Didin bercerita, sebenarnya kebanyakan perantau dari kotanya memilih ke Jakarta untuk berjualan siomai. Namun, kakaknya coba merintis ide usaha lain di Jogja dan ternyata hasilnya lumayan.
Perantau dari Jawa Barat, menurutnya, jika memanfaatkan ide usaha jual gorengan ciri khasnya ada cireng atau aci digoreng. Selain itu, menu lainnya standar seperti penjual lain yakni bakwan, tempe, tahu, hingga ada tambahan molen untuk variasi.
Sehari omzetnya bisa 2 juta
Didin berjualan seharian. Buka sejak jam setengah enam pagi, jeda jam setengah dua belas, lalu mulai berjualan lagi sekitar jam setengah dua hingga menjelang magrib. Libur, paling hanya sehari dalam sepekan.
Didin, daritadi terus menggoreng tempe. Saya agak penasaran, berapa tempe yang habis terjual dalam sehari. Ia menjelaskan biasanya habis 20 batang panjang tempe plastikan. Jika dipotong, per batangnya bisa jadi hampir 50 potong tempe goreng.
“Pokoknya kalau omzet itu sehari ya rata-rata dua Mas. Dua juta. Kalau margin keuntungan, ya setengahnya, bisa kurang sedikit,” kata dia.
Keuntungan itu rata-rata di hari biasa. Jika sebulan saja, ia berjualan 25 hari, maka omzetnya bisa Rp50 juta. Tentu, dengan asumsi tidak ada penurunan penjualan drastis.
Selain itu, Didin biasanya meraup omzet lebih besar saat Ramadan. Katanya, bisa dua kali lipat penjualan dari bulan-bulan lainnya.
Tidak mengherankan memang, Survei Populix terhadap responden berusia 18-55 tahun di Indonesia pada 2022 silam, menunjukkan menu berbuka andalan masyarakat adalah gorengan. Kolak lalu nasi dan lauk pauk menyusul di peringkat kedua dan ketiga.
“Ide usaha jualan gorengan kelihatan sederhana, tapi kalau ditekuni ya lumayan. Gorengan ibarat makanan pokok ya di Indonesia, tiap pagi orang butuh buat sarapan,” ujarnya sambil tersenyum.
Meski hasilnya lumayan, Didin mengaku tidak ingin menetap di Jogja. Ia memilih pulang ke Majalengka setiap dua bulan sekali. Sementara di Jogja, ia tinggal di kontrakan bersama keluarganya.
Ide bisnis yang modalnya kecil dan sesuai kebutuhan pasar
Kegemaran masyarakat Indonesia terhadap gorengan memang membawa keuntungan tersendiri bagi pengusaha seperti Didin. Kegemaran ini memang terbentuk sudah cukup lama, latarbelakangnya pun cukup kompleks. Kebiasaan ini turut disokong faktor industri.
Melansir Historia, Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia menjelaskan teknik menggoreng dikenal masyarakat berkat adopsi dari orang Tionghoa. Bahkan, sampai jenis kuali dan penggorengan, awalnya berasal dari para pendatang dari Tiongkok.
Gorengan, kemudian semakin berkembang seiring kemunculan minyak kelapa. Melansir CNBC, titik awal perkembangan industri minyak adalah pada 1996 saat muncul izin merintis industri kelapa sawit bagi perusahaan swasta.
Pada 1968, pengusaha Eka Tjipta Widjaja kemudian memunculkan produk minyak goreng yang populer hingga saat ini yakni Bimoli. Sejumlah pemain besar kemudian muncul. Kelapa sawit berkembang jadi komoditas yang menjanjikan di Indonesia, baik untuk kebutuhan nasional maupun ekspor.
Selain itu, biaya untuk mengeksekusi ide usaha jualan gorengan tentunya relatif tidak terlalu tinggi. Tak perlu menyewa kios. Sebab, kebanyakan menjadi pedagang kaki lima.
Pedagang seperti Didin, Santo, dan perantau dari Indramayu dan daerah lainnya inilah, yang kemudian merasakan manisnya, pundi-pundi rupiah dari dunia goreng-menggoreng. Sebab, bagi sebagian masyarakat, rasanya tak lengkap jika dalam sajian makanannya sehari-hari tak terdapat satu jenis gorengan di piring.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
BACA JUGA Gorengan, Menu Buka Puasa Segala Kelas Sosial
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News