Di balik gembar-gembor keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diklaim pemerintah Prabowo Subianto, nyatanya ada kekhawatiran besar yang membayangi.
Dana triliunan rupiah yang digelontorkan untuk program ini, sebagian besar diambil dari anggaran pendidikan. Hal ini pun memicu pertanyaan: apakah negara sedang mengorbankan masa depan anak-anak demi sepiring nasi—yang bikin keracunan—itu?
Pemerintahan bakal mengalokasikan Rp335 triliun untuk program MBG dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka ini setara dengan hampir separuh dari total anggaran pendidikan nasional.
Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani merevisi bahwa “hanya” Rp223,6 triliun yang berasal dari dana pendidikan, jumlah ini tetap signifikan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menegaskan bahwa pemindahan anggaran ini “haram” dilakukan dan hanya akan merusak peta jalan pendidikan nasional.
Kritik ini bukan tanpa alasan. Berbagai data dan fakta menunjukkan bahwa alokasi dana pendidikan sejatinya masih kurang untuk mengatasi masalah fundamental yang ada. Eh, ini malah dipakai untuk program yang kalau mengacu pada pemberitaan baru-baru ini, lebih banyak mudharatnya.
Mengapa anggaran pendidikan tak boleh dikorbankan?
JPPI berpendapat bahwa meskipun program MBG adalah program prioritas pemerintah Prabowo, pendanaannya tak harus ditanggung oleh sektor pendidikan.
Salah satu alasannya, kata Ubaid, karena anggaran pendidikan belum optimal. Sebagaimana yang kita tahu, anggaran pendidikan diamanatkan 20 persen dari APBN, atau sekitar Rp757,8 triliun pada 2026.
Sialnya, laporan dari Kompas menunjukkan bahwa mayoritas dana ini terdistribusi ke gaji guru, tunjangan, dan transfer ke daerah. Anggaran yang benar-benar bisa digunakan untuk perbaikan program inti pendidikan masih sangat terbatas.
Alhasil, dengan mengambil Rp223,6 triliun untuk MBG, itu berarti hampir sepertiga dari anggaran pendidikan akan digunakan untuk program yang bukan inti pendidikan.
Selain itu, masih menurut Ubaid, MBG adalah tanggung jawab kesehatan dan sosial. Menurutnya, program MBG seharusnya masuk ke dalam pos anggaran kesehatan, perlindungan sosial, atau ketahanan pangan.
“Membiayai MBG dari anggaran pendidikan akan mengaburkan prioritas dan menimbulkan risiko masalah baru, seperti potensi korupsi, karena pengawasannya akan tumpang tindih.”
Gara-gara MBG, kualitas dan akses pendidikan terancam
Jika alokasi anggaran MBG yang amburadul ini tetap dilakukan, konsekuensi yang akan dihadapi pendidikan Indonesia sangatlah berat. Menurut Ubaid Matraji, ada dua masalah utama yang akan terdampak, yakni kualitas dan akses pendidikan itu sendiri.
Masalah pertama ada pada kualitas pendidikan. Menurut data PISA 2022, kemampuan literasi dan numerasi pelajar Indonesia masih berada di posisi terbawah dari 38 negara.
“Ini adalah alarm nyata bahwa mutu pendidikan kita berada di titik kritis,” tegas Ubaid.
Seperti yang dijelaskan Ubaid, mengurangi dana pendidikan berarti mengurangi anggaran untuk melatih guru, mengembangkan kurikulum, dan memperbaiki fasilitas sekolah. Dampaknya, kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah akan semakin melebar, mengorbankan anak-anak di daerah yang sudah tertinggal.
Masalah kedua adalah akses pendidikan. Ubaid menyebutkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sekolah gratis hingga kini masih terkatung-katung, tanpa dukungan anggaran yang memadai.
Jika dana pendidikan dialihkan, upaya untuk menjamin akses pendidikan tanpa biaya akan semakin sulit. Hal ini dapat memperburuk angka putus sekolah yang hingga kini masih menjadi masalah, terutama di daerah-daerah miskin.
Pertaruhan ini sangat besar. Ubaid Matraji menyimpulkan bahwa mengorbankan anggaran untuk membangun sekolah dan melatih guru demi program di luar fungsinya, akan menciptakan generasi yang mungkin sehat secara fisik, tetapi tertinggal dalam kecerdasan dan keterampilan.
“Jadi menggunakan anggaran pendidikan untuk MBG justru dapat mengorbankan masa depan pendidikan anak-anak itu sendiri,” pungkas Ubaid.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: MUchamad Aly Reza
BACA JUGA: Catatan Suram Dunia Pendidikan Indonesia Kala Pemerintahnya Lebih Sibuk Mengurus Program MBG atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












