Seorang guru pencak silat yang tergabung dalam perguruan silat Kera Sakti harus menanggung derita. Gara-gara PSHT kerap bentrok, ia jadi kena getahnya. Padahal ia sama sekali tak terlibat. Berkelahi pun belum pernah.
***
Belakangan perguruan silat makin diasosiasikan dengan pola-pola kekerasan. Baik kekerasan antarperguruan silat, kekerasan yang melibatkan sipil, bahkan yang terbaru aksi baku pukul berujung jatuh korban dari aparat.
Pada Senin (22/7/2024) kemarin, seorang anggota polisi dari Polsek Kaliwates Jember menderita luka serius seusai dikeroyok oknum pesilat PSHT. Cuma niat menegur rombongan konvoi, polisi tersebut malah berakhir bonyok.
Kabar tersebut secara cepat diterima Ferdi* (25), salah seorang guru silat dari Perguruan Silat Kera Sakti. Bahkan menurutnya, sebelum media-media memberitakan kekerasan yang melibatkan perguruan silat PSHT dengan polisi itu, ia sudah menerima beberapa potongan video dari seorang kawan di lokasi.
“Itu posisi jam dua lebih, saya masih njangongi mertua di rumah istri. Tiba-tiba ada WA masuk, teman-teman ngirim video di lokasi bentrokan,” kata Ferdi, saat dihubungi Mojok, Senin (29/7/2024).
“Jujur kaget. Tapi ya nggak yang gimana-gimana, karena seperti ini memang rawan bentrokan. Ini juga bukan pertama kali terjadi,” sambungnya.
Ferdi pun langsung menghubungi salah satu teman baiknya seorang PSHT yang ikut konvoi, untuk menanyakan kabar dan situasi terkini. Namun, baru sekitar pukul 6 pagi ia mendapatkan balasan.
“Jangan salah ya, kawan saya di PSHT banyak. Kami beda perguruan, tapi ya nek wayah ngopi ya ngopi, ngobrolin urusan kerjaan ya biasa. Tak ada masalah soal saya Kera Sakti dan dia PSHT.”
Tiap PSHT bikin onar selalu kena getahnya, meski “salah server”
Ferdi boleh dibilang sebagai pesilat yang antikekerasan. Setidaknya, itulah ilmu yang ia dapat selama bertahun-tahun belajar silat di Perguruan Silat IKSPI Kera Sakti.
Dari yang ia pelajari, inti dari pencak silat adalah bela diri. Dalam artian, membela diri dan orang lemah yang tertindas. Di dalamnya, juga dipelajari bagaimana menghargai sesama, menjunjung nilai sportivitas dan kemanusiaan, dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi.
“Bagi kami, tarung itu ya satu lawan satu. Sabung atau kompetisi sama aja, semua ada aturan,” jelas guru silat yang mengajar ekstrakulikuler di salah satu SMP di Jawa Tengah ini. “Keluar arena tarung, semua kembali salaman, nggak boleh ada dendam.”
Kendati antikekerasan, tiap kali ada bentrokan yang melibatkan perguruan silat lain, Ferdi selalu kena getahnya. Baik itu “penghakiman” dari para kerabatnya, maupun omongan-omongan yang sifatnya bercanda tapi tetap menyakiti hatinya.
“Kalau pada guyon itu biasanya kayak nanya, ‘kapan nih murid-muridmu tok ajak nyerang balik?’, ‘yang sana ada ramai-ramai masa kamu diam saja’. Ya begitulah, seolah-olah semua pesilat kudu ikut-ikutan gelut di jalanan,” kenangnya.
Saat terjadi bentrokan antara PSHT dan polisi baru-baru ini, bahkan bikin Ferdi “disidang” mertua dan keluarga besar sang istri.
“Maksudnya bukan disidang yang dihakimi ramai-ramai gitu. Lebih ke dinasehati buat menjauhi bentrokan-bentrokan kayak begitu,” ujarnya.
“Wajar sih, mungkin mereka khawatir secara profesi sampinganku sebagai guru silat. Ditambah aku statusnya juga masih pengantin baru, belum ada setahun nikah. Barangkali nggak mau suami anaknya kenapa-kenapa.”
Baca halaman selanjutnya…
Pesilat yang sudah melalang buana, tapi seumur hidup belum pernah berkelahi.