Guru PPPK merasa sudah bisa mandiri secara finansial
Pakar Ekonomi UM Surabaya, Arin Setyowati mengungkap ketimpangan gaji dari para guru perempuan ini memang bisa menjadi faktor mereka meminta izin cerai. Sebab, pekerja di sektor informal cenderung berpenghasilan lebih rendah, jika dibandingkan istri mereka yang baru diangkat sebagai PPPK.
“Sebelum diangkat menjadi PPPK, banyak guru perempuan ini adalah tenaga honorer dengan penghasilan minim. Kini, setelah pendapatan meningkat hingga Rp2,5 sampai Rp4,5 juta per bulan dengan status kerja lebih stabil. Mereka punya posisi tawar baru termasuk dalam pernikahan,” ujar Arin Kamis (24/7/25), dikutip dari laman resmi UM Surabaya.
Pada akhirnya, kata Arin, guru perempuan yang baru diangkat sebagai PPPK merasa ada kemandirian finansial yang akhirnya mereka peroleh. Sayangnya, peningkatan status finansial tersebut tidak diiringi dengan relasi keluarga yang bagus.
Terjadi ketimpangan antara istri dan suami yang memicu ketegangan dalam hubungan mereka. Terutama saat istri juga harus menanggung beban ganda, yakni mencari nafkah sekaligus mengelola rumah tangga.
“Profesi guru itu menuntut energi besar mengajar, menyusun administrasi, tugas tambahan di luar kelas. Jika di rumah juga tidak mendapat dukungan atau pembagian peran yang adil, kelelahan fisik dan mental bisa berujung konflik,” tambah Arin.
Ketimpangan dalam relasi rumah tangga guru PPPK
Namun, Arin menegaskan peningkatan penghasilan bukanlah masalah utama perceraian. Bisa jadi banyak faktor-faktor lain yang melatarbelakanginya. Uang, kata dia, bukanlah biang konflik tapi masih banyak katalis yang memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan dalam relasi antara suami dan istri.
“Bukan soal istri yang lupa diri setelah mapan, tapi karena relasi rumah tangga gagal beradaptasi dengan perubahan ekonomi,” kata Arin.
Ia mengimbau agar masyarakat tidak buru-buru menyalahkan keputusan seseorang. Dalam hal ini, guru perempuan yang meminta izin cerai. Masyarakat harus memahami bahwa ada ketidaksetaraan peran, beban ganda, dan komunikasi yang buruk dalam rumah tangga.
Arin juga mendorong pemerintah daerah dan institusi pendidikan untuk tidak tinggal diam. Ia menyarankan adanya program konseling pranikah dan pascanikah khusus ASN/PPPK, pelatihan manajemen keuangan keluarga, hingga penguatan nilai-nilai keluarga sakinah.
Sementara itu, Kabid Pengelolaan SD Disdik Kabupaten Blitar, Deni Setiawan berharap permasalahan keluarga yang dihadapi oleh para guru tak menurunkan kualitas kerja mereka. Sebab, keluarga seharusnya bisa menjadi support system terdepan dalam karier mereka. Ia berharap para guru dapat bekerja dengan nyaman sehingga proses belajar siswa berjalan lancar.
“Jangan sampai merasa glamor dan melupakan keluarga terdekat,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Nestapa Para Guru yang Nyaris Menyerah Daftar CPNS, Kesejahteraan Makin Jauh dari Harapan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












