Irwanto (60) tiba lebih awal dibandingkan pedagang lainnya di Pasar Senthir, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Jogja pada Rabu (29/1/2024). Dandanannya cukup nyentrik dengan cincin akik di jari-jari tangannya.
Sebelum menggelar tikar untuk membuka lapaknya, Irwanto mengeluarkan sapu lidi yang ia bawa sendiri. Disibaknya genangan air di atas permukaan paving block yang diguyur hujan sore itu. Maklum, hujan baru berhenti seusai magrib.
Meski tanah belum kering, Irwanto sudah siap membuka lapaknya dari pukul 18.30 WIB. Beberapa pengunjung juga terlihat mengitari Pasar Senthir Jogja. Pasar yang terletak di samping Pasar Beringharjo itu biasanya buka pukul 18.00 WIB hingga 22.00 WIB.
Di sana, pengunjung bisa mencari barang elektronik, baju bekas layak pakai, buku kuno, kaset, sepatu, hingga benda-benda antik dengan harga murah. Irwanto adalah salah satu pedagang yang menjual barang antik tersebut.
Jual barang untuk pengasihan di Pasar Senthir Jogja
“Asik sekali, Mbaknya,” ucap Irwanto yang menyapa saya makan di sebuah warung, persis di sebelah lapaknya.
Saat itu, Irwanto tampak bersiap-siap mengeluarkan karung beras satu per satu dari dalam tas obrok motor miliknya. Tentu saja isinya bukan beras, melainkan barang-barang antik yang akan ia jual malam itu.
Saya hanya tersenyum ketika Irwanto menegur, karena rencana saya memang hanya niup di warung. Namun, saat Irwanto mengeluarkan barang dagangannya satu per satu, saya jadi tertarik.
Sebelum Irwanto datang, saya sudah lebih dulu melihat-lihat pedagang yang menjual pakaian, buku, kaset, dan sebagainya. Namun, barang dagangan Irwanto agak lain. Ia menjual barang-barang antik seperti cincin akik, batu-batu dan perhiasan yang dianggap sakral. Sembari pengunjung melihat-lihat, biasanya Irwanto akan menjelaskan barang yang ia jual.

“Ini Keris Semar Kuncung, dibuatnya sudah lama. Disepuh,” kata dia di Pasar Senthir, Jogja, Rabu (29/1/2024).
Menurut literatur yang saya baca, tidak sembarang orang dapat menggunakan keris pusaka tersebut. Penggunanya harus melakukan ritual atau tirakat bersamaan dengan merapalkan mantra. Dengan begitu, mereka bisa memperoleh khasiat pelet dan pengasihan.
Saya sendiri membeli pulpen parker, sebuah pulpen yang sering dipakai oleh kalangan menengah atas untuk mencatat. Merek pena itu cukup ternama, buatan dari George Safford Parker seorang produsen pena mewah di Amerika Serikat. Irwanto menjualnya seharga Rp15 ribu.
“Zaman dulu harganya sudah sekitar Rp70-80 ribu, yang pakai bos-bos kantoran,” ucap Irwanto meyakinkan saya.
S2 Manajemen yang menikmati masa tua
Irwanto mengaku baru dua bulan ini berjualan di Pasar Senthir, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Jogja. Aslinya, ia adalah orang Jakarta, kemudian menemukan jodohnya di Jogja, hingga menetap di Kota Pelajar tersebut.
“Saya sudah biasa ke luar kota, karena maaf, bukannya apa-apa. Ayah saya dulu itu komisaris di sebuah perusahaan penerbangan. Saya pernah disuruh belajar di Surabaya. Beberapa hari saya jalani, tapi nggak betah,” kata dia.

Akhirnya, ia belajar di Akademi Bahasa Asing. Sedari remaja, minatnya pun tumbuh untuk belajar ekonomi hingga berhasil menyandang gelar magister atau S2 Manajemen. Namun, ia tak mau mendetailkan nama kampusnya. Hanya saja, untuk meyakinkan saya, ia sampai mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya. Di mana, di namanya sudah tertera gelar tersebut.
Sebelum berjualan barang antik, Irwanto pernah bekerja di bank, bahkan memberikan kuliah umum untuk mahasiswa tapi tak ia teruskan karena faktor usia. Kini, ia hanya ingin menikmati masa tua sembari berjualan barang antik di Pasar Senthir, Jogja.
“Kalau dulu aku masih harus mikirin pendidikan anak. Rambutku sampai gundul gara-gara mikiran biaya,” ucapnya, lalu tertawa.
Kini, empat anak Irwanto sudah dewasa. Mereka punya pekerjaan masing-masing. Anak pertamanya lulusan S2 Universitas Gadjah Mada (UGM), dan tiga lainnya lulusan dari Universitas Islam Indonesia (UII).
Menjamin kualitas barang antik di Pasar Senthir Jogja
Bicara soal barang dagangannya, sebetulnya Irwanto tidak tahu-tahu amat soal fungsi barang antik yang ia jual. Namun, barang-barang itu kerap ia dapatkan dari kenalan dan teman-temannya.

“Misalnya ini, kompas, jam, dan pulpen yang Mbak beli tadi saya beli sepaket dari teman yang jual toko buku lama di Solo tapi sekarang sudah tutup,” ucapnya.
Sebelum membeli, Irwanto lebih dulu bertanya ke tengkulak soal asal-usul atau fungsi dari barang tersebut. Ia hendak memastikan keaslian barang yang dijualnya. Walaupun kebanyakan, banyak tengkulak yang juga tidak tahu. Malah, Irwanto lebih lebih sering mendapatkan informasi tak terduga dari pengunjung.
“Banyak mahasiswa yang lihat barang-barang saya, terus terkejut pas saya kasih harga segitu. Katanya murah, padahal aslinya mahal sekali,” ucap Irwanto.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pasar Senthir Jogja, Surga Para Gen Z Pemburu “Harta Karun”: Outfit Seharga Jutaan Dibeli 10 Ribu Saja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.