Di LKSA Budi Luhur, Kabupaten Kudus, keluarga punya makna lain. Tempat ini mengajarkan bahwa keluarga tak melulu soal ikatan darah.
***
Setiap kali mengingat peristiwa puluhan tahun silam, Wiwik Purwanti masih sering menangis. Kisah itu terlampau haru untuk diingat. Dengan mata yang berkaca-kaca dan suara bergetar, ia berusaha merangkai kata untuk menyampaikan kisah yang mengubah hidupnya itu.
“Saya nggak kuat kalau ingat masa itu,” ujarnya kepada saya, Selasa (28/10/2025), sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Kala itu, sekitar awal 1980-an, tetangganya, sepasang suami istri, meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan. Mereka meninggalkan empat anak yang masih kecil. Lingkungan sekitar sempat kebingungan, siapa yang akan merawat anak-anak itu.
Wiwik, yang kala itu masih duduk di bangku SMA, tak tega melihat mereka terlantar. Ia pun meminta izin kepada orang tuanya untuk menampung keempat anak tersebut di rumah kecilnya.
“Saya cuma kepikiran satu hal, mereka nggak boleh merasa sendirian,” kenangnya. “Alhamdulillah-nya, orang tua mengizinkan, asal saya berjanji benar-benar merawat mereka.”

Sejak saat itu, rumah keluarga Wiwik mendadak ramai. Ada suara tangis, tawa, dan canda yang beradu di setiap malam. Ia juga membantu memandikan anak-anak, menyiapkan makan, hingga mengantar mereka sekolah. Dari situ, Wiwik belajar tentang arti menjadi orang tua bagi anak-anak yang tak pernah ia lahirkan.
“Ya kalau mau diurutkan kisahnya, dari empat anak tadi, niat awal untuk saya bikin panti asuhan muncul, Mas.”
Dari rasa iba ke tanggung jawab sosial
Waktu berjalan. Satu per satu anak-anak yang diasuh Wiwik tumbuh besar. Ada yang sudah bekerja, ada yang menikah, ada pula yang masih sering datang sekadar bersilaturahmi. Namun, setelah itu, datang lagi anak-anak lain. Ada yang kehilangan orang tua, atau yang keluarganya tak sanggup menanggung biaya hidup.
“Awalnya cuma empat, lalu datang dua, tambah tiga. Lama-lama penuh, Mas,” katanya sambil tersenyum.
Saat itu, Wiwik sudah bekerja menjadi seorang pengajar di salah satu SD negeri di Kudus. Dari gajinya, ia menyisihkan sebagian untuk biaya makan dan sekolah anak-anak asuh. Tidak ada donatur tetap, tidak pula lembaga besar di belakangnya. Semua murni dijalankan dengan semangatnya menolong anak kurang mampu.
“Kalau gajian, yang saya pikir pertama bukan mau beli apa, tapi cukup nggak buat anak-anak,” katanya.
Awal 2000-an, ia akhirnya mendirikan Panti Asuhan Budi Luhur di Jekulo, Kudus. Dengan status lembaga resmi, ia bisa menerima lebih banyak anak sekaligus mendapat dukungan dari masyarakat sekitar. Namun, bagi Wiwik, tujuannya tidak pernah berubah.
“Saya nggak ingin tempat ini seperti panti. Saya ingin ini tetap rumah,” ujarnya tegas.

Seingat dia, sejak awal 2014, nama “panti asuhan” bertransformasi menjadi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Dukungan berbagai lembaga pun makin banyak. Salah satunya Djarum Foundation yang memberikan support berupa pemenuhan fasilitas bagi LKSA Budi Luhur.
“Salah satunya tempat kita mengobrol ini,” kata Wiwik tersenyum. “Awal Budi Luhur berdiri, bangunan kami itu cuma yang bagian belakang itu. Lantai dua sama ruang pertemuan ini dibangun karena adanya bantuan Djarum Foundation,” imbuhnya.
LKSA Budi Luhur memang sempat memiliki problem dengan bangunan panti. Terutama awal 2010-an. Kala itu, semakin lama, jumlah anak asuh yang tinggal makin banyak. Namun, Wiwik belum memiliki cukup dana untuk membangun gedung baru.
“Alhamdulillah di momen sulit itu, bantuan-bantuan datang, salah satunya melalui program Infrastruktur dari Djarum Foundation. Sehingga masalah bangunan bisa terselesaikan, Mas.”
Tak cuma bantuan dalam membangun gedung, Bakti Sosial Djarum Foundation juga memastikan kebutuhan gizi anak-anak terpenuhi dengan memberikan bantuan susu MilkLife 2 kotak per hari untuk semua Anak Asuh. “Soal makanan dan gizi anak, Alhamdulillah semua bukan lagi masalah.”
Membangun rumah bagi yang tak punya ikatan darah
Wiwik menegaskan, LKSA Budi Luhur bukan sekadar tempat singgah. Di sini, anak-anak tumbuh dalam suasana kekeluargaan yang hangat. Mereka makan di meja yang sama, belajar di ruang tengah yang sama, dan dan berkumpul untuk mengobrol di ruangan yang sama pula.
“Kalau ada yang ulang tahun, kami rayakan. Ada yang minta sunat, saya usahakan, Mas. Bahkan pernah ada yang meminta izin mau nikah, ya kita buatkan acara. Sederhana, tapi mereka senang,” tutur Wiwik.
Nilai kekeluargaan itu juga dipegang oleh putranya, Dharma Try, yang kini turut mengelola LKSA. Sejak kecil, Dharma hidup berdampingan dengan anak-anak asuh ibunya. Apalagi, ia juga tumbuh sebagai yatim, sehingga bisa memahami perasaan anak yang lain.
“Udah nggak ada istilah saudara kandung atau saudara asuh, di sini semua sama, Mas.”

Dharma melihat bagaimana ibunya memaknai kata “keluarga” dengan sungguh-sungguh. Ia belajar bahwa kedekatan tidak ditentukan oleh darah, melainkan oleh kasih yang dibangun setiap hari.
Kini, Dharma meneruskan semangat itu. Ia menjadi orang yang bertanggung jawab dalam kegiatan harian. Mulai dari menemani anak-anak belajar, bermain, hingga berdiskusi tentang masa depan. Ia juga menanamkan pentingnya tanggung jawab dan kejujuran.
“Kalau mereka salah, ya saya tegur. Tapi tetap dengan cara yang bikin mereka merasa aman,” katanya.
Tempat curhat anak-anak
Salah satu yang membuat LKSA Budi Luhur berbeda adalah suasananya yang terbuka. Anak-anak bebas bercerita tentang apa saja, dari urusan sekolah hingga hal-hal pribadi.
Dharma bercerita, pernah ada anak yang murung selama beberapa hari. Ia menolak makan, bicara jarang. Setelah didekati, baru diketahui bahwa anak itu menjadi korban bully di sekolah.
“Saya bilang, di sini kamu boleh cerita apa saja. Nggak apa-apa nangis. Yang penting jangan dipendam,” ujarnya.
Dari pengalaman itu, Dharma membuat “buku curhat” sederhana. Ia memahami, bahwa tak setiap anak pandai bercerita. Ada yang malu-malu mengungkapkan isi hatinya.
Oleh karena itu, setiap anak diwajibkan menulis pesan atau perasaan di buku yang sudah ditentukan, rahasia juga ia jamin. Setiap malam, Dharma membaca pesan itu satu per satu.
“Kadang isinya lucu. Tapi dari situ, saya belajar memahami isi hati mereka,” ujarnya.
Selain jadi tempat curhat, pendidikan juga menjadi perhatian utama. Apalagi, pendidikan Dharma juga tinggi. Ia tercatat akan melanjutkan S3-nya di Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Beberapa anak asuh LKSA Budi Luhur sendiri juga sudah banyak yang mandiri. Ada yang sudah bekerja, menikah, atau kuliah. Namun, sekali lagi, karena ikatan kekeluargaan amat kuat, bagi Wiwik tak ada istilah “alumni”. Mereka semua masih boleh datang bahkan tinggal di sini.
“Ada yang sudah kerja, masih datang ke sini. Kami terbuka, layaknya keluarga,” tegas Wiwik.
Keluarga baru Nabila
Salah satu anak yang tumbuh bersama Wiwik adalah Nabila Nurmasari. Ia datang ke LKSA ketika berusia empat tahun, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia.
“Karena sudah nggak ayah dan ibu, saya dititipkan di sini. Eh, malah dapat orang tua baru,” ungkapnya.
Kini, Nabila berusia 20 tahun. Ia bekerja di sebuah SPBU Kudus sambil kuliah Jurusan Ilmu Hukum Universitas Terbuka (UT) Semarang. Dalam kesehariannya, Nabila dikenal tekun bekerja sambil kuliah daring.
“Saya nggak mau ngecewain Ibu Wiwik. Beliau udah kayak ibu sendiri,” katanya.
Setiap hari, Nabila bisa saja kembali ke rumahnya di Colo. Namun, ia memilih pulang ke LKSA karena bagi dia, di sini memang rumahnya. Di sana, ia membantu adik-adiknya belajar dan mengurus kebersihan panti. Bagi Nabila, tempat itu bukan sekadar rumah masa kecil, tapi ruang di mana ia tumbuh menjadi dirinya sekarang.

Rumah yang tak pernah sepi
Menjelang sore, suara anak-anak terdengar dari ruang tengah. Mereka baru saja pulang sekolah. Ada yang siap-siap mengaji, ada yang tertawa sambil saling mengejek kecil, ada pula yang rebahan di lantai sambil mengerjakan PR.
“Dulu saya cuma ingin mereka punya tempat pulang,” kata Wiwik, perlahan. “Tapi alhamdulillah kalau mereka menemukan keluarga.”
Hampir dua puluh tahun berlalu sejak LKSA Budi Luhur berdiri. Bangunan bercat biru di Jekulo itu telah menjadi saksi lahirnya begitu banyak kisah. Kini, di usia yang mulai senja, Wiwik belajar melihat makna lain dari pengasuhan. Ia bukan lagi sekadar penjaga bagi anak-anak yatim, melainkan bagian dari lingkaran besar kebaikan yang terus berputar.
“Kalau saya sudah nggak kuat, saya tahu Dharma dan anak-anak lain bisa nerusin,” ujarnya tersenyum.
Bagi Wiwik, rumah itu mungkin kecil, tapi di dalamnya bersemayam sesuatu yang besar: keyakinan bahwa keluarga bukan soal darah, melainkan soal siapa yang bersedia menetap di hati kita.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Darul Hadlonah Rembang: Beri Bekal Keterampilan ke Anak-anak Bermasalah Sosial untuk Arungi Kehidupan atau liputan lain di rubrik Liputan















