Sejak bus Sugeng Rahayu ekonomi jurusan Surabaya-Jogja yang saya tumpangi memasuki Sragen, Jawa Tengah, rasa kantuk memang sudah tak bisa saya tahan lagi: saya tertidur. Saya bangun ketika bus baru saja mengangkut penumpang dari Terminal Kertonegoro, Ngawi, Jawa Timur.
Perjalanan ke Surabaya masih sangat jauh. Saya sebenarnya ingin menghabiskan waktu di bus Sugeng Rahayu dengan tidur sepulas-pulasnya. Agar tahu-tahu pas bangun sudah sampai tujuan. Sayangnya, dalam setiap perjalanan menggunakan bus, saya biasanya hanya bisa tidur sekali saja. Setelah itu pasti melek sepanjang jalan.
Tapi kondisi seperti itu di satu sisi sangat menyenangkan. Karena dengan terjaga, ada banyak hal yang terekam dalam ingatan. Seperti misalnya obrolan saya dengan seorang pengamen di bus Sugeng Rahayu saat perjalanan dari Jogja ke Surabaya pada Jumat, (9/2/2024) lalu itu, ketika bus masih melaju di Ngawi.
Pengamen Ngawi yang suka nyanyikan lagu “Ibu”
Nur Rohman (29), atau yang akrab dengan panggilan Nur, naik setelah bus melaju belum jauh meninggalkan Terminal Kertonogoro, Ngawi. Ia tampak seperti pengamen-pengamen di jalur selatan pada umumnya: ceria.
Namun, di balik wajah cerianya, Nur ternyata menyimpan kesenduan yang ia simpan sendiri. Kesenduan yang coba ia haturkan lewat lagu-lagu yang ia bawakan.
Setelah coba saya simak baik-baik, dengan rasa kantuk yang sudah hilang, sore itu Nur membawakan tiga lagu bertema ibu. Saya lupa judul dua lagu yang ia bawakan. Tapi untuk satu lagu, siapapun pasti tak asing: lagi “Ibu”-nya Iwan Fals.
Untuk lagu yang terakhir itu ia nyanyikan dengan nada sangat emosional. Susah payah ia tetap menjaga suara dan alunan kentrungnya agar tetap stabil meski bus goyang kanan-goyang kiri menyalip kendaraan-kendaraan di depannya di sepanjang jalanan Ngawi.
Meski sambil terhuyung-huyung, tak membuat Nur menghentikan petikan kentrung dan pekik suaranya. Saya terkesiap melihat pemandangan tersebut. Saya memang agak sentimentil jika mendapat pemandangan-pemandangan semacam itu, entah di bus atau di manapun.
Kangen ibu, lama tak bertemu
Sambil terhuyung-huyung pula Nur menyodorkan bungkus permen dari satu kursi ke kursi penumpang yang lain: memohon recehan. Barangkali karena banyak yang tersentuh dengan lagu “Ibu”, tampak banyak yang memasukkan recehan ke bungkus permen yang Nur sodorkan.
“Kricik, kricik, kricik,” dari kursi-kursi, demikian bunyi yang terdengar samar di tengah laju bus yang makin kencang.
“Oh nggeh, matur suwun (Oh iya, terima kasih),” begitu kata Nur setiap menerima recehan-recehan dari penumpang.
Karena bus Sugeng Rahayu masih melaju kencang, Nur terlihat mengambil duduk di kursi belakang. Saya tentu tak mau kehilangan kesempatan untuk berbincang dengannya. Saya lalu berpindah ke kursi belakang, menjejeri Nur.
“Ya obat kangen ibu, Mas,” jawab Nur saat saya tanya perihal lagu bertema ibu yang ia bawakan sejak naik dari Terminal Kertonegoro, Ngawi, sebelumnya. Ternyata, bukan hanya sekali itu saja ia membawakan lagu bertema ibu. Teramat sering ia membawakan setiap ngamen dari satu bus ke bus lain.
“Ibu di Jombang. Aku kan asli Jombang. Tapi ya aku sudah nggak bisa pulang,” tutur Nur.
Baca halaman selanjutnya…
Dicoret dari KK hingga jadi gelandangan di Ngawi