Warung kopi remang, sopir-sopir truk, dan keriuahan malam di jalan raya pantura sudah saya akrabi sejak kecil. Ibu saya adalah seorang penjual kopi pangku yang belakangan jadi obrolan karena film “Pangku” garapan Reza Rahadian. Orang-orang boleh menyebutnya “pekerjaan kotor dan tidak terhormat”. Tapi dari sana lah ibu bisa menyekolahkan saya.
***
Kopi pangku tersebar di sepanjang pantura, dari barat (Indramayu dan sekitarnya) hingga timur (Gresik dan seterusnya). Sementara saya tumbuh di tengah-tengah geliat kopi pangku di jalanan Rembang, Jawa Tengah. Orang-orang sini lebih sering menyebutnya “kopi pangkon”.
Saat ini kopi pangkon di jalanan pantura Rembang memang tak sebergeliat dulu. Walaupun masih ada warung-warung berdinding kayu reyot dan berlampu remang yang buka di antara debu-debu dan deru kendaraan yang melintasi pantura.
Warung ibu saya menjadi satu di antara warung-warung yang masih bertahan. Bedanya, kini ibu—yang sudah berumur 50-an—hanya menjual kopi, gorengan, dan makanan sekadarnya untuk para sopir truk yang ngaso. Tidak ada servis “pangkon” lagi sebagaimana masa-masa silam.
Dandanan menor ibu di jam 5 sore
Ibu sudah membuka warung kopi pangku sejak saya SD. Ia harus mencari nafkah seorang diri usai berpisah dengan bapak.
Awalanya ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Ia tak punya keterampilan lebih untuk bekerja. Di masa itu, Rembang juga belum kemasukan banyak industri seperti sekarang.
Akhirnya, ia mencoba membuka warung kopi pangku, mengikuti jejak seorang tetangga. Modalnya dari tanah simbah yang dijual.
Cerita yang saya dapat kemudian, tugas pelayan warung kopi pangku tidak sekadar menyeduh kopi. Tapi juga harus mau dipangku.
Bahkan, sering kali juga harus merelakan bagian-bagian tubuh tertentu dipegang-pegang oleh pelanggan—para sopir truk itu. Pantas saja, sejak kecil saya kerap melihat ibu berangkat dengan dandanan menor dan pakaian ketat. Setiap saya tanya mau ke mana, ibu selalu menjawab, “Ibu kerja dulu di warung.”
Ia akan mulai ke warung di jam lima sore. Lalu akan pulang selepas Subuh untuk mengurus rumah. Selama ia di warung, saya di rumah bersama simbah. Sejak ibu dan bapak berpisah, ibu memang tinggal ikut simbah, di sebuah rumah kecil berlantai tanah.
Bilik remang berkasur lusuh
Saya mulai tahu pekerjaan ibu ketika menginjak SMP. Saya pun tahu, kalau warung kopi pangku ternyata punya citra buruk bagi sebagian orang.
Misalnya, ketika perkenalan di kelas dan menyebut “penjaga warung” sebagai profesi ibu, seorang guru lantas mencecar penasaran.
“Warung apa?”
“Warung di pinggir jalan raya.”
“Oh ibumu buka kopi pangkon?”
Saya terdiam. Menunduk. Sementara ruang kelas dipenuhi dengung dan bisik-bisik dari teman-teman sekelas. Sebelum akhirnya si guru tadi mencoba mengalihkan topik.
Di Rembang, setiap menyebut nama “pangkon”, pikiran orang-orang akan langsung terbayang: dandan menor, dipegang-pegang, bahkan juga hubungan terlarang. Sebab, ada juga warung yang menyediakan bilik khusus di belakang warung. Blik itu berlampu remang, berkasur lusuh.
Bilik itu menjadi ruang pemuas nafsu para sopir truk. Harga yang dipasang si pelayan kopi pangkon juga murah-murahan belaka. Hingga saat ini, dari yang saya tahu, uang Rp50 ribu pun sudah bisa mendapat layanan plus tersebut.
Operasi polisi di malam Ramadan
Saya sempat malu dengan profesi ibu. Jujur saja.
Ketika SD, saya malu karena ibu tak pernah ikut dalam kegiatan ibu-ibu pada umumnya. Pengajian misalnya. Apalagi di malam Ramadan.
Ibu tak pernah ikut salat tarawih di langgar, kala hampir setiap orang—dewasa dan anak-anak—berbondong-bondong ke langgar. Ibu lebih memilih membuka warung.
Pernah suatu kali di masa SD—sejauh yang saya ingat—saya bertanya dengan ketus: “Ibu kok nggak pernah ikut tarawih?”
“Cah cilik ngerti opo (Bocah kecil tahu apa)?” Jawab ibu galak. Dan sejak itu saya tidak pernah berani bertanya lagi.
Tapi memang tidak setiap malam di bulan Ramadan ibu membuka warung. Baru saya tahu kemudian, ia sedang berupaya menghindari operasi Polisi dan Satpol PP. Karena di setiap malam Ramadan, hingga saat ini, petugas memang pasti gencar melakukan operasi di setiap warung remang-remang.
Berkelahi tiap ibu direndahkan karena buka warung kopi pangku
Sejak SD hingga SMP, ibu melarang saya ke warung. Dengan alasan apa pun. Walaupun saya akhirnya tahu apa sebenarnya profesi ibu.
Ini lah titik malu saya yang berikutnya. Saya terbilang bengal di kelas. Tak terhitung berapa kali saya terlibat perkelahian dengan siswa lain.
Biasanya dimulai dari cekcok kecil. Lalu berubah menjadi baku hantam kalau ada anak yang menyinggung profesi ibu dengan nada merendahkan: “Ibumu loh kopi pangkon, diremes-remes sopir.”
Beberapa kali BK mengirim surat agar ibu datang ke sekolah. Tapi surat itu tak pernah saya berikan pada ibu. Saya kelewat malu. Jika ibu datang ke sekolah, pasti siswa-siswa lain akan tambah mengolok-olok.
Karena kelewat malu itu, pernah suatu kali saya marah besar pada ibu. Menyebut pekerjaan ibu sebagai pekerjaan kotor dan memalukan.
“Kowe iki ngerti opo?” Hanya itu jawaban ibu. Dari wajahnya, saya masih ingat betul, terpancar rasa sedih dan marah bercampur aduk.
Tinggalkan dandanan menor
Ibu membuka warung kopi pangku setidaknya hingga saya kelas 2 SMK pada 2016. Sepanjang itu pula saya memendam setiap cara pandang buruk tentang “pangku” tersebut.
Sampai akhirnya ibu memutuskan berhenti. Mengubah konsep warungnya dan dirinya sendiri.
Ibu sudah tidak berdandan menor dan berbaju ketat lagi. Tapi berhijab dan berpakaian tertutup khas ibu-ibu Muslimat kampung. Ia sendiri bahkan yang meminta saya bantu-bantu di warung. Jadi kalau malam saya bantu jualan, biasanya sampai jam 12 malam. Lalu pagi sampai sore saya sekolah.
Pelanggan ibu tak berubah, kebanyakan dari sopir-sopir truk yang rehat dari perjalanan. Beberapa kali ada sopir yang bertanya, “Nggak ada pangkon, Bu?”. Ibu saya memohon maaf, menjelaskan kalau warungnya adalah warung kopi biasa. Si sopir hanya mengangguk, duduk, lalu memesan segelas kopi sembari mencomot beberapa potong gorengan.
Syukurnya, perubahan itu tidak banyak berpengaruh pada pemasukan ibu waktu itu. Warung ibu tetap jadi jujukan karena menawarkan harga murah.
Pertanyaan yang tak pernah sampai pada ibu tentang warung kopi pangku
Selepas lulus SMK, saya langsung bekerja berpindah-pindah. Sementara ibu masih membuka warungnya di pinggiran jalan pantura.
Ada satu pertanyaan yang mengganjal di benak saya seiring beranjak dewasa: “Apa yang ibu lakukan dulu ketika menjadi penjual kopi pangku di pinggiran jalan pantura?”
Tapi pertanyaan itu tak pernah bisa saya utarakan padanya. Meski saya tahu belaka, dari hasil menggali informasi sana-sini, bahwa aktivitas di kopi pangku lebih dari sekadar menyeduh kopi.
Tiap membayangkan ibu, kadang ada perasaan sesak yang aneh di dada. Namun, bersamaan dengan itu, juga muncul perasaan: Betapa dari pekerjaan yang dianggap kotor itu, ibu berupaya keras menghidupi dan menyekolahkan saya.
Liputan ini diolah dari hasil wawancara dengan Jaya (26), bukan nama sebenarnya, yang membagikan ingatan-ingatannya tentang sang ibu dan informasi masa kecil yang ia kumpulkan dari beberapa orang. Wawancara berlangsung pada Rabu (28/10/2025).
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Suara Ibu di Telepon Selalu bikin Tenang usai Hadapi Hal-hal Buruk dan Menyakitkan di Perantauan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












