Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Kepahitan Kerja di Jepang yang Nggak Pernah Diceritakan Influencer, tapi Masih Lebih Menjanjikan Ketimbang di Indonesia

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
18 Februari 2025
A A
Gaji Caregiver di Jepang Besar, tapi Melelahkan dan Penuh Fitnah.MOJOK.CO

Ilustrasi - Melepas Kuliah demi Menjadi Caregiver di Jepang, Gaji Dua Digit tapi Dicap “Makan Duit Haram” Oleh Tetangga di Rumah (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Banyak influencer diaspora membagikan pengalaman mereka kerja di Jepang. Baik itu melalui vlog di Youtube, ataupun video-video pendek TikTok.

Kebanyakan dari mereka cuma menunjukkan sisi enaknya saja. Seperti pola kerja yang teratur, rutinitas menyenangkan, lingkungan bersih, dan tentunya gaji yang besar.

Pekerja Indonesia di Jepang rata-rata memperoleh gaji 120.000 yen (Rp12 juta) per bulan. Angka ini setara dua kali lipat UMR Jakarta. Ia belum termasuk tunjangan, asuransi, dan bonus akhir tahun yang nominalnya besar.

Memang, kalau ngomongin gaji, kerja di Jepang bisa bikin cepat kaya. Namun, ada hal-hal “gelap” lain yang tidak diceritakan para influencer tadi.

Aturan tak tertulis yang bikin pekerja kena mental

“Bos-bos di sana itu perfeksionis. Itu kadang yang bikin para pekerja menghadapi tuntutan yang tinggi dan jam kerja yang amat panjang,” kata Edo, eks buruh migran Indonesia (BMI) yang pernah dua tahun mencari nafkah di negeri matahari terbit.

Saat ditemui Mojok, Sabtu (15/2/2025), lelaki asal Sleman ini bercerita mulai kerja di Jepang pada 2017 lalu. Kala itu, Edo menjadi BMI via jalur swasta yang difasilitasi lembaga pelatihan kerja (LPK) di DIY.

“Ada yang jalur negeri, gratis. Tapi seleksinya ketat. Makanya aku pilih swasta, yang meskipun bayar mahal tapi ada jaminan dapat kerja di Jepang,” imbuhnya.

Pendek cerita, setelah melakukan berbagai pelatihan dan seleksi yang melelahkan, Edo pun diterima kerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman barang di Prefektur Kanagawa.

Ia dikontrak selama dua tahun dengan upah Rp12,5 juta per bulan. Ini belum termasuk berbagai tunjangan dan bonus.

“Kalau dihitung sama tunjangan dan bonus, bisa sampai 15-20 juta,” jelasnya.

Di perusahaan tersebut, ada banyak buruh migran Indonesia yang sudah terlebih dulu kerja di sana. Dan, satu hal yang diwanti-wanti BMI lain adalah aturan tak tertulis bernama “karoshi”.

“Aku gambarinnya, karoshi tuh begini: kamu dituntut kerja melebihi kapasitas tenaga buat mengejar produktivitas,” kata Edo.

“Kami ‘kan di jasa pengiriman, dituntut cepat dan presisi untuk waktu kerja 8 jam. Nah, selama 8 jam itu, kalau idealnya tenaga kami cuma bisa ngirim katakanlah 30 barang, maka kami dituntut harus ngirim 60 barang, atau malah 100 barang.”

Meninggal karena overload pekerjaan

Ketika saya mengecek ke laman Wikipedia, karoshi memiliki arti “kematian karena terlalu banyak bekerja”. 

Iklan

Edo pun mengamini penerjemahan bebas itu. Setidaknya di tempat kerjanya, ada beberapa kasus pekerja meninggal karena overload pekerjaan.

“Saat ada pekerja meninggal, terutama di mes, perusahaan selalu mengklaim itu karena penyakit bawaannya. Misalnya karena jantung. Tapi nggak dimungkiri juga kan penyakit jantung itu terpicu karena beban kerja yang amat besar,” kata dia.

Dua tahun kerja di Jepang dari 2017-2019, Edo setidaknya menjumpai tiga kali kasus kematian di mesnya. Dua di antaranya adalah orang asli Jepang, sementara yang lain adalah pekerja dari negara asing.

“Alhamdulillah kalau buruh migran Indonesia seperti kami masih bertahan. Stres sih iya, banget malah. Ya itu mengapa aku milih pulang setelah kontrak habis,” ucapnya sambil tertawa.

Budaya kerja di Jepang amat hierarkis

Selain karoshi, ada aturan tak tertulis lain di budaya kerja Jepang yang cukup mengganggu Edo. Salah satunya adalah senioritas yang amat kuat. Dua tahun kerja di Jepang, Edo memahami satu hal: “merit nggak ada di budaya kerjanya, yang ada itu hierarkis, senpai-kohai (senior-junior).”

Bahkan untuk urusan administratif-manajerial, asas “siapa yang lebih tua mendapat privilese” terlihat di tempat kerjanya. Misalnya, dalam hal pemberian bonus bulanan atau tahunan. Pekerja senior bisanya mendapatkan bonus lebih besar ketimbang junior.

“Kami sama-sama kerja dengan jam kerja yang sama. Mereka nggak peduli siapa lebih besar atau kecil beban kerjanya. Ketika ada bonus, pekerja senior bisa mendapatkan sampai 10 ribu yen. Kami yang muda-muda seperempatnya saja nggak.”

Awalnya, Edo berpikir, mungkin saja bonusnya lebih kecil karena latar belakang pendidikannya yang “cuma” sampai SMK. Tapi lama-lama setelah ia cari tahu, ternyata itu persoalan siapa yang lebih tua saja. Dan itu sudah jadi rahasia umum.

Banyak penelitian juga menyebutkan, di Jepang asas senioritas dan budaya feodalisme masih amat kuat. Tak jarang nominal upah seorang pegawai ditentukan lewat usianya, bukan jenjang pendidikan atau hasil kerja.

Kerja di Jepang banyak pahitnya, tapi masih jauh lebih menjanjikan ketimbang di Indonesia

Kendati demikian, Edo mengakui, dalam banyak aspek iklim ketenagakerjaan di Jepang masih “terlalu maju” jika dibanding Indonesia. Di tengah besarnya gelombang #KaburAjaDulu, ia masih merekomendasikan Jepang sebagai negara pelarian–jika orientasinya adalah uang.

“Ngomongin gaji, kerja di Jepang itu amat menjanjikan. Enam bulan pertama, udah bisa nutup utang pinjaman di LPK. Seterusnya bisa nabung buat nikah, beli mobil, atau buka usaha,” jelasnya.

Meski ada borok bernama karoshi, perusahaan di Jepang juga jauh lebih manusiawi ketimbang di Indonesia. Perusahaan cukup aware dalam hal kesejahteraan pekerja–dalam hal ini soal tunjangan dan bonus.

“Artinya kerja di Jepang itu kayak bertaruh aja sih. Tinggal kuat-kuatan, bisa adaptasi sama budayanya apa enggak. Tapi kan di Indonesia juga begitu, cuma upahnya aja yang nggak ngotak kecilnya,” pungkas lelaki yang kini menyibukkan diri dengan bisnis toko sembako sembari trading.

Kalau kamu tertarik kerja di Jepang, ada banyak penyedia pelatihan dan penyaluran BMI di masing-masing daerah. Bidang pekerjaan yang paling banyak diminati antara lain manufakur, caregiver atau perawatan lansia, pertanian, dan pariwisata.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Rp40 Juta Ludes demi Bisa Kerja di Jepang, Sekadar Jadi Tukang Ngecat dan Pasang Genteng atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Terakhir diperbarui pada 18 Februari 2025 oleh

Tags: gaji di jepangJepangkerja di jepangpekerja migranTKI
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

kerja di Surabaya dengan gaji Jepang. MOJOK.CO
Sosok

Pertama Kali Lamar Kerjaan dari Job Fair di Surabaya, Nggak Nyangka Bisa Dapat Cuan Senilai Perusahaan di Jepang

26 Juni 2025
Orang Kebumen pertama kali ke Jepang, bingung perkara toilet MOJOK.CO
Catatan

Orang Kebumen Pertama Kali Nginep di Jepang: Bingung Cara Pakai Toilet sampai Cebok Pakai Botol Air

14 Juni 2025
Gaji Caregiver di Jepang Besar, tapi Melelahkan dan Penuh Fitnah.MOJOK.CO
Ragam

Melepas Kuliah demi Menjadi Caregiver di Jepang, Gaji Dua Digit tapi Dicap “Makan Duit Haram” Oleh Tetangga di Rumah

17 April 2025
Kabur Aja Dulu Yang Tidak Dikatakan Influencer Itu Kepadamu MOJOK.CO
Esai

Kabur Aja Dulu: Yang Tidak Dikatakan Influencer Itu Kepadamu

17 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.