Banyak orang bilang, kalau mau melihat karakter asli temanmu, mendaki gunung adalah cara terbaik. Namun, kalau kamu mencari cara termudah buat melihat sisi buruk orang lain, jadilah pegawai food and beverage service (FnB).
FnB sendiri merupakan lini usaha pelayanan, yang tugasnya adalah menyajikan makanan dan minuman bagi para konsumen. Bisnis layanan ini memiliki orientasi utama untuk memberikan kepuasaan pada pelanggan saat menikmati makanan dan minuman, baik dari segi pelayanan maupun penyajian.
Kendati berbisnis di lini kuliner, bukan berarti kerja di FnB bikin para pegawainya libur atau mengalami penyesuaian jam kerja saat bulan puasa. Thoriq (23), misalnya, salah satu pegawai FnB di restoran makanan Jepang, yang tak kenal waktu libur selama bulan suci Ramadan tahun ini. Bahkan, boleh dibilang, jam kerjanya malah makin melar tanpa ada penyesuaian upah.
“Hari-hari biasa masuk jam delapan pagi, pulang Maghrib,” kata Thoriq, saat Mojok temui di sela-sela santap sahurnya, Minggu (17/3/2024) dini hari, “Pas Bulan Ramadan memang masuk jam 12 siang. Prepare beberapa jam, tapi pulangnya bisa sampai jam 11 malam,” lanjutnya.
Kerja di FnB ada enaknya, sih, bisa nyicip makanan mahal yang susah terbeli
Saya mengenal Thoriq pada 2017 lalu. Kala itu, kami sama-sama kerja di salah satu tempat futsal yang lokasinya ada di Umbulharjo. Setelah saya resign delapan bulan berselang karena mau fokus kuliah, saya mulai jarang lagi ke mampir futsalan. Namun, hubungan saya dengan Thoriq tetap berjalan baik dan masih sering ketemu.
Thoriq sendiri kerja di FnB sudah dua tahun. Setelah sempat lama nganggur karena pandemi Covid-19, pada 2022 lalu ia memutuskan melamar kerja ke sebuah kedai makanan mancanegara di mal ternama di Jogja.
“Kalo dari cerita teman-teman yang pernah kerja di sana, katanya enak. Bisa nyicip makan-makanan mahal,” kata Thoriq menjelaskan alasannya kerja ke FnB. Saya tanya demikian karena tahu kalau dia tak punya latar belakang perkulineran. Setelah lulus SMA pada 2016 lalu, lelaki asli Jogja ini langsung kerja di tempat futsal sebelum dirumahkan gara-gara Covid-19.
“Bayangin aja, sepaket pesanan kalau beli nyampai 80 ribuan. Aku mana mampu. Setelah kerja di sini malah rada bosen aja karena keseringan makan,” guraunya.
Tiap hari, ada saja orderan yang ter-cancel dan tak jadi diantar. Itu biasanya jadi rebutan para pegawai. Namun, karena Thoriq biasa shift malam sampai closingan, jatah itu jelas untuknya.
Jam kerja di FnB sering overtime tanpa duit lembur
Thoriq dapat upah Rp65 ribu per shift. Khusus buat weekend dan tanggal merah, upahnya bisa lebih besar, mencapai Rp86 ribu per shift. Meski dalam kacamatanya penghasilan ini sudah lumayan, yang kerap ia keluhkan adalah jam kerjanya.
Kalau buruh umumnya bekerja 8 jam per hari, hal itu tak berlaku di FnB tempat Thoriq bekerja. Sebagai informasi, kedai makan membagi jam kerja karyawan ke dalam dua shift. Shift I mulai pukul 7 pagi sampai pukul 3 sore, dan shift II dari pukul 1 siang sampai 10 malam.
“Tapi kenyataannya enggak gitu. Shift I kadang sampai habis maghrib baru pulang. Apalagi yang closingan, pulang jam 12 malam itu masih untung-untungan, karena kudu beres-beres dulu,” ujarnya.
Kata Thoriq, semua itu suka-suka manajer. Kalau situasi kedai masih ramai, beberapa pegawai dilarang pulang meski jam kerja sudah habis. Kemoloran ini bahkan bisa sampai 2 atau 3 jam.
“Tapi enggak pernah ada uang lembur. Itukan hitungannya udah di luar jam kerja,” jelas Thoriq. “Kalau sales di atas target, boro-boro pegawai dapat bonus. Manajernya yang dapat bonus 4 juta sehari, padahal kerjaannya cuma nyuruh-nyuruh.”
Kerja nonstop sampai muntaber gara-gara bos culas
Pengalaman paling tidak mengenakkan kerja di FnB Thoriq alami pada lebaran tahun 2023 lalu. Saat itu, sebenarnya Thoriq sudah minta libur. Namun, karena pegawai lain banyak yang sudah mudik dan status Thoriq adalah akamsi Jogja, manajer menyuruhnya tetap masuk.
“Abis salat ied, halal bi halal sama keluarga dan tetangga, langsung berangkat kerja lagi. Waktu itu kedai emang ramai-ramainya sih.”
Masalahnya, ia harus bekerja 10 hari nonstop lebih dari 12 jam sehari. Thoriq pernah mengajukan libur, tapi manajer selalu menolaknya. Alhasil, seminggu kerja nonstop, kakinya bengkak.
“Gimana enggak bengkak, kerja dari jam 9 pagi sampai 10 malam pakai safety shoes. Belum lagi nyuci, nyapu, ngepel pas closingan. Gila enggak tuh?,” kisahnya.
Di hari ke sepuluh, Thoriq izin pulang lebih awal, sekitar waktu Maghrib. Awalnya, manajer tak mengiyakan. Tapi setelah melihat muka Thoriq yang sudah pucat dan tak lama kemudian muntah-muntah, ia akhirnya memberi izin.
Tiga hari lamanya Thoriq hanya bisa berbaring di kasur karena muntaber. Lebaran tahun lalu pun sama sekali tak ada yang berkesan baginya karena harus jadi sapi perah bosnya. Setelah pulih dari sakitnya, rutinitas itu kembali ia jalani.
“Aku yang kerja sampe mau mati, tetep aja si manajer yang dapat bonus sales.”
Baca halaman selanjutnya…
Pembeli yang rewel masih lebih baik ketimbang rekan kerja yang jorok