Wacana reaktivasi stasiun kereta api di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, selalu mencuat dari tahun ke tahun. Sialnya, wacana tersebut selalu menguap begitu saja.
Paling baru, Oktober 2025 lalu Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana melakukan reaktivasi 13 jalur kereta api (KA) di Jawa. Rencana ini sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNas) yang menjadi acuan pembangunan KA hingga 2030.
Reaktivasi tersebut rencananya akan menyasar 13 jalur. Di antaranya adalah jalur lintas Semarang-Demak-Juana-Rembang.
Setiap wacana semacam itu muncul, entah kenapa sejumlah orang Rembang masih sangat menaruh harap. Termasuk saya sendiri. Sebab, keberadaan jalur kereta api ke Rembang—dengan rute Semarang—diharapkan bisa membuat perjalanan menuju Semarang (misalnya) terasa lebih efisien dan nyaman.
Sebenarnya, akses transportasi umum Rembang-Semarang sangat melimpah. Bus-bus AKAP beroperasi 24 jam. Namun, ada faktor-faktor lain yang membuat sebagian kecil masyarakat di Rembang—termasuk saya—berharap betul bisa menempuh rute Rembang-Semarang dengan kereta api.
Perjalanan panjang menyiksa
Satu tahun belakangan, saya merasa amat tersiksa setiap menempuh perjalanan pulang ke Rembang.
Perjalanan saya memang terasa panjang karena berangkat dari Jogja. Saya harus naik bus Jogja-Semarang dulu, lalu nyambung bus lain jurusan Semarang-Surabaya.
Saya nyaris tak menemukan masalah dalam perjalanan Jogja-Semarang. Bus yang beroperasi relatif nyaman. Biasanya, setelah naik, saya akan tertidur pulas. Medan jalannya pun cenderung halus meski harus naik-turun dan berkelok-kelok.
Namun, situasi itu berubah ketika naik bus Semarang-Surabaya. Di jam-jam tertentu, saya mau tidak mau harus naik bus yang sebenarnya sudah ringsek tapi dipaksakan beroperasi.
Tidak ada kursi nyaman. Jalanan sepanjang pantura Semarang-Rembang pun banyak yang rata. Beberapa bahkan berlubang besar.
Ditambah cuaca pantura yang gerah menyengat dan sopir yang mengemudi ugal-ugalan, membuat perjalanan terasa lebih panjang dan menyiksa. Tidak hanya menyiksa fisik, tapi juga batin.
Itu lah kenapa saya sangat berharap ada kereta api untuk tujuan Semarang-Rembang. Sehingga setelah turun dari bus Jogja-Semarang, saya bisa berpindah ke transportasi lain yang sama nyamannya untuk menempuh perjalanan berikutnya.
Saya mencoba melempar kuisioner ke 10 orang Rembang di rentang usia 20-26 tahun. Anak-anak muda yang masih punya mobilitas tinggi dalam perjalanan Rembang-Semarang (entah untuk kuliah atau bekerja). Ini lah rangkuman alasan mereka kenapa sangat berharap adanya kereta api yang kembali beroperasi:
Naik kereta api Rembang-Semarang meminimalisir kecelakaan
Saya mengamini, memang ngeri-ngeri sedap kalau naik bus AKAP Surabaya-Semarang. Pertama, ada tipikal bus yang ugal-ugalan. Apalagi jika PO bus yang dikenal punya rivalitas—misalnya Jaya Utama vs Sinar Mandiri—bertemu di jam yang sama, maka yang terjadi adalah balapan di jalanan pantura yang tak rata itu.
Itu lah kenapa 10 responden saya merasa, naik kereta api rasa-rasanya bisa meminimalisir potensi nyawa melayang karena kecelakaan lalu lintas.
Risiko tidak hanya mengancam penumpang bus. Mereka yang melakukan perjalanan dengan naik motor pun punya tingkat risiko yang lebih tinggi.
Di jalan pantura, nyawa pengendara motor kerap kali dianggap “barang sepele”. Pengendara motor sebenarnya punya jalur sendiri. Kecil. Itu saja sering kali harus mengalah—nyasak-nyasak keluar jalur—karena ada truk atau bus menyalip atau lawan arah secara ugal-ugalan.
Merangkum laporan sejumlah media lokal dan Satlantas Polres (Rembang, Pati, Kudus, dan Demak), berikut adalah data-data kecelakaan terparah dalam rentang akhir 2024-2025:
| Lokasi Kecelakaan | Waktu Kejadian (2025) | Jenis Kendaraan Terlibat | Dampak Korban | Catatan |
| Demak (Pantura) | April 2025 (Dini hari) | Bus PO Jaya Utama vs Truk Tronton | 1 orang tewas (sopir truk) | Kecelakaan antara bus dan truk di Jalan Pantura Demak. |
| Demak (Pantura) | September 2025 | Kecelakaan Karambol (termasuk bus) | 1 orang terluka | Lima kendaraan terlibat dalam kecelakaan beruntun di Jalan Pantura Demak. |
| Rembang/Pati (Pantura Batangan) | September 2024 (Data pembanding) | Bus Surya Bali vs 2 Truk Tronton | 6 orang tewas | Kasus maut besar yang sering dijadikan referensi (meskipun terjadi pada 2024). |
Naik kereta api nggak ada drama “dioper-oper”
Salah satu yang jamak terjadi setiap naik bus di pantura adalah “dioper-oper”. Misalnya, penumpang sebenarnya menghendaki turun di Semarang. Namun, karena satu dan lain hal, acap kali bus hanya berhenti di Kudus. Lalu mengoper penumpang ke bus lain.
Masih untung jika dioper ke bus lain yang sama bagusnya atau sama longgarnya. Masalahnya adalah ketika dioper ke bus yang lebih jelek atau sudah penuh sesak oleh penumpang. Alhasil, penumpang operan tadi harus berdiri sepanjang Kudus-Semarang. Kaki linu, makin gerah pula karena berdesak-desakan dengan penumpang lain.
Belum lagi drama ngetem. Kadang, untuk penyesuaian jam operasi, bus akan melakukan satu dari dua pilihan: Kalau tidak berjalan amat pelan ya ngetem lama. Itu memangkas waktu bagi penumpang yang terburu-buru. Sementara dengan kereta api, dirasa tipis kemungkinannya untuk mengalami situasi tersebut.
Malas dengan kru bus yang galak
Sebenarnya tidak semua. Hanya saja, kebanyakan kru bus di jalur pantura punya perangai galak dan menyebalkan.
Misalnya, ada penumpang baru naik, sementara kursi sudah penuh, maka biasanya penumpang baru tadi akan memilih berdiri di bagian depan atau tengah. Bagi kondektur, itu sangat mengganggu ruang.
Alih-alih memberi tahu baik-baik, si kondektur akan membentak-bentak agar si penumpang mau berjejal ke belakang. Agar nanti si bus masih bisa memuat penumpang lagi—meski berdiri.
Masalahnya, posisi penumpang yang berdiri di belakang sudah berjejal. Tak jarang pula ada penumpang yang ngedumel, “Wong wis kebak ngene iseh dijejel-jejel maneh (Orang udah penuh gini kok dijejal-jejalkan lagi).”
Bahkan, misalnya ada penumpang yang melempar pertanyaan sederhana, “Tujuan A masih jauh nggak, Pak?” Jawaban si kondektur pun akan sengak, “Iseh adoh! Iki lagi tekan ngendi kok wis ngadek-ngadek (Masih jauh! Ini masih nyampe mana kok sudah berdiri-berdiri).”
Bayangan masyarakat Rembang kalau naik kereta, petugas kereta api punya protokol khusus untuk melayani penumpang dengan sebaik mungkin. Petugas hanya akan garang ketika ada pelanggaran-pelanggaran serius dari penumpang.
Stasiun dari zaman Belanda
Stasiun kereta api Rembang merupakan bagian dari perusahaan kereta api swasta Belanda, Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS).
Dalam “Dinamika Perusahaan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS): Jejak Kereta Api di Pulau Jawa Tahun 1881-1900,” Cahya Adhitya Pratama dan Gary Erlangga menyebut, SJS didirikan oleh van der Goes dan C.L.J Martens pada September 1881, mengelola jalur mengelola jalur trem kota Semarang dan antarkota ke arah timur Semarang.
Jalur SJS ini mayoritas digunakan untuk moda pengangkut hasil bumi yang bertujuan untuk memperlancar arus distribusi dari kota sekitar Semarang ke Pelabuhan Semarang.
Stasiun Rembang terbilang baru muncul belakangan. Awalnya SJS mengoperasikan stasiun-stasiun di Demak, Kudus, dan Pati untuk distribusi dari pabrik-pabrik gula di kawasan tersebut.
Lalu jalurnya diperlebar ke Rembang sejak 1900, seperti laporan resmi dalam arsip SJS. Mengingat, Rembang punya potensi kayu jati dan batuan kapur.
Jalur-jalur untuk kereta api Rembang kemudian ditutup secara berkala sejak 1980-an. Dalam buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian (2004) dijelaskan, jalur Rembang-Blora ditutup sekitar tahun 1984. Dua tahun kemudian (1986), jalur Juwana-Rembang menyusul ditutup. Pada 1989 jalur Rembang-Jatirogo pun menyusul ditutup. Stasiun kereta api Rembang pun “mati” hingga saat ini.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Orang Desa Pertama Kali Naik Kereta Api Ekonomi: Banyak Gaya karena Bosan Naik Bus Ekonomi, Berujung Nelangsa Beli Nasgor di KAI atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












