Untuk sebagian orang, merayakan tahun baru di Jogja adalah pilihan buruk. Mereka pun memilih melipir buat mengindari keramain kota yang cuma bikin sumpek.
****
Bagi Evani (19), pergantian tahun adalah momen yang wajib dirayakan. Datang cuma sekali dalam setahun, bagi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini, tahun baru punya makna filosofis. Ia adalah penutup sesal dan permulaan bagi harapan baru.
“Makanya, rasanya nggak ada alasan buat nggak bikin momen pergantian tahun itu berkesan. Wajib dirayakan,” ucapnya, saat ditemui di salah satu kafe kawasan Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jumat (27/12/2024).
Selain itu, dia juga sudah berkali-kali absen merayakan tahun baru. Tercatat, ada dua kali momen pergantian tahun yang dia lewatkan karena pandemi Covid-19: 2021 dan 2022.
Pada pergantian tahun 2024, di mana dia berstatus mahasiswa baru di Jogja, momen itu pun harus terlewat. Kala itu dia harus pulang kampung lantaran anggota keluarga ada yang sakit. Tahun baru pun dia dan keluarga rayakan di Rumah Sakit.
Jogja, pusatnya perayaan malam tahun baru
Alasan perempuan asal Jawa Barat ini kuliah di Jogja salah satunya karena FOMO. Dia mengaku iri melihat vibes Jogja yang selalu semarak saat momen tahun baru tiba.
“Sering lihat di video IG, Malioboro ada pesta kembang api. Di Tugu ada hitung mundur. Sementara aku yang tinggal di kota yang begini-begini aja, nggak ada kayak begituan. Iri lihatnya,” jelasnya.
Alhasil, saat dinyatakan lolos seleksi kuliah di UNY, dia sangat senang. Setidaknya dia bisa merasakan tinggal di kota yang selama ini dianggap istimewa, yang–kalau mengutip Joko Pinurbo–terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.
Kesempatan merayakan tahun baru langsung “di pusatnya” pun dia peroleh. Meskipun, ya, pada kesempatan pertama di penghujung 2023 lalu, tak dia dapatkan.
Memilih melipir di antara jutaan orang yang melawat ke Jogja
Sayangnya, kesan Evani beberapa tahun lalu soal Jogja perlahan terkikis. Bagi dia, kini, Jogja tak seistimewa kata-kata Joko Pinurbo ataupun seromantis kata orang-orang.
Satu setengah tahun tinggal di Jogja, ada banyak realitas yang membuat terbangun dari mimpi siang bolongnya. Macet sana-sini, tumpukan sampah di mana-mana, sampai harga makanan yang ternyata tak semurah yang dipikirkan.
Fakta-fakta itu pada akhirnya bikin Evani soliter: lebih menghargai waktu sendiri dan banyak menghindari kerumunan. Terlebih kehidupan kuliah yang melelahkan, membuat tubuhnya lebih nyaman rebahan di kos alih-alih berkeliling menikmati setiap sudut Jogja.
“Jogja suntuk,” ujarnya singkat, mendeskripsikan pandangannya atas Jogja hari ini.
Buat menikmati keramaian Jogja saja ogah, apalagi merayakan tahun baru yang super ramai. Sebagai informasi, Pemerintah Daerah DIY memprediksi bakal ada peningkatan wisatawan sepanjang libur Nataru di Jogja. Proyeksinya lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 6 persen.
Artinya, bakal ada 9,4 juta orang datang dan bikin Jogja semakin ramai. Bagi Evani, situasi itu harus dia hindari. Sudah terbayang di benaknya bagaimana sumpeknya Jogja di malam tahun baru.
“Dulu aku senang membayangkannya [keramaian saat tahun baru]. Tapi sekarang jadi sumpek sendiri. Kebayang gimana sesaknya Jogja, apalagi di Tugu dan Malioboro,” ungkapnya.
“Makanya, tahun baru sekarang aku milih mengunjungi nenek di Solo. Ngunci diri di kamar sambil Netflix-an ‘kan malah chill banget.”
Momen tahun baru adalah neraka bagi warga lokal Jogja
Kalau Evani baru menyadari Jogja yang tak istimewa lagi, khususnya saat tahun baru, pernyataan berbeda diungkap Fandi (28). Dia merupakan warga lokal Jogja yang lahir, besar, tumbuh, sekolah, kuliah sampai kerja di sini.
“Ada yang baru sadar Jogja nggak istimewa lagi. Belakangan nyadarnya. Kalau aku sejak awal udah sadar, Jogja nggak ada bagus-bagusnya, apalagi saat tahun baru,” ungkapnya kepada Mojok, Jumat (27/12/2024).
Sejak kecil, Fandi tak merayakan malam pergantian tahun sebagaimana yang dirayakan para wisatawan: berkumpul di Tugu atau Malioboro dan pesta kembang api. Dia biasanya merayakan secara kecil-kecilan saja. Seperti bakar-bakar bersama keluarga dan teman.
Baginya, melipir dari keramaian adalah pilihan terbaik. Sebab, dalam situasi seperti itu tak ada hal lain yang ditawarkan selain perasaan mumet.
“Macet parah, itu pasti. Mau nongkrong, cari tempat parkir setengah mati. Lantas apalagi yang mau dikejar saat malam ganti tahun itu?,” kata dia.
“Jangan lupa, abis perayaan itu sampahnya bertebaran di mana-mana.”
Menguntungkan UMKM lokal dan akamsi itu cuma mitos
Selain itu, alumnus salah satu PTS Jogja itu juga ingin membantah berbagai mitos malam tahun baru. Seperti, yang kerap dia dengar, “tsunami wisatawan” bisa mendatangkan berkah bagi UMKM lokal.
Bagi dia, itu omong kosong. Sebab, yang berjualan di malam pergantian tahun itu kebanyakan adalah pendatang, bukan akamsi. Warga lokal yang biasanya berjualan, malah menutup lapak saat tahun baru.
“Pengalaman ibu aku, malam tahun baru itu penuh risiko. Dalam situasi ‘tsunami turis’ itu, hal-hal yang tak diinginkan bisa terjadi. Makanya mereka milih tutup,” jelasnya.
“Belum lagi jelang malam tahun baru itu banyak pedagang dadakan, bukan akamsi. Daripada gesekkan, mending kami warga lokal ngalah saja.”
Fandi pun menyebut, cuma ada satu pihak yang untuk dari momen malam pergantian tahun. Tak lain dan tak bukan adalah tukang parkir.
“Kalau itu sih jangan ditanya, ya. Hahaha,” pungkasnya dengan tawa lepas.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Upaya Gen Z Mengatasi Bahaya Kesepian di Tengah Kemeriahan Tahun Baru
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News