Bukit Duri Jakarta Selatan yang nyaman untuk menepi
Sekarang, setelah dapat pekerjaan yang cukup aman meski sulit untuk menyisihkan setiap bulan, ia mulai bisa menikmati kehidupan berat di sana. Berangkat pagi, pulang malam setelah isya jadi keseharian.
Seringkali memang ada lemburan yang membuatnya harus lebih lama di kantor. Namun, tak jarang pula ia sengaja pulang lebih larut untuk menghindari kemacetan.
Pulang-pulang, ia akan termenung di depan teras kontrakannya yang kecil itu. Sambil menyesap beberapa batang rokok dan menyapa warga yang melintas di hadapannya, seperti saat kami berbincang malam itu.
“Bukit Duri ini enak. Hitungannya cukup strategis, dekat fasilitas transportasi umum. Bersyukur lah dapet tempat di sini,” tuturnya.
Keluar gang, ia pun sudah bisa menemukan deretan penjual makanan kaki lima dengan harga terjangkau. Harga yang ternyata tak banyak selisih dengan Jogja. Gorengan misalnya, masih sama-sama Rp1 ribu per bijinya.
Ia sempat pindah tempat tinggal lain, tak di Bukit Duri tapi masih di kawasan Tebet Jakarta Selatan. Namun, akhirnya kembali lagi seatap bersama rekan-rekannya. Menemukan kenyamanan di tempat itu, sebuah kecil dengan tetangga yang hangat.
Kisahnya hanya secuplik kecil dari kehidupan para perantau yang masih terus berdatangan ke Jakarta. Mengadu nasib di tengah kepadatan kota.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News