Jogja itu murah. Orang-orangnya ramah. Pokoknya istimewa. Begitulah kira-kira gambaran Jogja di mata Rendi (22), pekerja asal Surabaya saat awal datang ke Kota Gudeg pada akhir 2023 lalu.
Rendi paham UMR Jogja jauh lebih kecil kalau dibanding upah minimum kota kelahirannya itu. Namun, label sebagai “kota istimewa”, “kota budaya”, bikin dia kepincut buat tinggal di sini.
Apalagi, ia diterima kerja di sebuah hotel elite kawasan Sleman. Kalau dari poster lamaran yang beredar sih, kata Rendi, cukup menjanjikan. “Gajinya di atas UMR,” ujarnya.
Sialnya, setelah setahun menjalani kesibukan kerja sebagai buruh di Jogja, ia memahami betul kalau ekspektasinya jauh dari realitas.
“Aku ini ketipu brosur,” jelasnya, Jumat (28/3/2025), dengan nada bercanda meski tak mampu menyembunyikan wajah kecewanya karena tak bisa mudik lebaran. Ini adalah tahun kedua di mana lelaki asal Surabaya ini merayakan Hari Raya Idulfitri jauh dari rumah.
“Generasi Covid” yang sempat merasakan nikmatnya berwirausaha di Surabaya
Rendi lulus SMK pada 2022 lalu. Ia mengaku sebagai “generasi Covid” lantaran dua tahun terakhirnya di sekolah dihabiskan di rumah saja.
“Nggak kemana-mana tahu-tahu lulus sekolah aja,” kelakarnya.
Selepas lulus sekolah vokasional jurusan perhotelan, ia memutuskan di rumah dulu. Ingin kerja, situasi sedang tak memungkinkan. Sementara opsi lanjut kuliah sama sekali tak dia lirik.
Untungnya, selama di rumah, ia melihat peluang. Di tengah situasi badai Covid-19, Rendi nekad membuka usaha kopi keliling di sebuah taman di Surabaya.
“Meskipun lagi Covid, itu taman jarang sepi, selalu ramai orang nongkrong,” jelasnya.
Tak disangka, usaha yang dibangun berbekal rasa iseng itu malah membuahkan hasil. Omzet hariannya besar. Ia tak ingat tepatnya berapa. Yang jelas hanya dalam waktu dua bulan, Rendi bisa menabung buat membeli iPhone keluaran terbaru.
“Sehari bersih itu bisa 200 sampai 300 ribuan segitu.”
Usaha di Surabaya seret, melihat peluang merantau ke Jogja
Sayangnya, pada pertengahan 2023, Rendi dipaksa menutup usahanya. Baik itu oleh aparat, maupun oleh warga sekitar. Sampai sekarang ia sendiri tak paham apa alasan penutupan itu.
Alhasil, ia pun terpaksa memindahkan gerobak usahanya di dekat rumah; ada di tengah-tengah pemukiman. Sayangnya, lokasi baru itu tak se-strategis taman kota Surabaya. Omzetnya pun turun drastis.
“Kadang benar-benar nombok. Modal sama omzet gedean modal,” keluhnya.
Merasa sudah tak memiliki prospek, Rendi pun memutuskan buat merantau saja. Saat itu, Jogja berada di top of mind-nya. Baginya kala itu, Jogja merupakan kota yang ideal buat ditinggali.
Gayung pun bersambut. Setelah mencari info-info lowongan kerja di Instagram, ia menemukan satu yang pas. Sebuah hotel elite di kawasan Sleman. Setelah mencari tahu, ternyata banyak alumni sekolahnya yang kerja di sana.
“Akhirnya mantep kerja di situ. Akhir 2023 mulai berangkat, bareng beberapa teman dari Surabaya,” katanya.
Bertahan hidup di kerasnya Jogja
Boleh dibilang, kenalan Rendi di Jogja ada banyak. Alumni sekolahnya di Surabaya, banyak yang kerja di sini. Namun, kata dia, ini tak menjadi jaminan hidup nyaman di Jogja.
“Ternyata perantau itu sifatnya gitu. Memang kami asalnya dari kota yang sama, tapi di perantauan kayak orang asing. Mikirin kehidupan masing-masing,” jelasnya.
Baca halaman selanjutnya…












