Tugas sebagai guru saja sudah membuat kelimpungan. Tambah lagi, jika menjadi Guru Penggerak yang penuh tuntutan. Banyak tenaga pendidik memilih mundur dari seleksi program Kemendikbud ini.
***
Sehari-hari, Tiara (45), bukan nama sebenarnya, harus menjalani hari-hari yang padat. Sejak pagi buta, ia sudah harus mempersiapkan kebutuhan anaknya yang masih berusia enam tahun. Jam tujuh, ia tinggalkan keluarganya untuk mengajar di sekolah.
Selain aktivitas tatap muka mengajar dengan murid-muridnya, seabrek tuntutan administrasi juga harus ia jalankan. Belum lagi, urusan dengan siswa kadang tidak sesederhana yang banyak orang bayangkan. Itu belum termasuk tuntutan jika ia menjadi Guru Penggerak.
Tiara merupakan guru dengan status PNS. Saat ini, ia menjadi wali kelas di salah satu SMP Negeri di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Meski tampak sederhana, menjadi wali kelas penuh dinamika.
Pernah suatu ketika, ada muridnya yang tidak terlihat di kelas selama hampir satu pekan. Sebagai guru, ia punya tanggung jawab moral untuk memastikan muridnya baik-baik saja.
“Akhirnya, saya datang ke rumah anak itu bersama Guru BK. Kagetnya, ternyata setiap pagi anak itu keluar dari rumah menggunakan seragam. Orang tuanya mengira kalau dia sekolah seperti biasa,” kenang Tiara.
Akhirnya, beberapa hari berselang, Tiara bersama orang tua murid itu membuntuti sang anak pagi hari saat ia keluar rumah. Tiara terpingkal saat bicara tugasnya sebagai guru bisa menuntutnya berlagak layaknya detektif.
Pada pagi hari, anak itu benar-benar keluar rumah. Namun, di pinggir jalan, ternyata ia tidak benar-benar menaiki angkot. Ia malah menyelinap ke sebuah gang di sekitarnya.
“Saat kami coba buntuti, ternyata dia setiap hari meringkuk di sebuah musala kecil sendirian,” ungkapnya berbincang dengan Mojok, Selasa (12/12/2023).
Suara Tiara agak bergetar saat menceritakan bahwa sang anak merupakan korban perundungan. Selanjutnya, ia pun mendampingi anak itu sampai benar-benar kuat dan berkeinginan bersekolah lagi.
“Begitulah tugas guru. Kompleks. Sudah tuntutan administrasi banyak, dinamika pengajaran, sekarang ada Guru Penggerak yang memberatkan,” tuturnya.
Guru Penggerak membuat para pengajar benar-benar kewalahan
Setiap sore, pulang dari sekolah, seringnya Tiara belum benar-benar bisa lepas dari tumpukan berkas administrasi yang harus ia urus. Hal itu ia lakoni sambil membantu suaminya merawat buah hati kecil mereka.
Belum lama ini, ia juga mendapat tuntutan untuk menjadi Guru Penggerak. Sebuah program implementasi dari Kurikulum Merdeka Belajar. Guru Penggerak merupakan program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan pendampingan selama enam bulan.
Setiap sekolah, punya tuntutan untuk memiliki segelintir Guru Penggerak. Usia Tiara yang masih tergolong produktif membuatnya terus didorong untuk ikut serta.
“Syaratnya itu kan guru PNS atau wiyata bhakti yang punya Dapodik. Umurnya di bawah 50 tahun. Saya ini masuk kategori yang cocok. Sebagian guru lain ada yang masuk kriteria, tapi banyak yang tidak mau, apalagi guru perempuan,” ungkapnya.
Terus-terusan mendapat dorongan, Tiara pun ikut mendaftar. Ia lolos seleksi tes esai, praktik mengajar, hingga berhadapan dengan fase tes wawancara. Di fase itulah ia merasa gamang.
Setelah lulus wawancara, ia harus mengikuti diklat secara daring, terlibat forum guru penggerak, dan mengerjakan beragam tugas dan pendampingan selama enam bulan penuh. Masalahnya, tanpa tugas itu pun, tanggung jawab Tiara sebagai guru sudah menumpuk. Ia merasa, tuntutan administrasi guru terlalu banyak.
“Saya tanya ke guru yang sudah ikut, mereka bilang tugasnya benar-benar menyita waktu. Malah tugas pokoknya untuk mengajar jadi keteteran karena siang dan malam ngurus Guru Penggerak,” paparnya.
Bagi guru yang ingin menaiki jenjang karir sebagai kepala sekolah atau pengawas, program ini memang menarik. Sebab, kini dua jabatan tersebut mensyaratkan sertifikasi Guru Penggerak.
“Kalau yang tidak punya keinginan untuk jadi kepala sekolah seperti saya, lalau buat apa?” celetuknya.
Banyak cara implementasi Merdeka Belajar yang tidak menyulitkan
Jika Guru Penggerak dibuat untuk menciptakan guru yang baik dalam menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar, menurut Tiara, saat ini pun ada aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM). Setiap guru wajib memiliki aplikasi yang berisi materi tentang pengajaran.
“Di situ bisa belajar secara mandiri dan waktunya fleksibel. Ada video dan lainnya pokoknya lengkap,” ungkapnya.
Selain jadi persyaratan untuk menapaki karir sebagai kepala sekolah dan pengawas, program tersebut memang berimpak langsung terhadap gaji bulanan guru. Alhasil, banyak yang memilih untuk tidak mengikutinya, atau memilih mundur dari proses seleksi seperti yang Tiara lakukan.
Sejak awal memang banyak kritikan terhadap program Mendikbud Nadiem Makarim ini. Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Fahmi Hatib, pernah berujar bahwa program sebenarnya punya tujuan baik untuk menciptakan SDM unggul. Namun, menyita waktu guru dan membuat mereka rentan mengabaikan tugas pokok sebagai guru.
”Namun, fakta di lapangan menunjukkan, proses seleksi dan pelatihan yang lama bagi calon guru penggerak (CGP) ini, bukannya menjamin perubahan paradigma pembelajaran, tetapi justru telah menyita waktu dan tenaga para CGP. Banyak tugas pokok yang mereka abaikan untuk mengejar status lulus,” katanya melansir Pikiran Rakyat.
Baca selanjutnya…
Kritikan pedas untuk program Guru Penggerak