Baru satu tahun tinggal di Jogja, Prayoga (23) mengaku kagok dengan sikap para pengendara motor atau mobil daerah sini—terutama plat AB. Mengendarai motor lawas ber-plat L (Surabaya), Prayoga teramat sering mengalami insiden dengan kendaraan plat AB. Entah menabrak, ditabrak, atau sekadar serempetan.
Nah, penyikapan orang-orang asli Jogja pasca insiden itulah yang membuat Prayoga agak kaget. Tak seperti apa yang kerap dia alami kala bersinggungan dengan kendaraan-kendaraan plat L, M, dan lain-lain yang memenuhi jalanan Surabaya.
Nyaris dipukul, dicaci maki, hingga KTP difoto
Menjadi kurir makanan di Surabaya hawanya memang agak kemrungsung. Apalagi kalau mendapat pesanan di jam-jam rawan macet.
Situasi seperti itu membuat Prayoga kerap kali berkendara dengan grasak-grusuk. Pasalnya, kalau pesanan telat diantar, bukannya tip, pasti makian dan bintang 1 yang dia dapat. Merusak reputasinya sebagai kurir makanan.
Tak pelak, insiden “tabrakan” teramat sering terjadi pada Prayoga, dengan motor lawas plat L-nya. Seperti pada suatu ketika, karena tergopoh, Prayoga menyerempet sebuah mobil plat L.
Pemilik mobil berteriak meminta Prayoga menepi. “Jancuk” dan rentetan umpatan lantas memberondong Prayoga yang hanya bisa diam dengan kaki gemetar.
“Kerahku ditarik. Nyaris dipukul. Terus dituntut ganti rugi. Ya saya bilang saya mau ganti rugi. KTP-ku difoto buat jaminan kalau aku lari dari tanggung jawab. Ancamannya ngeri, dilaporkan polisi,” ujar Prayoga saat bersua saya di pertengahan September 2025 lalu.
“Kesalahan kecil” bisa memancing keributan
Beberapa kali Prayoga juga mengalami hal serupa. Jangankan menabrak atau menyerempet, wong jelas-jelas dia jadi korban saja kerap kena sasaran amuk pengendara plat L atau plat M yang nabrak kok.
Kalau kata Prayoga, kesalahan kecil saja di Surabaya bisa jadi memicu keributan serius.
Misalnya, Prayoga kerap nyaris kebablasan: Lampu merah sudah menyala, tapi motornya malah digas kenceng. Alhasil, dia harus ngerem mendadak karena kendaraan dari arah lain mulai melaju.
Pernah juga, perkaranya nyaris tabrakan karena tiba-tiba kendaraan di depannya belok ke lain arah mendadak. “Itu bisa memicu keributan, loh. Pasti langsung jancuk atau asu yang keluar dari mulut pengendara lain,” kata Prayoga.
Pertama kali plat L hadapi plat AB: kok ada yang aneh
Pengalaman-pengalam buruk di Surabaya itu ternyata terbawa di batin Prayoga sampai dia merantau ke Jogja pada 2024 lalu.
Prayoga menyadari, memang dasar dia saja yang kerap ceroboh. Suatu waktu, di jalanan Kota Jogja, dia tiba-tiba belok mendadak tanpa sein. “Karena belum hafal jalan kan, aku lupa kalau harusnya belok. Alhasil mendadak belok,” tutur Prayoga.
Tak pelak belokan tiba-tibanya itu membuat pengendara motor plat AB di belakngnya harus oleng dan menubruk motor Prayoga. Keduanya sama-sama berhenti dengan kondisi motor setengah terjatuh.
Di titik itu, Prayoga menundukkan kepala. Sudah bersiap akan kena damprat, caci maki, dipukul, atau bahkan KTP-nya bakal difoto. Tapi Prayoga malah dibuat kaget atas apa yang terjadi selanjutnya.
“Memang wajahnya kesal, tapi cuma bilang gini, ‘Mas… mas… sing ati-ati (yang hati-hati). Hanya itu, terus orang itu lanjut,” ujar Prayoga. Bayangkan, bahkan dalam situasi kesal, pengendara asal Jogja itu masih sempat-sempatnya berpesan “hati-hati.”
Plat L nyerobot celah sempit, dimarahi dengan cara “tak biasa”
Dasar orang grasak-grusuk, berkali-kali Prayoga nyaris serempetan dengan pengendara plat AB. Baik di jalanan Kota Jogja hingga di Jalan Kaliurang. Perkaranya, dengan motor lawasnya, Prayoga gemar sekali serobat-serobot di celah-celah sempit.
Alhasil, berulang kali dia hampir senggolan dengan pengendara plat AB Jogja. Namun, anehnya, kalau ada yang kesal dengan Prayoga, alih-alih berteriak dengan amarah dan umpatan, orang-orang asli Jogja itu hanya melempar kalimat, “Mbok sing sabar, Moas (Mbok yang sabar, Mas).”
Raut wajahnya kesal. Tapi tidak ada tekanan penuh amarah. Ini jelas tak biasa bagi Prayoga yang selama ini kenyang umpatan selama di Surabaya.
Berlatih tak grasak-grusuk seperti orang Jogja
“Marah aja masih bilang ‘hati-hati’ dan ‘sabar’. Kayak bukan orang marah, hahaha,” ungkap Prayoga.
Kejadian paling aneh dia alami saat berkendara di Jalan Magelang, pada suatu siang yang terik belum lama ini.
Mobil di depan Prayoga berhenti mendadak saat di belakangnya Prayoga tengah ngebut-ngebutnya. Mati-matian Prayoga mengerem mendadak gara-gara mobil di depan tersebut. Karena kalau tiba-tiba banting kanan atau kiri, dia bisa kesamper kendaraan lain.
Yang terjadi selanjutnya: Motor plat L Prayoga menabrak bagian belakang mobil berplat nomor Jogja tersebut. Si pemilik mobil langsung keluar.
“Aku sudah siap-siap ganti rugi itu. Tapi bukannya marah, orang itu cuma ngecek seberapa penyok mobilnya, lalu tanya kondisiku,” tutur Prayoga.
Prayoga minta maaf dan berniat ganti rugi. Tapi si pemilik mobil malah bilang enggan diganti. Dia tidak mempermasalahkan. Malah mengakui kesalahan karena ngerem mendadak. Kata Prayoga, itu kalau terjadi di Surabaya, pasti sudah habis dia.
Makin ke sini, Prayoga makin sadar, ini Jogja bukan Surabaya. Dia menyadari betapa banyak orang di sini hidup dalam ritme yang pas. Tidak terlalu cepat, tapi disebut lamban pun tidak sepenuhnya begitu.
“Aku akhirnya belajar nggak grusak-grusuk, terutama pas bawa motor. Malu juga sama orang-orang sini, baik-baik e,” kata Prayoga.
Kini dia kerap membawa motor tanpa keterburu-buruan. Menikmati suasana jalanan tanpa kemungkinan menabrak orang lain. Kalau dirasa-rasakan, ternyata riuh-rendah Jogja amat menyenangkan, tak sesumpek Surabaya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cara Berkendara Motor Orang Jogja bikin Bingung dan Kaget Orang Surabaya, Lampu Hijau pun Beda Arti atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












