Surabaya memang memiliki banyak kampus-kampus besar dan mentereng. Namun, tetap saja, hal itu tak serta merta membuat kota ini cocok menyandang julukan “Kota Pelajar”.
***
Membaca artikel “Jujur Saja, Surabaya Jauh Lebih Pantas Menyandang Gelar Kota Pelajar, Bukan Jogja, yang Jelas-jelas Tak Ramah untuk Pelajar” dari Dito Yudhistira Iksandy, saya merasa terusik.
Saya lantas melempar link artikel tersebut ke dua orang teman yang asli Surabaya dan yang pernah kuliah di Kota Pahlawan itu. Keduanya sama-sama menyatakan “Tidak sepakat!”.
Menurut keduanya, indikator-indikator yang Dito pakai untuk melabeli Surabaya sebagai Kota Pelajar rasa-rasanya masih belum kuat.
Kalau hanya perkara harga makanan yang ramah kantong, kondisi lingkungan Surabaya yang relatif lebih aman dan ramah pada pendatang, dan persoalan UKT, ah mentah. Begitu kira-kira pendapat dari Pandu (26), seorang teman yang lahir, tumbuh, kuliah, bahkan hingga saat ini kerja pun masih di Surabaya.
“UKT sama saja. Bahkan di kampus selevel UINSA yang, mohon maaf, termasuk kampus medioker, UKT-nya saja ada yang nggak masuk akal,” ujar Pandu.
Ia mencontohkan, seorang teman kami yang mengambil jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, harus kena UKT Rp6 juta. Padahal ia bukan dari keluarga PNS.
Untuk harga makanan murah dan lingkungan ramah pendatang, Pandu memang setuju.
“Tapi, masa itu serta merta membuat Surabaya cocok pakai sebutan Kota Pelajar?,” tanyanya retoris.
Bagi Pandu, Kota Pelajar pun seharusnya juga mempertimbangkan aspek-aspek yang menunjang ilmu pengetahuan. Tapi Surabaya di matanya tidak demikian.
Diskusi dan baca buku di Surabaya jadi hal tabu
Pandu lantas memberondong saya dengan keresahan-keresahannya perihal Surabaya.
Salah satu yang paling mengganjal hatinya adalah perihal pandangan sesama mahasiswa di Surabaya pada orang-orang yang suka membaca buku dan gandrung terhadap forum-forum diskusi.
“Saat kita suka baca buku apalagi mendiskusikannya dengan beberapa teman, ada loh yang kayak memandang kami sebagai orang-orang sok yes,” ungkapnya.
Padahal, bagi Pandu, habit suka pada buku adalah hal yang harus ada pada sebuah kota jika ingin menyandang julukan Kota Pelajar.
Dalam hal ini, Pandu lebih sepakat jika Jogja lah yang menyandang julukan tersebut. Sebab, di Jogja, kegandrungan pada buku masih terus terawat.
Selain itu, yang Pandu amat sayangkan adalah, banyak mahasiswa di Surabaya yang seolah anti pada forum-forum diskusi.
“Contoh paling remeh: di kelas kalau kita mencoba aktif bertanya, malah banyak yang nggak suka kita,” terangnya.
Apalagi dalam konteks yang lebih luas (diskusi di forum-forum serius), seperti misalnya Pandu yang aktif mengikuti diskusi di KontraS Surabaya dan forum Maiyah BangbangWetan. Ia mengaku justru menjadi bahan olok-olok dengan sebutan “sok ngaktivis” hingga “sok ngintelek”.
Pandu sendiri memiliki sejumlah teman dari kampus-kampus mentereng di Surabaya.
Setiap kali bertemu dengan teman-temannya itu, Pandu menyimpulkan bahwa rata-rata dari mereka kuliah ya hanya untuk kuliah. Masuk kelas, mengerjakan tugas, dan begitu saja. Saklek. Tak menaruh minat untuk menambah pengetahuan di luar urusan kuliahnya.
Toko buku sepi, selera pada buku bajakan tinggi
Mahrus (25) pun menuturkan hal yang kurang lebih sama dengan Pandu.
Salah satu alasan yang membuat Mahrus akhirnya memilih geser S2 ke Jogja adalah karena baginya lingkungan akademik di Surabaya tak cocok untuk berkembang.
“Hah, Surabaya ‘Kota Pelajar’? Nggak masuk lah,” katanya saat saya kirimi link artikel dari Dito.
Mahrus lantas memberi gambaran soal kondisi literasi di Surabaya. Karena baginya, literasi menjadi faktor penting yang harus terpenuhi jika sebuah kota mau menyandang julukan “Kota Pelajar”.
Ia menyontohkan, ada berapa banyak Togamas (toko buku diskon) yang tersebar di Surabaya? Banyak sekali. Tapi makin ke sini makin sepi.
“Itu tanda minat baca di Surabaya sangat kurang,” tekan Mahrus.
Mahrus menyebut, kalau toh ada yang minat untuk beli buku, pasti lebih memilih membeli buku bajakan. Entah di online shop atau di Jl. Semarang, Surabaya.
FYI, Jl. Semarang sendiri adalah pusat buku bekas di Surabaya. Meski begitu, sebenarnya tak jarang pula ada penjual yang menjual buku-buku bajakan.
“Bahkan di Jl. Semarang pun sekarang sepi kan,” imbuh Mahrus.
Bahkan, menurut Mahrus, setiap kali membuat komunitas berbasis literasi di Surabaya, pasti akan sepi peminat.
Ia merasakan sendiri pada komunitas yang sempat ia dan dosennya bentuk semasa S1 dulu. Hanya berisi enam orang, termasuk ia dan dosennya itu.
“Kota Pelajar tapi orang-orangnya saja nggak suka belajar, hahaha,” ujar Mahrus menertawakan seandainya Surabaya berjuluk Kota Pelajar.
Baca halaman selanjutnya…
Julukan yang pas selain Kota Pelajar