Rumah berdinding kayu kian melapuk seiring waktu. Mulai reyot. Atapnya juga mulai bocor tiap hujan turun. Begitulah yang dialami oleh 15 warga dari dua desa di Temanggung, Jawa Tengah: Desa Bonjor, Kecamatan Tetep, dan Desa Glapansari, Kecamatan Parakan.
Selama puluhan tahun, rumah yang terus melapuk itu menjadi satu-satunya tempat berteduh. Tidak ada pilihan lain. Uang untuk makan sehari-hari saja tak menentu, apalagi untuk memperbaiki rumah.
Mengambil peran suami yang jatuh sakit
Rumah reyot Parmi (67) berada di salah satu sudut Dusun Santren, Glapansari, Temanggung. Wajar saja jika rumah tersebut makin reyot. Sudah 51 tahun rumah tersebut tidak tersentuh perbaikan. Dulu, dia tinggal di rumah itu bersama suami dan tiga orang anaknya.
“Sekarang tinggal berdua dengan suami, karena anak-anak sudah berkeluarga masing-masing,” ungkap Parmi yang menyambut hangat saya saat mengunjungi rumahnya pada Rabu (30/7/2025) siang.

Parmi bercerita, dulu suaminya bekerja sebagai petani tembakau. Mengolah lahan kecil miliknya. Parmi biasanya hanya bantu-bantu.
Namun, sejak satu tahun lalu, sang suami jatuh sakit. Stroke membuat suaminya tidak bisa beraktivitas normal lagi: hanya bisa membaringkan tubuh di kasur lusuh kamarnya.
“Sejak itu saya yang ngurus lahan tembakaunya. Berangkat jam 8 pagi, pulang jam 11 siang. Tapi ya cukup nggak cukup hasilnya,” kata Parmi.
Pemasukan Parmi dalam sehari seringnya sebesar Rp50 ribu. Hanya kalau harga tembakau sedang bagus, dia bisa mendapat Rp60 ribu-Rp70 ribu. Sayangnya, dua angka terakhir itu tidak bisa dia dapat dengan begitu sering. Alhasil, dari Rp50 ribu itulah Parmi dan suaminya harus bertahan hidup. Sementara kini, selain untuk makan, dia juga harus memikirkan pengobatan sang suami.
Tak berani membayangkan punya rumah bagus
Membayangkan saja tidak berani. Begitu kata Parmi saat ditanya apakah dia pernah memimpikan memiliki sebuah rumah yang lebih bagus, aman, dan nyaman.
“Uangnya nggak ada kok,” tutur Parmi dengan tawa. Sehingga bayangan untuk memperbaiki rumah sudah tidak terlintas di benaknya.
Dia pun menyadari tidak mungkin meminta bantuan ketiga anaknya. Sebab, mereka sudah harus mengurus keluarga masing-masing. Maka, sepanjang rumah reyot tersebut masih berdiri, meskipun bocor dan cenderung kumuh, di situlah dia akan terus bernaung.
Upah jadi buruh tembakau di Temanggung untuk sekolahkan anak
Kondisi serupa juga terlihat di rumah Sudiharjo (70), juga warga Desa Glapansari, Temanggung. Rumahnya masih beralas tanah, dinding kayu yang sudah reyot, dan atap yang sebagian besar sudah hancur sehingga tak kuasa menahan rintik hujan: bocor di mana-mana.
Rumah tersebut sudah Sudiharjo tinggali selama 30 tahun. Tanpa pernah bisa dia perbaiki.
“Saya sehari-hari buruh tani. Paling upahnya Rp50 ribu-Rp70 ribu,” ungkap Sudiharjo. “Uang segitu tidak akan cukup untuk memperbaiki rumah.”
Apalagi, Sudiharjo masih punya tanggungan satu istri dan seorang anak angkat yang saat ini masih kelas 3 SD.
Sudiharjo bercerita, sebenarnya dia dan istrinya tidak dikaruniai anak. Akan tetapi, di usia senja mereka, mereka harus merawat anak dari saudaranya yang meninggal: bocah kelas 3 SD tersebut.
“Jadi uang hasil jadi buruh saya gunakan untuk menyekolahkan anak. Sisanya untuk makan sehari-hari,” terangnya.
Haru “tiba-tiba” rumahnya jadi baru
Kini, Parmi dan Sudiharjo merasa hidup lebih baik. Setidaknya, dari tiga aspek—sandang, pangan, dan papan—mereka kini memiliki papan (tempat tinggal) yang layak. Mengingat, urusan tempat tinggal memang membutuhkan biaya yang tidak kecil.
Parmi mengaku kaget saat mendapat pemberitahuan bahwa rumahnya termasuk salah satu rumah di Temanggung yang bakal mendapat bantuan perbaikan. Dan tentu saja ada perasaan haru sekaligus tak terperi.
Siang saat berbincang di halaman rumahnya itu, tak terhitung Parmi berkali-kali mengucapkan rasa syukurnya pada Allah Swt, sambil meletakkan kedua telapak tangannya di dada: sebagai tanda syukur yang mendalam.

“Dulu itu saya kalau nyuci piring, nyuci baju, itu di sungai belakang rumah, Mas. Sekarang dibangunkan kamar mandi yang bersih, ada tempat cuci piringnya juga (wastafel),” beber Parmi.
“Dulu tidak bisa gelesotan karena lantainya tanah. Sekarang bisa karena keramik. Pokoknya alhamdulillah sekarang rumahnya nyaman,” sambungnya.

Siduharjo pun sama halnya. Saking tak percayanya dia kalau rumahnya kini menjadi baru, lebih bersih dan lebih nyaman, dia masih tampak terbengong-bengong saat menghadiri acara penyerahan simbolis bantuan rumah sederhana layak huni (RSLH) oleh PT Djarum di Gedung Sasana Gita, Parakan, Temanggung, Rabu (30/7/2025) pagi WIB.
Keduanya tentu tak luput menghaturkan terima kasih mendalam sekaligus melangitkan doa-doa baik terhadap PT Djarum, karena uluran tangan berupa RSLH itu membuat keduanya mendapat sesuatu yang sebelumnya membayangkannya saja tidak berani.

Rp900 juta untuk bantuan RSLH di Temanggung
Sebagai informasi, bantuan RSLH ini merupakan lanjutan dari program PT Djarum dalam upaya membantu pemerintah mempercepat pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah.
General Manager Community Development PT Djarum, Achmad Budiharto menjelaskan, program RSLH sebenarnya sudah berlangsung sejak 2022. Hingga saat ini, ada sebanyak 360 lebih RTLH di Jawa Tengah yang mendapat bantuan perbaikan oleh PT Djarum. Targetnya hingga akhir 2025 nanti total ada 600 lebih RTLH di Jawa Tengah yang mendapat bantuan.

“Rumah yang direnovasi akan mengacu pada tiga aspek dasar, yakni aman, nyaman, dan Karena kami ingin setiap yang tinggal di rumah tersebut merasa aman. Salah satunya dengan pondasi dan bangunan yang kuat, nyaman dan sehat dengan pengaturan sirkulasi udara, pencahayaan dan sanitasi yang baik,” papar Budiharto dalam acara penyerahan bantuan seara simbolis tersebut.
Untuk bantuan RSLH di Temanggung ini, PT Djarum menggelontorkan biaya total sebesar Rp900 juta. Masing-masing rumah menerima Rp60 juta, sehingga penerima manfaat tidak perlu mengeluarkan biaya sama sekali.
Khusus untuk Temanggung, Budiharto memastikan, dari total target realisasi 600 RSLH di Jawa Tengah, Temanggung akan mendapat tambahan sebanyak 25 unit RSLH lagi. Kabar itu pun disambut dengan riuh gembira oleh masyarakat Temanggung.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pasangan Sepuh di Sudut Kota Semarang: Dari Tinggal di Rumah Tak Layak hingga Uluran Tangan yang Menenteramkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












