Kesuksesan usai jadi sarjana yang dinikmati sendiri
Setelah lulus kuliah, menjadi sarjana, kakak Septian menjadi pekerja swasta di Jogja. Dengar-dengar gajinya lumayan besar untuk ukuran Jogja. Itu sudah masuk kategori sukses kalau bagi orangtua Septian.
Sebab, ijazah S1 kakak Septian bisa membuatnya langsung dapat kerja layak. Dengan gaji di atas UMR Jogja pada umumnya.
Hanya saja, yang agak mengganggu Septian, ternyata kesuksesan itu dinikmati sang kakak sendiri. Tiap kali sang kakak pulang ke Kulon Progo, Septian kerap iseng bertanya kepada orangtuanya: Apakah dapat pegangan uang dari sang kakak? Ternyata tidak pernah.
“Bapak ibu nggak pernah berharap yang begitu-begitu. Uang kakakmu ya uang kakakmu sendiri. Dia bisa memenuhi hidupnya sendiri sudah syukur,” selalu begitu jawaban sang ibu tiap kali Septian tanya.
Awalnya Septian menyimpan sendiri perasaan ganjil itu. Lalu dia mendengar cerita serupa dari teman-teman kerjanya: Ada tipikal anak yang usai menjadi sarjana dan kerja layak, justru hasilnya dinikmati sendiri.
“Setahun kerja, terus kakak minta nikah. Ya dinikahkan. Akhirnya sibuk dengan rumah tangganya. Padahal belum sempat sedikit membantu hidup orangtua yang makin tua di rumah,” keluh Septian.
Orangtua tak minta timbal balik, tapi anak seharusnya…
Giri (25), sarjana asal Pekalongan, Jawa Tengah, juga punya cerita serupa. Ada teman Giri yang setelah bisa kerja enak di Semarang dengan modal ijazah S1-nya, mengubah gaya hidup menjadi agak hedon. Membeli barang yang sebelumnya tak terbeli. Memuaskan hasrat diri sendiri.
Sementara saat Giri bertanya: Apakah temannya itu juga menyisihkan uang untuk dikirim ke rumah? Jawabannya ternyata tidak. Orangtua teman Giri pun katanya tidak pernah berharap diberi uang oleh sang anak.
Mereka justru mengatakan kalau uang si anak adalah hak anak sendiri. Karena didapat dari hasil jerih payah sendiri.
“Tapi orangtua selalu begitu. Selalu hidup dalam pura-pura. Pura-pura tak mau merepotkan anak, padahal hidupnya sedang repot,” tutur sarjana dari kampus Semarang itu.
Dulu Giri pun begitu. Semasa mengejar ijazah S1 di Semarang, Giri mengaku hanya memikirkan diri sendiri. Tidak terlalu kepikiran dengan seberapa mati-matiannya orangtua kuliahkan anak.
Setelah lulus dan kerja layak, barulah Giri sadar, bahwa saat ini gilirannya mati-matian untuk memprjuangkan orangtuanya.
“Orangtua memang nggak nuntut. Tapi sebagai anak, aku sadar diri aja, seharusnya aku meringankan beban mereka di masa tua mereka, walaupun cuma sedikit. Nggak menikmati jerih payahku untuk diri sendiri,” beber Giri.
“Karena ketika memperjuangkanku, orangtua juga begitu, tidak pernah menikmati apapun untuk diri sendiri, tapi selalu dibagi ke anak, dan bagian anak selalu lebih besar,” sambungnya.
Bukannya lupa orangtua, tapi ngurus diri sendiri saja kewalahan
Sedangkan Hayat (24) punya pandangan yang berbeda, sarjana dari sebuah kampus di Jakarta.
Dengan modal ijazah S1, Hayat keterima kerja di Depok, Jawa Barat, pada 2024 silam. Gajinya sebenarnya tidak sampai UMK setempat. Tapi dia mengaku ke ibunya di rumah kalau gajinya bisa hingga Rp10 juta perbulan.
Itu terpaksa dilakukan Hayat karena dua alasan. Pertama, agar orangtuanya tidak malu ke tetangga kalau tahu anaknya adalah sarjana bergaji kecil. Kedua, Hayat mengaku punya gaji besar agar orangtuanya lega karena menganggap anaknya tidak dalam kesusahan.
“Aku juga mikir keras, gimana caranya membantu orangtua di rumah setelah perjuangan mereka mati-matian kuliahkan anak. Tapi aku sendiri saja hidupnya masih kewalahan,” kata Hayat.
Hayat pun mengaku menemui banyak kasus yang mirip dengannya: Seorang anak akan pura-pura sukses dan kerja enak kepada orangtuanya. Sebagai kamuflase untuk menyembunyikan yang mereka alami di perantauan.
“Mau minta tolong orangtua lagi malu. Karena sudah banyak membuat mereka repot. Jadi kalau udah umur-umur 25-an, mikirnya pengin nggak membebani mereka, pura-pura baik-baik saja,” kata Hayat.
Tak hanya Hayat, Mojok menulis banyak cerita dari para anak yang terpaksa mengaku sukses kepada orangtua masing-masing. Alasannya beragam. Tapi secara umum, mereka tidak ingin orangtua tahu kalau mereka masih bergelut dengan kata “gagal”. Cerita-cerita selengkapnya bisa dibaca di rubrik Liputan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tinggalkan Skripsi Gara-gara Urusan Asmara, Berujung DO dan Sakiti Ibu hingga Susah Cari Kerja












