Ada asrama kecil di Kabupaten Kudus yang menjadi tempat bagi mimpi besar anak-anak dibangun. Namanya LKSA Darussalamah. Di tempat ini, anak-anak punya jalan untuk tetap berprestasi meski hidup dalam keterbatasan.
***
Selepas salat ashar, suara anak-anak yang melantunkan ayat Al-Qur’an terdengar nyaring di asrama kecil sudut Desa Jurang, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Namun, di antara mereka, ada seorang remaja yang tampak unik. Ia beberapa kali mengucapkan kalimat-kalimat dalam Bahasa Jepang dengan amat fasih.
Namanya Haedar Fachri Al Hafd, siswa kelas sebelas MAN 1 Kudus. Sehari-harinya, ia tinggal di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darussalamah, sebuah panti sosial di bawah naungan pesantren kecil di pinggir kota Kudus. Sejak duduk di SMP, Haedar “mondok” di sini karena ibunya di Tangerang Selatan tidak lagi sanggup membiayai sekolahnya.
Namun, keterbatasan itu justru menyalakan semangatnya. Selama di Kudus, ia malah jadi punya waktu untuk mempelajari minatnya, yakni belajar bahasa asing. Kini, ia cukup fasih berbahasa Jepang, Arab, Inggris, dan Indonesia, serta tengah mencoba-coba belajar bahasa Mandarin.
“Awalnya cuma penasaran,” katanya suatu sore, Selasa (28/10/2025). “Dulu mikir unik, kok bisa huruf Jepang mirip gambar aneh, tapi bisa dibaca.”
Tak cuma sekadar menguasai bahasa asing. Berkat kemampuan bahasanya itu, ia beberapa kali dipercaya mewakili sekolah dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN). Memang, Fachri belum sempat naik podium, tapi bagi pengasuhnya, Julal Umam, prestasi itu sudah cukup membanggakan.
“Fachri itu bukti bahwa anak panti juga bisa berprestasi,” ujar Umam, yang menjadi pengasuh LKSA Darussalamah, saat ditemuai Mojok.
LKSA Darussalamah punya sejarah panjang
Umam mengingat, lembaga yang kini ia asuh memiliki sejarah panjang. Jauh sebelum disebut “LKSA”, kegiatan sosial di kampungnya sudah berlangsung sejak 1984. Kala itu, sejumlah tokoh masyarakat rutin mengadakan santunan untuk anak yatim setiap bulan Muharram. Salah satunya adalah Nasir Aswan, pendiri awal Yayasan Darussalamah.
“Dulu di sini belum ada bangunan apa-apa,” tutur Umam. “Cuma tanah kosong di belakang masjid, kadang dipakai kumpul kalau ada acara,” imbuhnya, sambil menunjuk bangunan yang kini sudah berdiri sebuah asrama tempat tinggal anak asuh LKSA Darussalamah.

Baru pada 1994, lahan untuk panti dibeli dari warga. Pembangunan dimulai dua tahun kemudian, meski sempat tersendat akibat krisis moneter 1997-1998. Hingga akhirnya pada 2001, panti asuhan itu resmi berdiri dan menampung 15 anak pertama.
Dari situ, Darussalamah tumbuh perlahan. Tahun 2010 jumlah anak asuh mencapai 60 orang. Kini, setelah berganti status menjadi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), jumlahnya sekitar 19 anak, terdiri dari putra dan putri usia SD hingga SMA. Dalam beberapa tahun terakhir, Djarum Foundation juga memberi support kepada lembaga ini, baik itu berupa bantuan fasilitas maupun pelatihan bagi pengasuh.
Namun, perubahan nama ini bukan sekadar administratif. Umam menegaskan, LKSA bukan hanya tempat tinggal anak yatim. Ia menyebut Darussalamah sebagai “rumah pendidikan”.
“Kami ingin anak-anak tidak hanya diurus makannya, tapi juga disiapkan masa depannya,” katanya.
Oleh karena itu, sistem kurikulum di Darussalamah memadukan dua dunia: pola pesantren dan pendekatan sosial. Setiap pagi anak-anak bangun untuk mengaji, lalu berangkat sekolah. Sore hari mereka kembali belajar bersama. Malamnya, selepas isya, mereka membaca buku, berdiskusi, atau sekadar mengulang pelajaran.
“Kalau di pesantren belajar agama saja. Kalau di sini, ngaji iya, tapi pengetahuan umum juga jalan,” katanya sambil tersenyum.

Umam mengaku belajar banyak dari program bimbingan belajar bagi para pengasuh LKSA yang diselenggarakan Bakti Sosial Djarum Foundation (BSDF). Ia, secara intensif, memang mengikuti program tersebut. Hasilnya, adalah cara pandangan yang berbeda dalam melihat potensi dan karakter para asuh.
“Kurikulum Kehidupan”
Gambaran nyata dari hasil program bimbingan belajar BSDF, yakni Umam bisa merumuskan “kurikulum” ajar yang sesuai dengan anak asuhnya di LKSA Darussalamah. LKSA ini memang tidak memiliki kurikulum baku seperti sekolah. Namun, Umam selaku pengasuh menanamkan semangat yang sama: menemukan minat anak, lalu memfasilitasinya.
Ia kemudian mendefinisikannya sebagai “kurikulum kehidupan”.
“Yang saja pelajari dari pelatihan tersebut, pendamping itu fasilitator, bukan pengatur,” ujarnya. “Kami bantu mereka sesuai apa yang disukai.”
Jika ada anak yang gemar akademik, LKSA menyiapkan bimbingan belajar. Bagi yang tertarik pada keterampilan, mereka difasilitasi praktik kecantikan, tata boga, atau kerajinan. Salah satu contohnya Siti Hajar. Berkat ketekunan dan prestasi akademiknya, ia mendapatkan beasiswa dari Bakti Sosial Djarum Foundation (BSDF) untuk sekolah di jurusan kecantikan SMK PGRI 1 Kudus.
“Dia memang jadi contoh anak yang rajin,” cerita Umam. “Kami hanya memberi ruang dan dorongan.”

Pola sederhana itu membuahkan hasil. Anak-anak terbiasa belajar tanpa disuruh, saling membantu, bahkan membuat catatan belajar bersama di malam hari.
LKSA Darussalamah lebih dari sekadar panti
Perubahan semangat belajar di LKSA Darussalamah juga diakui oleh Farid Noor Romadlon, dosen FKIP Universitas Muria Kudus. Ia merupakan koordinator mentor dalam Kegiatan Bimbingan Belajar yang diselenggarakan oleh Bakti Sosial Djarum Foundation.
“Kalau boleh saya jelaskan,” kata Farid, “panti asuhan dan LKSA itu berbeda.”
Menurutnya, panti asuhan tradisional cenderung fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, seperti makan, tempat tinggal, dan biaya sekolah. Sementara LKSA punya misi lebih luas: mendampingi tumbuh kembang anak secara akademik, emosional, sosial, dan spiritual.
“Anak-anak tidak sekadar ‘tinggal’ di sini. Mereka dibimbing untuk mengenali potensi dan diarahkan agar mandiri.”

Farid menyebut pendekatan yang dipakai LKSA Darussalamah bersifat humanis dan individual. Setiap anak datang dengan latar belakang berbeda. Ada yang kehilangan orang tua, ada yang mengalami trauma, ada pula yang minder karena kemiskinan.
“Makanya, kami tidak bisa langsung memaksa mereka belajar. Yang utama itu membuat mereka merasa aman dan dicintai dulu.”
Dari situ, tumbuh kebiasaan kecil yang bermakna: anak-anak mulai belajar dengan kesadaran sendiri, membuat target, bahkan saling jadi tutor bagi teman-temannya.
“Yang dulu pasif, sekarang malah jadi penggerak,” ujarnya.
Hasilnya bukan hanya pada nilai rapor. Suasana belajar di LKSA kini jauh lebih hidup dari sebelumnya. Anak-anak mulai berani bermimpi: ada yang ingin kuliah di jurusan pendidikan, ada yang ingin bekerja di bidang tata rias, bahkan ada yang bercita-cita menjadi guru bahasa.
Farid mengaku, perubahan sikap ini justru jauh lebih berharga daripada angka nilai. “Sekarang mereka punya arah dan kepercayaan diri. Itu langkah awal menuju kemandirian.”

Julal Umam merasakan hal yang sama. Setiap kali melihat anak-anak asuhnya saling membantu belajar, ia merasa lega.
“Saya ingin mereka tumbuh jadi anak yang mandiri. Jangan sampai keluar dari sini malah jadi beban keluarga.”
Rumah kedua yang menumbuhkan harapan
Sore itu, azan maghrib berkumandang di tengah hujan yang mulai deras. Anak-anak asuh di LKSA Darussalamah pun berbondong-bondong untuk melaksanakan salat berjamaah. Di momen tersebut, Fachri masih sempat mengajari saya beberapa kata dalam Bahasa Jepang, yang katanya, berguna kalau nanti tiba-tiba saya punya rezeki liburan ke Negeri Sakura itu.
Bagi sebagian orang, panti asuhan sering dipandang sebagai tempat bagi anak-anak yang kehilangan rumah. Namun, bagi Fachri, Julal Umam, dan anak asuh LKSA Darussalamah lainnya, tempat ini justru menjadi rumah dalam arti yang paling sejati. Ia adalah tempat di mana anak-anak belajar menemukan arti keluarga, bukan sekadar tempat bernaung.
Di sana, mereka belajar arti tanggung jawab lewat hal-hal sederhana. Dan, menurut Umam, di tempat sederhana itu pula, mimpi-mimpi kecil dirawat dengan kesabaran. Setiap anak diajari untuk tidak takut bermimpi lebih tinggi.
“Mereka mungkin tak lahir dari keluarga berkecukupan, tapi di Darussalamah mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa masa depan bisa dibangun dari tekad,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sebuah Tempat di Tengah Pedesaan Pati yang Menempa Anak-anak “Tak Beruntung” Jadi Penghafal Al-Qur’an nan Melek Zaman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan















