Kesedihan akan menyerang Hanifa (25) tiap memasuki hari raya Idul Fitri. Dadanya mendadak sesak. Bayangan-bayangan momen pedih lebaran dua tahun sebelumnya terus berkelebat, membuat Hanifa tak kunjung bisa ikhlas atas kepergian sang bapak.
“Sekarang setiap malam lebaran rasanya hampa,” ucap Hanifa saat Mojok hubungi, Rabu (3/4/2024).
Bapak meninggal di malam lebaran
Selama bertahun-tahun bapak Hanifa merantau di Kalimantan, membuka bisnis di sana. Karena jarak yang sangat jauh antara Kalimantan dan Jombang, Jawa Timur (tempat asal Hanifa), dalam satu tahun bapak Hanifa bisa pulang paling banyak hanya dua kali. Salah satunya yakni saat lebaran.
Oleh karena itu, Hanifa selalu antusias setiap menyambut lebaran. Karena ia bisa bermanja-manja dengan sang bapak. Karena memang Hanifa terbilang sangat dekat dengan bapaknya tersebut.
Pada lebaran tahun 2022 silam, yang ternyata menjadi lebaran terakhir Hanifa bersama bapaknya, Hanifa bahkan rela bergadang untuk menunggu kapal bapaknya berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
“Bapak nyampe di pelabuhan pas Subuh, h-5 lebaran. Setelah itu kami motoran pulang ke Jombang. Ya pokoknya kalau ada bapak, aku langsung jadi anak kecil. Manja banget,” tutur Hanifa.
Hanya saja, suasana hangat menyambut lebaran sirna setelah kabar duka menyergap rumah Hanifa persis di malam lebaran tahun 2022 tersebut.
Setiba di rumah, kata Hanifa, sang bapak sebenarnya tak menunjukkan gejala apapun. Alih-alih mengeluh sakit, sang bapak justru terlihat sangat aktif. Mulai dari badminton bersama tetangga selepas Tarawih hingga mengajak Hanifa dan ibunya berbelanja ria.
“Baru seharian sebelum malam lebaran, bapak agak berubah, kayak lemes. Akhirnya tidur-tiduran. Tapi malamnya, persis setelah azan Isya, di sela-sela gema takbiran, bapak malah nggak ada,” tutur Hanifa.
Di tengah tangis histeris ibu dan beberapa saudara di rumahnya, Hanifa saat itu hanya bisa menatap kosong tubuh sang bapak yang terbaring kaku di ranjang. Saking tak bisa mencerna apakah yang terjadi di hadapannya nyata atau tidak, Hanifa sampai tak bisa menangis.
“Aku pingsan berkali-kali. Ibu juga. Duniaku rasanya sudah berakhir,” ungkap perempuan asal Jombang tersebut.
Janji bapak menemani wisuda, malah meninggal di malam lebaran
Bahkan sejak jenazah sang bapak dikebumikan pun, perempuan asal Jombang itu masih suka tiba-tiba pingsan. Di dalam kepalanya seperti berjejal sesuatu yang berat, di dalam hatinya ada rasa sakit yang dahsyat. Hanifa tak mampu menahannya, alhasil ia jatuh pingsan.
Bagaimanapun, menerima kenyataan saat bapak meninggal di malam lebaran pasti amat sangat tidak mudah. Sebab, sedianya malam lebaran menjadi momen untuk bahagia, menghabiskan waktu bermanja-manja dengan sang bapak sebagaimana yang lalu-lalu.
Kesedihan Hanifa makin menjadi-jadi karena bapaknya meninggal satu bulan sebelum Hanifa mengikuti prosesi wisuda di kampusnya di Surabaya.
“Bapak sudah janji buat nemani wisuda. Bapak juga sudah persiapan bakal di Jombang sedikit lebih lama. Nggak keburu balik Kalimantan,” kata Hanifa.
Gelar Cumlaude nggak ada artinya
Setelah satu bulan berlalu, Hanifa sebenarnya sudah berniat untuk tidak mengikuti acara wisuda. Ia hanya berniat mengikuti yudisium. Baginya itu yang lebih penting karena sekalian penerimaan transkrip nilai dari kampus.
“Ikut wisuda pun buat apa? Yang ada aku dan ibu nanti malah pingsan bareng saat prosesi wisuda karena keingat bapak,” tutur Hanifa.
Namun, setelah ngobrol dengan sang kakak dan beberapa teman dekatnya, Hanifa pun dengan ogah-ogahan mengikuti prosesi wisuda tersebut. Meski dengan hati dan pikiran yang sangat kacau.
“Kalau inget momen wisuda itu, aku malah nggak enak sama temen-temenku yang datang. Aku nggak nunjukin wajah bahagia blas. Nggak antusias juga ngobrol sama mereka,” tutur perempuan yang bapaknya meninggal di malam lebaran tersebut.
Di momen wisuda itu, Hanifa ternyata mendapat predikat Cumlaude lewat jalur prestasi non akademik. Tapi bagi Hanifa gelar itu sama sekali tak ada artinya. Karena tak bisa ia persembahkan pada sang bapak sebagai sosok yang lewat perjuangannya bertahun-tahun di Kalimantan mengantarkannya menjadi seorang sarjana.
Gagal S2, jadi tulang punggung keluarga
“Kenyataan pedih lainnya, bapak sebenarnya mendorong aku buat lanjut S2. Bapak menegaskan bakal nanggung semua biayanya,” terang Hanifa. Namun karena sang bapak sudah meninggal sebelum hal itu terwujud, maka niat lanjut S2 pun pupus sudah.
Sang kakak sudah punya tanggungan anak dan istri. Sehingga tidak mungkin jika membiayai Hanifa untuk lanjut S2. Sementara ibunya pun selama ini tidak bekerja. Full sebagai ibu rumah tangga.
Alhasil, mau tidak mau Hanifa lah yang kemudian mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga untuk membantu mencukupi kebutuhan ibunya sehari-hari. Apalagi ia juga masih punya satu adik yang masih sekolah SMA.
“Biaya sekolah adik dibagi dua. Kakakku SPP, aku uang saku. Begitu juga buat kebutuhan ibu,” ucap perempuan asal Jombang itu.
Kesedihan masih akan terus berlanjut. Termasuk jika kelak Hanifa akan melangsungkan lamaran hingga pernikahan. Harusnya ada sosok bapak yang duduk gagah menitipkan anak perempuannya pada seorang laki-laki agar dijaga dengan sebaik-baiknya. Sayangnya kenyataannya tidak demikian.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.