Kemacetan, bagaimanapun, adalah perkara yang menjengkelkan. Apalagi kemacetan sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar seperti Surabaya, Jawa Timur.
Jujur saja, saya termasuk salah satu orang yang sering kali merasa jengah dengan kemacetan di Surabaya. Terutama di titik-titik yang memang sering menjadi langganan kemacetan dan sering saya lewati, misalnya di simpamg Margorejo, Frontage Ahmad Yani, Bundaran Taman Pelangi, Bundaran Waru, atau yang tak kalah menjadi momok: Jalan Ketintang.
Terlebih di jam-jam Magrib, kemacetan di titik-titik tersebut benar-benar membuat saya merasa putus asa. Tak ada celah. Pergerakan sangat minim. Untuk motor saja sesulit itu, apalagi yang pakai mobil. Benar-benar sumpek sekali.
Namun ternyata ada orang yang justru sengaja memacu motor di jam-jam saat Surabaya sedang macet-macetnya. Alih-alih jengah, putus asa, atau bahkan emosi, orang ini malah merasa menikmati berada di tengah-tengah kemacetan Surabaya.
“Ambil contoh macet yang paling parah (tiap Magrib), di Frontage Ahmad Yani atau Bundaran Waru,” ujar Musa (25), orang yang saya maksud di atas. Dua titik kemacetan tersebut memang menjadi yang sering ia lewati setiap dari atau hendak ke Sidoarjo, Jawa Timur.
Hobi berkendara di tengah kemacetan Surabaya
Musa tiba-tiba mengirim foto suasana di tengah kemacetan Surabaya di jam-jam Magrib, Kamis (21/3/2024).
“Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa kemacetan di Surabaya itu menjengkelkan. Tapi kali ini biarkan aku bercerita dari sudut yang lebih manusiawi,” katanya. Saya tentu mempersilakan.
Saya dan Musa mulai cukup dekat dalam tiga tahun terakhir. Ketika saya masih di Surabaya, kami sering sekali nongkrong bareng, entah di Surabaya atau di Sidoarjo. Dan memang selalu ada cerita menarik dari sosok satu ini, selain satu teman saya yang lain, Rizquna.
Musa mengaku baru mulai menikmati kemacetan Surabaya ya baru tiga tahun terakhir ini. Sementara tahun-tahun sebelumnya, ia sama seperti saya dan kebanyakan orang lain di Surabaya: kesalnya minta ampun jika berhadapan dengan kemacetan kota ini.
Hanya saja, pengakuan kalau ia memang kerap kali sengaja berkendara di tengah-tengah kemacetan Surabaya memang baru saya dengar sekarang. Meskipun sebenarnya tanda-tandanya sebelumnya sudah cukup terlihat.
Karena misalnya kami ngopi di Wonocolo, Surabaya, persis ketika azan Magrib berkumandang, ia pasti bergegas pamit pulang ke Sidoarjo. Ini tentu aneh. Mengingat, teman kami yang lain yang juga dari Sidoarjo pasti memilih sekalian mengambil jam delapan atau sembilan malam untuk pulang.
“Alah sudah biasa, Jeh (sapaan khas Surabaya untuk mengganti “Mas”),” ujarnya tiap kali kami di tongkrongan mengingatkan kalau di waktu Magrib, jalanan ke Sidoarjo macetnya sangat tidak masuk akal. Lebih-lebih ia akan melewati dua titik macet yang “mengerikan”: Frontage Ahmad Yani dan Bundaran Waru.
Akan tetapi Musa bergeming. Ia tetap nekat menembus kemacetan tersebut meski sebenarnya pun ia tidak sedang buru-buru untuk satu urusan penting di Sidoarjo.
Kemacetan Surabaya melatih berempati
Ada satu momen yang membuat cara pandang Musa pada kemacetan Surabaya berubah. Yakni ketika ia berjejeran dengan seorang driver ojek online (ojol) di Frontage Ahmad Yani.
“Si ojol divideo call anaknya. Anaknya minta si ojol cepet pulang karena anaknya nitip apa gitu,” tutur Musa.
Sesaat setelah si ojol menutup video call dari sang anak, raut wajahnya menegang. Gestur tubuhnya menunjukkan keresahan. Sesekali juga terdengar berdecak kesal lantaran kendaraan di tengah kemacetan itu hanya bisa merayap sejengkal-sejengkal. Sementara ia harus segera sampai ke rumah demi sang anak.
Kemudian Musa mulai berlatih melihat kemacetan di Surabaya dengan lebih jernih. Cara pandang yang ia sendiri mempertanyakan, kenapa tak dari dulu ia pakai? Sementara sehari-hari kan sebenarnya ia bersinggungan dengan situasi tersebut.
Pada dasarnya polanya sama: orang-orang tengah terburu-buru agar lekas tiba di rumah masing-masing, dengan alasan masing-masing pula.
“Ada yang kesal, tapi ternyata tidak banyak. Sering kali yang aku lihat adalah mereka yang santai saja menghadapi kemacetan itu. Mereka kayak telaten banget menanti celah untuk berjalan,” kata Musa.
Mereka semua, lanjut musa, memilih telaten untuk meniti kemacetan Surabaya karena barang kali mereka butuh segera bertemu dengan anak istri di rumah. Entah untuk segera memberi bingkisan titipan dari rumah atau ingin segera mengobati lelahnya setelah seharian bekerja. Jadi memilih langsung menerjang macet alih-alih pakai cara seperti teman saya: menunggu jam-jam di mana intensitas kemacetan berangsur mereda.
“Aku merasa, ah rasa-rasanya egois sekali kalau aku kesal. Kesal dengan kemacetan Surabaya kan itu artinya kesal juga dengan mereka—pengendara-pengendara lain—yang berjubel di jalanan. Sedangka mereka loh cuma pengin pulang. Udah itu aja,” sambung Musa.
Apakah ada tata kota dari pemerintah kota yang perlu ia kritisi terkait kemacetan tersebut? Musa terus terang tak bisa menunjukkan sisi mana yang harus ia kritisi. Sebab, Musa hanya bicara dari kacamata yang lebih manusiawi.
Dalam benak Musa, jalanan Surabaya yang sudah dibuat sedemikian rupa nyatanya masih penuh sesak oleh pengendara. Yang Musa lihat: sebergantung itulah nasib banyak orang pada Surabaya.
Upaya Pemerintah Kota Surabaya
Pemkot Surabaya sendiri tak tinggal diam soal kemacetan Surabaya. Termasuk yang paling baru, sebagaimana melansir dari website resmi Pemkot Surabaya adalah wacana pembangunan underpass Taman Pelang untuk mengurai kemacetan di Kota Pahlawan.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menarget pembangunan underpass Taman Pelangi tersebut bisa terealisasi pada 2025 mendatang.
“Jadi (pengerjaan) ini tidak satu tahun, karena kita mengubah saluran dulu. Karena tidak di atas (overpass) tapi di bawah (underpass),” jelas Eri, Senin (4/3/2024) lalu.
“Jadi target pembebasan lahan dan menggeser saluran tahun ini, baru ngerong (membuat) underpass-nya,” sambungnya.
Melengkapi keterangan Eri, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kota Surabaya, Irvan Wahyudrajat menjelaskan, pembangunan proyek tersebut menjadi program prioritas yang diusulkan Pemkot ke Pemerintah Pusat. Termasuk pula JLLB (Jalan Lingkar Luar Barat) dan JLLT (Jalan Lingkar Luar Timur).
Program-program tersebut adalah upaya agar kemacetan Surabaya bisa teratasi. Sehingga, utamanya di jam-jam pulang kerja, tidak terjadi penumpukan kendaraan sedemikian parah, yang membuat waktu banyak orang habis di jalan. Padahal orang-orang tersebut harus lekas sampai di rumah
“Pemkot telah menganggarkan Rp80 (dari APBD) miliar untuk pembebasan lahan pembangunan underpass Taman Pelangi,” kata Irvan.
Tak sampai di situ, Pemkot juga berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait sejumlah proyek strategis lain yang bisa dibiayai oleh Pemerintah Pusat.
Dengan begitu, Irvan berharap, pembangunan underpass pengurai kemacetan tidak hanya berlaku untuk bundaran Taman Pelangi saja, tetapi juga beberapa titik vital lain seperti simpang Margorejo dan Wonokromo.
“Karena tiga titik ini satu kesatuan,” tegas Irvan.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.