Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menegaskan pentingnya cadangan pangan beras di daerah saat bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di Sumatra, alih-alih menunggu bantuan dari pusat.
***
Sejumlah masyarakat Sumatra melaporkan, persediaan logistik pangan mereka di pengungsian mulai menepis usai bencana banjir bandang dan longsor. Bahkan beberapa bupati menyatakan tidak sanggup dalam menangani bencana yang melanda wilayah mereka sejak akhir November 2025.
Akibat bencana tersebut, ratusan orang meninggal, ada yang masih dinyatakan hilang, ada yang masih mengungsi. Kendala lain seperti rusaknya akses jalan, mati listrik, dan putusnya sinyal membuat bantuan logistik terhambat ke wilayah terisolir.
Menanggapi pernyataan dari banyak bupati yang mundur, Gubernur Aceh Muzakir Manaf menegaskan mereka seharusnya tidak menyerah. Jika tidak mampu menangani bencana, sebaiknya mereka mengundurkan diri.
“Kalau ada bupati yang cengeng dan menyerah menghadapi musibah ini, silakan mengundurkan diri atau turun dari jabatan. Kita ganti dengan yang lain, yang siap bekerja untuk rakyat,” kata Muzakir Manaf di kutip dari CNN Indonesia, Sabtu (6/12/2025).
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk bertahan dalam situasi tersebut? Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, mengingatkan pemerintah daerah seharusnya bisa menyalurkan cadangan pangan alih-alih menunggu bantuan dari pusat.
Penyaluran cadangan pangan saat bencana sudah diatur dalam UU
Khudori menjelaskan bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berpotensi besar mengganggu ketahanan pangan daerah. Distribusi pangan yang terlambat karena medan sulit dapat memicu kerawanan pangan, lonjakan harga pangan pokok, dan gejolak sosial. Seperti penjarahan minimarket dan gudang Bulog yang terjadi di Sumatera Utara.
“Dalam konteks bencana di Sumatera kali ini amat relevan untuk kembali membicarakan ihwal pentingnya keberadaan cadangan pangan pemerintah daerah dan cadangan pangan pemerintah desa,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi, Jumat (5/12/2025).
Dalam Undang-undang Pangan Nomor 18/2012 diatur jelas bahwa cadangan pangan ada tiga macam yakni cadangan pangan pemerintah (pusat), cadangan pangan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa), dan cadangan pangan masyarakat.
Cadangan itu, kata Khudori digunakan untuk mengantisipasi kekurangan ketersediaan pangan, kelebihan ketersediaan, gejolak harga pangan, dan keadaan darurat. Selaras dengan hal itu, cadangan pangan juga digunakan untuk menanggulangi kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam, bencana sosial, dan menghadapi keadaan darurat.
Secara rinci, turunan aturannya dapat dilihat di Peraturan Pemerintah No. 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Lalu, Peraturan Presiden (Perpres) 125/2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah.
Serta Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 15/2023 tentang Tata Cara Penghitungan Jumlah Cadangan Beras Pemerintah Daerah yang kemudian diubah jadi Peraturan Bapanas No. 3/2025.
Cadangan pangan berupa beras, bukan berbasis lokal
Lewat aturan tersebut dijelaskan, jumlah cadangan beras pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa) ditetapkan oleh kepala daerah sesuai kewenangan. Bisa dipertimbangkan lewat produksi beras di daerah, kebutuhan untuk penanggulangan keadaan darurat di daerah, dan kerawanan pangan di daerah.
Kepala daerah juga mesti menyesuaikan kebutuhan konsumsi masyarakat dan potensi sumber daya mereka.
“Pengadaan cadangan dilakukan bertahap sesuai kemampuan anggaran masing-masing daerah,” jelas Khudori.
Masalahnya, kata Khudori, regulasi saat ini mengatur cadangan pangan pemerintah daerah berbasiskan beras, padahal tidak semua daerah menghasilkan beras. Idealnya, cadangan pangan daerah berbasiskan pangan lokal.
Meski begitu, Khudori memahami bahwa tidak mudah juga menyediakan cadangan pangan pemerintah daerah berbasiskan pangan lokal.
“Sebaliknya, kerumitan teratasi apabila cadangan pangan berbentuk beras. Salah satunya karena produksi beras secara nasional cukup, tersedia di pasar sepanjang waktu, dan harganya relatif terjangkau kantong,” ujarnya.
Tak ada kasus kelaparan di daerah jika cadangan pangan aman
Khudori berujar karakteristik beras membuat tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap beras dari Sabang sampai Serui, nyaris sempurna yakni 99,33 persen pada 2023. Dari sisi gizi, beras juga menjadi sumber utama energi (44,4%) dan protein (34,1%) warga.
“Kalau pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa) memiliki cadangan beras, ancaman kelaparan karena hambatan distribusi saat bencana bisa dihindari. Di sinilah pentingya keberadaan cadangan beras pemerintah daerah itu. Baik yang dikelola sendiri oleh BUMD setempat, misalnya, atau dikerjasamakan dengan Bulog,” ujar Khudori.
Sayangnya, lanjut Khudori, belum semua pemerintah daerah memiliki cadangan pangan beras. Merujuk data Bapanas tahun 2025, 33 dari 38 provinsi telah menyediakan cadangan beras beserta regulasinya. Sisanya, 5 provinsi, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, dan Jakarta, belum menyediakan cadangan beras dan regulasi.
Khusus Jakarta, meski tak memiliki cadangan pangan, provinsi ini memiliki BUMD Food Station dan Pasar Jaya yang powerfull menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan. Untuk beras misalnya, food Station menguasai sekitar 50 persen dari kebutuhan konsumsi warga Jakarta. Jakarta juga memiliki program pangan bersubsidi yang menjamin warga miskin/rentan mendapatkan paket pangan pokok dengan harga murah.
“Itu sebabnya, meski 98 persen kebutuhan pangan Jakarta dipasok dari luar daerah, harga pangan relatif stabil,” tegas Khudori.
Beberapa daerah di Sumatra tak punya stok cadangan beras
Masih merujuk data Bapanas, sebanyak 331 kabupaten/kota memiliki regulasi cadangan beras pemerintah daerah. Dari jumlah itu 46 di antaranya tidak memilik stok cadangan beras pemerintah daerah. Per November 2025, Bapanas mencatat, hanya 8 dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh dan 13 dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara yang memiliki cadangan beras.
Sebaliknya, semua kabupaten/kota di Sumatera Barat punya cadangan beras. Namun, jumlah desa/kelurahan yang memiliki cadangan beras belum pasti. Meski begitu, Khudori mengklaim bahwa stok cadangan beras pemerintah daerah secara keseluruhan jumlahnya masih kecil.
Padahal, cadangan beras daerah menjadi indikator kinerja, seperti tertuang di Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18/2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 13/2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Tahun ini cadangan beras daerah juga menjadi indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan serta Indeks Ketahanan Pangan.
Khudori menegaskan cadangan di daerah mestinya bisa segera digerakkan meskipun dalam situasi darurat bencana. Bahkan, saat akses jalan terhambat, cadangan beras dapat mencegah ancaman kelaparan dalam jangka pendek, alih-alih menunggu bantuan dari jalur udara.
Jika situasi membaik, cadangan beras daerah dan bantuan pusat akan memperkuat korban untuk bertahan.
“Sekali lagi, bencana di tiga provinsi di Sumatera kali ini memberi pelajaran penting, betapa urgen keberadaan cadangan pangan pemerintah daerah. Berapa pun jumlahnya, seminggu, 10 hari atau sebulan kebutuhan konsumsi.”
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchammad Aly Reza
BACA JUGA: 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












