Puluhan santri di Pondok Pesantren Tuli-Tunarungu Jamhariyah, Sleman, Yogyakarta mengaji dalam suasana sunyi. Mereka hanya menggerakkan jari jemarinya di atas halaman Al-Qur’an. Satu persatu ayat mereka baca dengan gerakkan tangan. Metode mengaji itu biasa disebut Arabic Sign Language (ASL).
***
Tak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya, Pondok Pesantren Tuli Jamhariyah yang terletak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) turut memulai harinya dengan bangun sebelum subuh selama bulan suci Ramadan. Sekitar pukul 03.00 WIB, mereka bangun untuk sahur bersama.
Selanjutnya, mereka menambah amalan seperti mengaji dan tahajud. Beberapa anak akan menyetorkan hafalan mereka kepada pengajar di pondok, lantas melanjutkan pelajaran ilmu-ilmu formal seperti IPA dan IPS.
Sepintas, kegiatan itu biasa dilakukan oleh orang muslim. Namun, bagi penyandang disabilitas tuli mengaji bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ada kesulitan tersendiri saat mereka membaca huruf-huruf hijaiyah maupun melaksanakan salat.
“Bagi mereka mengaji tidak sesederhana seperti yang dilakukan oleh santri biasa,” kata Pendiri Pondok Pesantren Tuli Jamhariyah Randy Pranarelza (32) saat ditemui Mojok di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Jumat (31/1/2025).
Randy bahkan rela berkeliling ke Asia untuk mencari metode mengaji yang tepat bagi anak-anak tuli. Hingga akhirnya ia menemukan metode Arabic Sign Language (ASL) yang ia pelajari dari negara Malaysia.
Menghafal huruf hijaiyah di Pondok Tuli, Sleman
Randy mengungkapkan pelajaran mengaji untuk santri tuli terbilang lebih sulit. Namun, pembelajarannya tak jauh berbeda dengan mengajari anak-anak non-disabilitas. Pertama-tama, mereka harus menghafalkan huruf-huruf hijaiyah tanpa harakat.
“Kami tunjukkan huruf alif itu gambarnya seperti ini dan tanda isyaratnya dengan tangan seperti ini,” kata Randy sembari menggerakkan jari-jari tangannya.

Lalu, para pengajar menyuruh mereka mempraktikannya berkali-kali hingga hafal. Gerakkan isyarat itulah yang disetorkan kepada guru mengaji mereka. Jika sudah hafal huruf per huruf mereka bisa lanjut mengaji dari Iqra 1 sampai 6.
Layaknya orang muslim seperti biasa, jika lulus Iqra mereka bisa meneruskan ke bacaan Al-Qur’an. Salah satu santri bahkan sudah bisa menghafal satu juz dalam waktu enam bulan.
Hanya saja, santri di Pondok Pesantren Tuli Jamhariyah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak dipaksa belajar mengaji menggunakan harakat. Jika pun ada orang-orang tuli yang menggunakan verbal, biasanya mereka sudah mengikuti terapi wicara.
Randy sendiri masih sulit menemukan jasa terapi wicara. Kalaupun ada, biayanya tidak sedikit dan lebih lama dari segi pembelajaran. Belum lagi, lokasinya kurang terjangkau.
“Karena bagi mereka, untuk membunyikan ‘a, i, u,’ itu tidak perlu penting. Mayoritas mereka berisyarat bukan verbal,” ujar Randy.
“Walaupun ada juga metode dari Kementerian Agama yang menggunakan harakat untuk isyarat, kami juga pelajari tapi tidak terlalu membebankan mereka,” lanjutnya.
Belajar salat di Pondok Tuli, Sleman
Selain mengaji, Randy dan pengajar di Pondok Pesantren Tuli Jamhariyah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga mengajari para santri salat. Santri yang sudah hafal bacaan salat bisa menghafalnya dalam hati dengan membayangkan huruf-huruf hijaiyah di pikirannya.
Waktunya salatnya pun biasanya lebih lama, karena metode membaca mereka.
Jika, orang non-disabilitas bisa mengucapkan bis-mil-lah atau tiga suku kata, teman-teman tuli harus membayangkan huruf hijaiyah ba, sin, mim, alif, lam, lam, ha. Oleh karena itu, salat mereka bisa lembih lama.
“Ketika teman-teman non-disabilitas menghabiskan waktu salat 2 rakaat selama 2 menit, teman-teman tuli bisa menghabiskan waktu 10 menit,” ujarnya.

Meski mengajarkan mengaji dan salat, Randy dan beberapa pengajar di Pondok Pesantren Tuli Jamhariyah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak mewajibkan para santrinya menghafal Al-Qur’an dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan.
“Karena ya itu tadi, tingkat kesulitannya sudah berbeda. Dan setiap anak punya kemampuan yang nggak sama. Jadi kami tidak terlalu membebankan,” ucapnya.
Hukum mengaji dan salat untuk penyandang disabilitas
Menurut Buya Yahya, syarat umum orang disebut sebagai mukallaf atau orang yang telah mendapat kewajiban oleh Allah untuk beribadah adalah orang akil balik. Yakni, orang yang waras akalnya dan bisa menerima syiar melalui indera seperti telinga, mata, dan mulut.
Maka dari itu, orang dengan gangguan jiwa tidak punya kewajiban atau larangan yang diberlakukan oleh Allah SWT, termasuk anak kecil atau orang belum akil balig, orang yang belum mendapatkan pesan dakwah, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam hal pendengaran dan penglihatan.
“Di saat dia buta dan tuli, dia selamanya tidak akan menjadi mukalaf karena buta tidak bisa menerima pesan isyarat, tuli tidak bisa mendengar pesan yang disuarakan,” kata Buya Yahya dikutip di Youtube Al-Bahjah TV, Jumat (7/3/2025).
Dengan begitu, jika tuli, bisunya sejak lahir, atau sebelum akil balig, maka tidak dikenai dosa. Sementara jika mengalami ketulian atau kebisuan setelah akil balig, maka wajib mengamalkan apa yang sudah diketahuinya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Perjalanan Keliling Asia untuk Belajar Bahasa Isyarat demi Ajari Ngaji Anak-anak Tuli di Sleman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.