Playlist atau lagu-lagu yang diputar di beberapa Bus Sumber Selamat jurusan Surabaya-Jogja memiliki pola yang cukup unik. Genre lagu yang kernet putar menyesuaikan jam/waktu di perjalanan.
Sederhananya, genre lagu yang diputar pada siang hari akan berbeda dengan genre lagu untuk sore dan malam harinya. Alhasil, lagu-lagu yang diputar sepanjang perjalanan Bus Sumber Selamat Surabaya-Jogja di titik tertentu terasa mengaduk-aduk perasaan.
***
Meski sudah menetap di Jogja sejak akhir Januari 2024, hingga saat ini saya masih terbilang sering riwa-riwi Jogja-Surabaya: menyegarkan pikiran, mencari ide tulisan, sembari bernostalgia saat bertemu beberapa teman lama. Bus Sumber Selamat selalu menjadi pilihan saya untuk menempuh perjalanan dengan waktu tempuh 10 jam tersebut.
Kata beberapa orang, Bus Sumber Selamat adalah bus paling brutal di jalur selatan. Saya sebenarnya agak ngeri. Tapi menimbang saya butuh cepat sampai ke Terminal Bungurasih, Surabaya, maka saya dengan sedikit menekan rasa takut lebih sering menggunakan bus berlogo lumba-lumba itu.
Pola unik lagu-lagu di Bus Sumber Selamat
Sebenarnya pada momen pulang-pergi Jogja-Surabaya pada Maret 2024 lalu, samar-samar kepala saya merekam pola unik dari lagu-lagu di Bus Sumber Selamat. Tapi saat itu saya cenderung mengabaikannya. Karena rasa-rasanya hanya kebetulan belaka.
Waktu itu, saat berangkat dari Terminal Giwangan, Jogja pada siang hari (sekitar pukul 13.00 WIB), lagu yang terdengar adalah dangdut koplo. Per pukul 15.00 WIB saya tak bisa memastikan genre lagu apa yang diputar, karena saya sudah amblas: tertidur.
Lalu saat memasuki pukul 19.00 WIB ke atas (hingga tiba di Terminal Bungurasih, Surabaya) suasana dalam bus menjadi kayak kelab malam: full DJ-an. Pola tersebut ternyata sama ketika saya balik dari Surabaya ke Jogja.
Akan tetapi, saat itu saya tidak bisa memastikan apakah Bus Sumber Selamat yang saya tumpangi dari Jogja ke Surabaya dan krunya sama persis dengan saat saya baru perjalanan dari Jogja ke Surabaya. Oleh karena itu, pada perjalanan Jogja-Surabaya edisi April 2024, saya memang berniat memastikan.
Pola unik di Bus Sumber Selamat terjadi tanpa sengaja
Berangkat dari Terminal Giwangan, Jogja, pada Jumat (19/4/2024), saya sengaja memotret beberapa bagian Bus Sumber Selamat yang hendak saya tumpangi. Dan tentu saja mengamati dengan seksama kru di dalamnya.
Beruntungnya, di Bus Sumber Selamat yang saya tumpangi itu, pola lagunya sama persis seperti pola lagu yang saya temui sebelumnya. Dalam perjalanan kali itu pula saya akhirnya tahu, kalau ternyata genre lagu yang diputar di waktu Asar hingga Magrib adalah lagu-lagu lawas nostalgia. Dari angkatan Nike Ardila, angkatan Iwan Fals dan Ebite G Ade hingga lagu-lagu dari band-band era Naff. Jadi kalau dipetakan kira-kira begini: siang dangdutan, sore nostalgia, malam DJ-an.
Dalam perjalanan balik dari Surabaya ke Jogja pada Minggunya (21/4/2024), pola seperti itu masih saya temukan. Tentu setelah saya bisa memastikan kalau Bus Sumber Selamat yang saya tumpangi dan krunya itu berbeda dengan bus yang saya naiki saat ke Surabaya sebelumnya.
“Wah, aku memang sering naik Bus Sumber Selamat bolak-balik Madiun-Jogja. Tapi aku nggak memperhatikan sampai segitu e,” ujar Gunawan (26), salah seorang penumpang di sebelah saya yang baru saja naik dari Terminal Madiun, Jawa Timur.
Beberapa waktu sebelumnya, para kru Bus Sumber Selamat masih istirahat untuk makan di Terminal Madiun, saya juga sempat bertanya random ke dua orang penumpang lain di belakang saya. Jawaban keduanya mirip dengan jawaban Gunawan. Mereka tak terlalu memperhatikan. Naik bus ya naik saja. Sesekali diselingi tidur atau scroll-scroll TikTok atau Instgaram.
“Itu ya kebetulan saja, Mas. Kebetulan saja Bus Sumber Selamat yang sampeyan tumpangi kok sama-sama muternya dengan pola seperti itu.” Sementara begitulah keterangan Wanto, sopir Bus Sumber Selamat saat saya ajak berbincang manakala bus memasuki Klaten sekitar pukul 21.00-an WIB.
Kebetulan kondisi bus sudah agak sepi sejak dari Terminal Tirtonadi, Solo. Saya lalu geser ke kursi depan untuk mengajak Wanto ngobrol-ngobrol ringan, di tengah alunan musik jedag-jedug (DJ) yang diputar cukup keras.
Mengaduk-aduk perasaan
Selebihnya, kernet Wanto lah yang meladeni pertanyaan yang saya lemparkan. Karena memang si kernetnya itu lah yang mengatur flow lagu-lagu di Bus Sumber Selamat yang Wanto sopiri itu.
Hanya saja, keasyikan ngobrol membuat saya luput menanyakan siapa namanya. Kernet Wanto di Bus Sumber Selamat yang ia sopiri itu lelaki kira-kira berumur tidak lebih dari 30 tahun, tapi juga tidak kurang dari 27 tahun.
Dari cara bicaranya yang saya perhatikan sejak di Terminal Bungurasih, Surabaya, ia bisa dibilang merupakan sosok yang humoris dan ceplas-ceplos. Begitu juga saat menjawab pertanyaan saya. Ia sering menjawab dengan selipan guyonan.
“Sebenarnya saya cuma nyocokin dengan suasana hati saya saja. Kalau siang, memang paling cocok dengerin dangdut koplo. Susana sore cocoknya memang denger lagu-lagu nostalgia. Nah kalau malam, jelas lebih masuk kalau DJ-an, ala diskotik-diskotik,” ujar kernet Bus Sumber Selamat tersebut.
“Kalau Bus Sumber Selamat lain ada yang polanya sama seperti itu lagu-lagunya, saya juga kurang tahu. Tapi apa jangan-jangan sampeyan naik bus yang kernetnya saya? Karena kalau saya yang kernet, pasti lagunya saya buat model begitu,” sambung si kernet itu.
Saya sudah memastikan bahwa Bus Sumber Selamat dan krunya yang saya tumpangi dari Jogja ke Surabaya berbeda sama sekali dengan yang saya tumpangi dari Surabaya ke Jogja hari itu. Agaknya benar kata Wanto, pola-pola yang saya temukan tersebut sedianya hanya kebetulan semata.
Terlepas dari itu, pola tersebut cukup mengaduk-aduk perasaan. Setidaknya untuk saya secara pribadi. Saat masuk Bus Sumber Selamat di siang hari, ada gairah yang bergejolak saat mendengarkan dangdut koplo.
Namun saat sore hari, hati saya berubah menjadi tersayat-sayat ketika mendengarkan lagu-lagu nostalgia. Bukan karena lirik atau musiknya yang menye-menye. Tapi lebih karena ada perasaan kangen untuk kembali ke masa lalu. Ada masa-masa yang memang saya selalu pengin tertinggal di sana. Terutama masa kanak-kanak.
Akan tetapi, musik DJ yang mengalun setelahnya langsung menyadarkan saya: di sinilah saya saat ini, di sebuah masa yang sebenarnya lebih sering saya rutuki ketimbang saya nikmati.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News