Habis Rp20 juta, tapi gagal kerja di Korea
Sebelum dipastikan bisa kerja di Jepang, Rio sempat mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk kerja di Korea Selatan di Solo. Waktu itu dia habiskan uang Rp20 juta untuk biaya pendidikan, pelatihan, dan ujian. Sayangnya, dia tak lolos.
Niat hati ingin mencoba lagi, tapi orangtuanya bilang sudah tidak sanggup membiayai. Maka, Rio pun pulang kembali ke Rembang. Kembali melaut.
“Memang, Mas, bahasa Korea kuakui jauh lebih sulit ketimbang bahasa Jepang. Temen-temenku waktu itu juga banyak yang nggak lolos ke Korea,” ungkap Rio.
Iming-iming kerja di Jepang dengan gaji besar
Selama di rumah, seorang temannya yang sudah lebih dulu kerja di Jepang memberi informasi perihal penyalur tenaga kerja ke Jepang di Solo. Harapannya, agar Rio mau mencobanya sehingga bisa menyusul kerja di Jepang.
Rio jelas saja tertarik. Apalagi temannya tersebut menceritakan betapa enaknya kehidupan di Jepang. Terutama dalam konteks pekerjaan: tak perlu ijazah tinggi-tinggi, kerja kasar sudah dapat gaji besar. Gaji yang tak mungkin diterima saat menjadi pekerja kasar di Indonesia.
“Aku sudah nggak berani bilang ke orangtua. Karena mereka nggak mungkin ada biaya. Aku cuma curhat ke kakakku. Eh kakakku mau membiayai. Pokoknya aku jangan bilang-bilang dulu kalau mau coba pendidikan lagi. Kata kakak, aku baru boleh bilang kalau sudah bener-bener lolos,” ungkap Rio.
Dan itu lah tujuannya pulang kali itu. Dia sudah dipastikan lolos. Maka sisanya dia tinggal berpamitan dengan orangtuanya di rumah.
“Jadi selama enam bulan ini, ya aku bilang ke orangtua kerja pabrik,” kata Rio.
Habiskan Rp40 juta untuk jadi tukang pasang genteng
Rp40 juta habis Rio gelontorkan untuk biaya pendidikan, tes, dan atribut pemberangkatan kerja di Jepang (termasuk urusan visa, paspor, dan perintilan-perintilannya). Semua dibiayai oleh sang kakak.
“Aku dapat job di Tokyo. Nanti jadi tukang pasang genteng,” terang Rio.
Kata Rio, di Jepang banyak sektor informal yang membuka peluang kerja bagi lulusan-lulusan SMK sepertinya. Katanya, untuk keberangkatan awal Februari 2025 ini, di angkatannya ada 250 orang. 150 di antaranya adalah perempuan.
“Job yang banyak diincar perempuan itu ngecat, pabrik, penjaga toko, dan yang berhubungan dengan kuliner (restoran dan sejenisnya),” beber Rio.
Pekerjaan yang mereka dapat memang terdengar seperti pekerjaan kelas bawah. Namun, kata Rio, gaji yang diberikan tidak main-main. Jadi tukang ngecat di Jepang gajinya jelas berkali-kali lipat lebih besar ketimbang jadi tukang ngecat (misalnya) di Rembang.
Rio tak menyebut gamblang nominal gaji yang ditawarkan kepadanya. Namun, yang jelas, dari pengalaman temannya yang sudah lebih dulu kerja di Jepang, uang Rp40 juta yang sudah dikeluarkan sebelumnya bisa balik modal dalam kurun tiga bulan saja jika sudah menerima gaji di Jepang.
“Semoga semua lancar nanti,” gumam Rio. “Cuma belum tahu nanti bakal cocok apa nggak dengan makanan Jepang.”
Rio lantas menunjukkan ponselnya. Dia menunjukkan saya bagaimana dia sudah cukup mahir menulis huruf-huruf Jepang. Dia juga sedikit-sedikit mempraktikkan pelafalan bahasa Jepang-ya pada saya.
“Aku juga belajar dari anime. Itu membantu banget buat memperlancar bahasaku,” katanya.
Indonesia: negara dengan tingkat pengangguran usia muda tertinggi ASEAN
Bima Yudhistira, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) memaparkan, ada beberapa faktor kenapa orang seperti Rio rela keluar modal Rp40 juta demi bisa kerja di Jepang.
Pertama, sulitnya cari kerja di dalam negeri sendiri.
“Indonesia adalah negara dengan tingkat pengangguran usia muda tertinggi di ASEAN. Tembus 13,1%, sementara Malaysia 11,7% dan Vietnam 6,4%,” papar Bima saat saya hubungi, Senin (10/2/2025).
Terlebih, kedua, gap antara lulusan vokasi, SMK, dan perguruan tinggi dengan lapangan kerja formal di Indonesia makin lebar. Sekarang industri padat karya di mana-mana melakukan PHK. Sementara yang berkembang adalah gig economy tanpa kepastian upah.
Kemudian, ketiga, banyak biaya siluman di Indonesia untuk cari pekerjaan. Misalnya kasus suap menyuap rekrutmen karyawan pabrik atau perusahaan. Uang suapnya pun tidak kecil.
Nah, bagi pencari kerja seperti Rio, daripada modal besar digelontorkan demi dapat kerja di Indonesia yang belum karuan tiga bulan balik modal, maka lebih baik sekalian uangnya untuk buat visa, ikut pelatihan kerja, dan biaya penyalur ke Jepang.
“Jepang membuka kesempatan luas untuk pekerjaan di bidang manufaktur sampai jasa perawatan lansia (care economy) karena aging population. Bahkan pemerintah Jepang sendiri yang agresif menjalin kerjasama dengan BLK (Balai Latihan Kerja) dan akademi keperawatan di Indonesia,” terang Bima. Alhasil, wajar saja jika banyak orang Indonesia mengejar kesempatan kerja di Negeri Samurai Biru tersebut.
Mengutip CNBC, warga negara Indonesia yang kerja di Jepang tahun ini melonjak naik hingga 56% dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlahnya mencapai 121.504 orang dan diprediksi akan terus meningkat seiring dengan makin sulitanya cari hidup di Indonesia sekaligus seiring Jepang yang mengalami krisis kependudukan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Skripsi Dianggap Jelek hingga Dilempar Dosen saat Kuliah, Kini Justru Jadi Direktur di Perusahaan Jepang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












