Negkos dengan anak orang kaya itu ribet dan menyebalkan. Kira-kira begitulah yang beberapa orang ceritakan pada Mojok. Sebab, orang kaya biasanya memiliki standar-standar tertentu yang tidak bisa diikuti oleh kalangan mendang-mending.
***
Kapan lalu saya menemukan sebuah utas di media sosial X perihal kekesalan seorang perempuan karena memiliki teman kos menyebalkan.
Si perempuan sampai membuat list daftar kelakuan si teman kosnya itu yang menurutnya “nggak banget!”.
Di antara kelakuan menyebalkan dari teman kosnya itu pada intinya adalah malas dan tak tahu diri. Dua poin yang membuat suasana kos jadi tak nyaman hingga membuat si perempuan muntab di media sosial.
— Produk_Impian (@Artic_monkey12) February 4, 2024
Dari kolom komentar, saya menemukan ada warganet yang berasumsi bahwa teman kos dari si perempuan tersebut adalah anak orang kaya.
Karena menurut waganet itu, sepengalamannya ngekos dengan anak orang kaya, memang berakhir pada rusaknya hubungan pertemanan, oleh sebab kemalasan yang menyebalkan.
Membaca komentar tersebut, saya malah ikut memiliki asumsi yang sama. Pasalnya, saya pernah sebentar mengalaminya sendiri, betapa ribetnya ngekos dengan orang kaya Surabaya.
Negkos dengan anak dokter, semua harus pakai sudut pandang medis
Pengalaman ini saya alami pada satu bulan pertama di Surabaya pada 2017 silam, masa awal kuliah.
Awalnya, saya menemukan kos di Gang 1 Wonocolo (belakang UINSA) dengan harga Rp350 per bulan untuk satu orang. Saya ambil dengan rencana, nanti setelah akrab dengan teman kelas—yang sama-sama dengan keuangan pas-pasan—mau menawarinya untuk ngekos bareng.
Namun, baru seminggu saya menempati kos tersebut, ada anak baru yang ikut menempati. Anak seorang dokter di RSAL dr. Ramelan, Surabaya.
Saya sudah mencoba bilang ke bapak kos bahwa ada teman saya yang mau gabung saya akhir bulan nanti.
Namun, si bapak kos bisik-bisik kalau ia dikasih uang lebih agar si anak dokter itu boleh menempati satu slot kosong di kamar saya. Walaupun tanpa seizin saya sebelumnya.
“Soalnya nyari kos lain sudah penuh semua katanya,” ujar si bapak kos waktu itu.
Si anak orang kaya Surabaya berinisial F itu merupakan mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEBI).
Rumah aslinya sebenarnya di Mojokerto, Jawa Timur. Hanya saja karena ayahnya dokter di Surabaya, ya anggap saja F adalah anak orang kaya Surabaya.
Hanya saja, saya tak kuat berlama-lama ngekos dengan F. Sebab, hampir setiap gerak-gerik saya ia komentari pakai sudut pandang medis.
Misalnya, makan pakai tangan, ia pertanyakan cara cuci tangan saya. Misalnya saya makan apa, ia komentari nilai gizi dari makanan yang saya beli. Sampai urusan nyuci pakaian pun cara saya ia nilai tak bersih dari kuman. Cara tidur juga tak luput jadi sorotannya.
Kalau pagi, ia sering menyarankan saya agar beli roti dan susu di minimarket untuk sarapan. Bangsat! Saya aja bisa beli makan dua kali sehari sudah syukur kok.
Alhasil, saya memutuskan pindah. Kepadanya saya bilang karena saya mau cari kos yang lebih murah (dan pada akhirnya dapat yang lebih murah, Rp200 ribu).
“Aku sebenarnya butuh temen kos. Gini aja, kamu bayar Rp200 aja di kos ini, sisanya aku yang bayar.” Sempat si anak orang kaya Surabaya itu bilang demikian.
Tapi, maaf, saya sudah tidak tahan. Saya orang biasa dengan standar hidup biasa-biasa saja. Gedandapan kalau harus pakai standar hidup anak dokter.
Baca halaman selanjutnya…