Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar menskors puluhan mahasiswa mereka, karena mengkritik kebijakan kampus. Padahal, mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) itu punya banyak keresahan sampai melakukan aksi.
Salah satu mahasiswa yang ikut aksi adalah Muhammad Reski. Dia diskors sejak Selasa (13/8/2024). Sanksi itu merugikan dia secara materi dan non materi.
Kena semprot orang tua karena diskors
Orang tua Reski tiba-tiba menelepon dari rumahanya di Pinrang, Sulawesi Selatan. Reski yang masih berada di kos langsung terperanjat, karena orang tuanya marah-marah saat itu.
“Rupanya, kampus langsung sampaikan surat pemberitahuan skors saya ke orang tua,” kata dia kepada Mojok pada Sabtu (26/10/2024).
Kedua orang tua Reski amat kecewa. Ibu Reski adalah honorer guru yang mengharapkan anaknya berperilaku baik di kampus. Dia menganggap Reski telah berbuat onar sampai terkena skors.
Namun, Reski berusaha menjelaskan kepada orang tuanya secara perlahan bahwa dia tidak sepenuhnya salah. Reski berujar ada beberapa kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa, sehingga dia merasa perlu untuk memperjuangkan hak-hak tersebut.
“Setelah tau kronologinya, mereka sudah bisa menerima,” kata Reski.
Aktif menyuarakan kebijakan kampus yang nyeleneh
Reski aktif mengikuti Dema UIN Alauddin Makassar sejak menjadi mahasiswa baru. Dia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Dema UIN Alauddin Makassar pada semester 7.
Reski dan teman-temannya punya banyak catatan soal kebijakan UIN Alauddin Makassar yang merugikan mahasiswa. Salah satunya, biaya uang kuliah tunggal (UKT) untuk mahasiswa semester 9 ke atas yang naik di setiap jurusan.
“Khususnya kalau di jurusanku tuh naik Rp200 ribu-an di tiap golongan,” kata mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat itu.
Mahasiswa juga merasa rugi dengan aturan jam malam kampus. Mereka dilarang beraktivitas di atas jam 17.00 WIB. Lalu, semester antara yang terbilang mahal, dan bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang tak kunjung cair.
Demi menyuarakan isu-isu tersebut, para mahasiswa menggelar aksi sejak Juli 2024. Reski berujar bebebapa aksi sampai melibatkan pihak kepolisian karena premanisme dari satpam kampus.
“Ada kawan-kawan kami yang dicekik, dipukul, ditendang, dan diangkat oleh pihak keamanan kampus sampai berdarah,” kata Reski sembari menunjukkan bukti berupa foto dan video.
Mahasiswa UIN Alauddin Makassar mencari tempat mengadu
Alih-alih menanggapi tuntutan mahasiswa, kampus justru mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 2591 Tahun 2024 tentang Ketentuan Penyampaian Aspirasi Mahasiswa di Lingkup UIN Alauddin Makassar.
Rektor UIN Alauddin Makassar Hamdan Juhannis menandatanganinya pada Kamis (25/7/2024). Merujuk pada SE tersebut, mahasiswa wajib mengajukan surat izin selambat-lambatnya 3 kali 24 jam sebelum aksi. Mahasiswa merasa kebijakan itu menghambat ruang demokrasi.
“Kampus bukan lagi tempat tumbuh berkembangnya pengetahuan, tapi tempat berkembang biaknya kepatuhan dan ketakutan,” kata Reski.
Kampus juga mengancam mahasiswa yang melanggar aturan dengan memberikan sanksi. Reski mencatat ada 31 mahasiswa yang terkena skors.
“Saya sendiri dianggap sebagai pelopor dan penggerak kawan-kawan UIN melakukan aksi protes terkait surat edaran tersebut,” kata Reski.
Namun, perjuangan mereka tidak berhenti. Hingga Oktober 2024, Dema UIN Alauddin Makassar telah menggelar aksi demonstrasi sebanyak 12 kali. Reski mengaku sudah membuka ruang diskusi bersama kampus, tapi tak pernah didengar.
Mereka bahkan ke DPRD Sulawesi Selatan untuk meminta Rapat Dengar Pendapat. Mereka juga sudah membuat laporan ke Kementerian Agama (Kemenag) RI, Ombudsman, Komnas HAM, dan PTUN Makassar.
“Ombudsman, Komnas HAM, Kemenag belum ada hasil, PTUN sementara proses ke sidang pertama,” kata Reski.
UIN Alauddin Makassar: Mahasiswa yang kena skors bukan korban
Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama (AAKK) UINAM Kaswad Sartono menjelaskan SE tentang ketentuan penyampaian aspirasi mahasiswa bertujuan menjaga marwah kampus.
UIN Alauddin Makassar, kata Kaswad, ingin mahasiswa berdialog secara konstruktif dengan pimpinan saat menyampaikan pendapat.
“Bukan dengan cara yang meresahkan seperti membakar ban atau merusak fasilitas umum,” ujar Kaswad dikutip dari laman resmi UIN Alauddin Makassar pada Minggu (6/9/2024).
Melalui SE tersebut kampus dapat memberikan sanksi kepada mahasiswa yang tidak taat aturan, seperti menskors. Kaswad mengelak jika aturan tersebut memakan banyak korban.
“Semangatnya adalah penertiban dan pengaturan dalam menyampaikan pendapat, khusus untuk mahasiswa UIN Alauddin Makassar,” kata dia.
“Jika ada yang menerima konsekuensi karena melanggar isi surat edaran, itu bukan korban, melainkan konsekuensi dari tindakan mereka sendiri,” lanjutnya.
Kampus cepu ke pemberi beasiswa, sampai harus dicabut
Keluarga Reski bisa dibilang bukan dari kelompok berada. Dia hidup dari keluarga petani. Orang tuanya memiliki tiga orang anak yang seluruhnya masih sekolah. Reski sendiri merupakan anak pertama yang menjadi harapan keluarga.
Sejak kecil Reski punya keinginan untuk kuliah, tapi tidak ingin merepotkan orang tua. Beruntung, dia lulus dari pesantren dan masuk UIN Alauddin Makassar lewat jalur SPAN-PTKIN atau jalur undangan.
Reski juga mendapatkan beasiswa dari salah satu bank di Indonesia. Namun, beasiswa itu dicabut per semester 6, karena kampus melaporkan sanksi skorsnya.
“UKT yang saya bayarkan, waktu, tenaga, hak belajar dan mengurus organisasi itu tidak diberikan akibat skors,” kata Reski.
Reski pun mencari kerja part time untuk tabungan hidup di perantauan, sembari menunggu massa akhir skorsnya di tahun 2025. Dia memilih bekerja sebagai barista di warung kopi, meski gajinya tak seberapa.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News