjid. Katanya masjid itu tempat salat bukan tempat istirahat. Akhirnya saya tidur di pinggiran jalan, di emperan toko.”
“Beberapa masjid malah melarang buat tidur di dalam masjid. Padahal bukan tidur. Tapi cuma buat mengenakkan badan saja, tapi dimarahi.”
Itu adalah sedikit saja cuplikan komentar di konten Masjid Sejuta Pemuda. Masih banyak komentar lain. Tapi intinya sama: banyak orang meresahkan kecenderungan pengurus masjid yang suka usir-usir orang saat istirahat di rumah Allah.
#4 Suka narik sumbangan tapi nggak ngasih sumbangan
“Apakah Anda punya keresahan dengan masjid di desa Anda?” tanya saya pada Budin (38), seorang warga salah satu desa di Jombang, Minggu (18/8/2024).
“Masjid sering menarik sumbangan ke masyarakat. Tapi cuma buat menggedekan bangunan. Sementara mereka jarang ngasih sumbangan atau sedekah ke orang-orang miskin di sekitarnya,” jawab Budin dengan sorot mata kecewa.
Begitulah yang juga terjadi di banyak masjid lain. Budin juga menyoroti ketika masjid di desanya kerap mengumumkan besaran saldonya. Jumlah saldo yang hanya untuk membesarkan bangunan, tapi tidak untuk bersedekah pada orang miskin di sekitarnya.
#5 Suka usir mereka yang ingin mendekat pada Tuhan
Pada Maret 2024 lalu, sempat viral video seorang pemuda diduga dalam keadaan mabuk tengah duduk untuk ikut salat Subuh di sebuah masjid di Medan, Sumatera Utara.
Seorang pria bergamis lantas menghampiri pemuda berkaos hitam tersebut dan memintanya untuk keluar dari rumah Allah.
Netizen waktu itu terbelah dua. Ada yang menyebut kalau si pemuda memang sudah selayaknya tidak masuk rumah Allah dalam keadaan mabuk.
Namun, ada juga yang berpendapat kalau saharusnya pria bergamis itu merangkul pemuda yang tengah mabuk tersebut. Karena dalam kondisi mabuk, ia ternyata masih punya dorongan untuk menuju rumah Allah.
Bagaimana rumah Allah seharusnya dikelola
Ustaz Anggy Firmansyah (30-an) selaku pengasuh Masjid Sejuta Pemuda membeber bagaimana Sejuta Pemuda dikelola untuk menjadi pembeda dari masjid-masjid lain. Jika di masjid lain hanya buka di saat waktu salat fardu (sisanya tutup), maka di Sejuta Pemuda buka 24 jam untuk umat.
Jika masjid lain mengusir anak-anak, mengusir orang istirahat, bahkan mengusir “orang marjinal”, di Sejuta Muda semua terfasilitasi.
“Selama itu tidak melanggar syariat, dikerjakan di luar waktu salat, sah-sah saja untuk melayani tamu Allah. Yang tidur (khusunya di Sejuta Pemuda) itu mereka bukan di jam salat, tapi saat trefik orang salat sedang rendah (misalnya jam delapan malam ke atas,” terang Ustaz Anggy dalam podcast di kanal YouTube Kasisolusi.
“Silakan nginep. Tapi wajib ikut salat, wajib ikut ngaji,” sambungnya. Prinsipsnya, orang akan merasa nyaman lebih dulu di masjid. Lalu mereka lambat-laun juga akan semakin tekun dalam beribadah.
Menurut Ustaz Anggy, sekarang banyak pengurus yang bertindak sebagai tuhan, padahal sejatinya ia hanyalah pelayan rumah Allah. Harusnya juga melayani tamu-tamu Allah yang datang dengan sebaik mungkin. Bukan malah mengatur-atur, apalagi sampai membuat umat enggan singgah ke rumah-Nya lagi.
“Sampai ada komentar begini, ya Allah aku pengin sujud di rumah-Mu, tapi dikunci sama pembantu-Mu,” ujar Ustaz Anggy.
Ustaz Anggi bercerita, pernah ada anak yatim piatu yang datang ke Sejuta Pemuda. Ia lama menginap di sana. Saat ditanya, ia mengaku bingung mau pulang ke mana. Ia juga tidak punya tempat untuk bercerita. Alhasil, Sejuta Pemuda membuka ruang bagi anak yatim piatu tersebut untuk menceritakan masalah hidupnya.
“Ada orang mau cerai, ke masjid aja ngobrolnya. Ada orang punya masalah, cerita ke masjid. Kalau begini, orang kalau punya masalah larinya ke masjid, bukan ke diskotik,” beber Ustaz Anggy.
4 pilar yang perlu dicatat pengurus masjid di Indonesia
Dalam manajemen Sejuta Pemuda—dan sepertinya bisa ditiru pengurus-pengurus lain—ada empat pilar dalam memakmurkan rumah Allah. Antara lain:
- Pilar Baitullah: memfungsikan masjid sebagai tempat ibadah.
- Baitul Qur’an (pilar pendidikan): masjid memiliki aktivitas pendidikan
- Baitul Amal (pilar kepedulian): masjid menjadi harus menjdi jembatan amal saleh orang baik ke orang membutuhkan
- Pilar Muamalah (pilar kemandirian): masjid harus memberdayakan umat.
“Pernah ada anak yatim sakit. Kalau kumat ia halusinasi melihat makhluk halus. Coba kami ruqyah. Terus dicek ke dokter, ternyata sakit lambung kronis.”
“Saat ditanya ini anak jarang makan. Lah kenapa? Ternyata memang kurang biaya buat makan. Rumahnya sekian meter saja dari masjid, yang dengan bangga masjid itu ngumumin saldonya.” Begitulah cerita dari Ustaz Anggi memberi gambaran betapa masjid harusnya mengamalkan pilar ketiga untuk umat.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News