Lebaran sudah lewat satu pekan, tapi pertanyaan-pertanyaan menyebalkan belum juga enyah di bulan penuh maaf ini. Bagi sebagian orang, pertanyaan tersebut sangat menjengkelkan sampai mereka bersyukur ada larangan mudik tahun ini.
***
Mudik dan kumpul keluarga besar bagi saya adalah rutinitas. Sebuah kehormatan bisa mudik dan bersua dengan simbok di Imogiri yang biasanya, rumahnya dijadikan episentrum mudik keluarga besar. Mereka, akan balik ke Imogiri untuk sungkem kepada beliau.
Pun sebuah berkah luar biasa bisa makan kupat sayur buatan simbok yang nikmatnya tiada cela, aduhai menggoyang pertahanan dengan rasa yang paling eco mandraguna. Lebaran dan kupat sayur buatan simbok, apa yang lebih sempurna daripada itu? Tadinya, sih, begitu…
Ketika sedang ngunyah kupat sayur dengan prinsip dasar dan etos kerja lidah yang menyatakan mak nyusss, sebuah suara sayup-sayup terdengar dari belakang, bermuara dari mulut Paklik saya, katanya, “Kapan lulus kuliah dan menikah, Gus? Nggak kasihan Ibu, po? Kepengin nimang cucu.”
Seketika, sukacita Lebaran berubah menjadi dukacita. Satu pertanyaan menyebalkan yang membuat hati tak tenang dan overthinking bukan kepalang. Pertanyaan yang bisa meruntuhkan esensi hari raya yang harusnya fitri dan murni.
Sebagian orang menyatakan bahwa kumpul keluarga saat Lebaran itu menyenangkan. Menjalin tali silaturahmi dan lain sebagainya. Namun, tidak semuanya begitu.
Kapan menikah?
“Baru Lebaran kemarin aku merasakan kemerdekaan tanpa syarat bagi jiwa dan raga,” begitu kata Akbar Dwi (26) ketika menjawab pertanyaan pembuka dari saya perihal larangan mudik, apakah mengurangi gegap gempita perayaan Lebaran. Akbar, remaja asal Jawa Timur ini menyatakan kebebasan yang sebebas-bebasnya dari pernyataan menyebalkan di Lebaran tahun ini.
“Bukan membahas esensi Idulfitri, ya, tapi ini masalah budaya di sebagian besar keluarga Muslim di Indonesia yang bernama kumpul-kumpul setelah Salat Id. Atau ya bisa dibilang liburan Lebaran, lah,” katanya sembari membuka cerita.
“Saya tinggal di Malang, nggak kudu balik ke kampung Ayah, di Madura. Persetan dengan kangen-kangenan, aku bosan ditanyain kapan nikah!” keluhnya.
“Jancok sekali lantaran setiap kempul lebaran bersama keluarga, selalu terselip pertanyaan menyebalkan, kapan nikah?,” keluhnya. Akbar yang kini sudah lulus kuliah dan masih mencari pekerjaan ini menjelaskan, “Kalok nikah, ya pasti mau. Masalahnya, saya mau cari calon di mana? Cari pekerjaan aja hasilnya pada lari tunggang langgang, apalagi cari jodoh. Kalau cari jodoh semudah mencari jarum di tumpukan jerami ya saya wes gas ra rewel,” katanya sembari guyon.
Ketimbang ditanya kapan menikah, Akbar justru menjelaskan lebih baik tidak ikut mudik sama sekali. Perayaan lebaran ala Akbar dua tahun lalu, lebih memilih naik gunung dan membaca puisi-puisi Fiersa Besari ketimbang kudu mudik ke Madura. “Maklum, aku Aries,” tutupnya.
Kapan punya momongan?
Melalui pesan Instagram, sebut saja Sulis berkata, “Sudah menikah empat tahun, tapi belum dikaruniai keturunan. Saya yang harusnya menjalani dengan sabar, keluarga yang merecoki dengan pertanyaan yang menyakitkan,” keluh Sulis.
Pertanyaan-pertanyaan itu biasa dilontarkan ketika bertemu muka dengan kerabatnya. “Pertanyaan via Grub WhatsApp keluarga besar, nggak masalah. Saya bisa diam, atau keluar dari grub-nya. Lha kalau masalahnya ketika mudik, harus bertatap-tatapan dengan yang bertanya, ya mangkel lah, Mas.”
Sulis tidak habis pikir karena pertanyaan menyebalkan itu justru dilontarkan kebanyakan oleh saudara, kerabat, yang harusnya orang terdekat dalam hidupnya dan paham betapa sulitnya kondisi yang dihadapinya.
Sulis menceritakan pengalamannya yang kurang menyenangkan. “Lebaran dua tahun lalu, ketika masih bisa kumpul keluarga dengan bebas, ketika hening hendak berdoa bersama, bulik saya bilang; Sulis kapan punya momongan? Sudah dua tahun lho. Mosok kalah sama anak saya, baru dua bulan sudah diberi momongan.”
“Di depan keluarga besar lho, Mas. Kalau dapat momongan bisa beli di toko kelontong atau toko bangunan we saya sudah beli satu bagor, Mas.”
Dengan tidak adanya kumpul lebaran tahun ini, Sulis merasa bisa melaksanakan lebaran dengan sedikit bernapas lega. “Alhamdulillah. Saya bersyukur masih diberikan napas oleh Allah untuk beribadah. Masalah momongan, semoga lekas menyusul dan saya beserta suami terus mengupayakan. Terpenting, tahun ini kumpul keluarga selayaknya sebuah neraka itu tidak terlaksana dan saya bisa sedikit beribadah dengan tenang,” pungkasnya.
Kapan lulus kuliah?
“Hamboh!” begitu kata Satrio Wicaksono (23) ketika bercerita sering sekali ditanya kapan lulus ketika kumpul keluarga saat Lebaran. “Lha saya kan kerja. Cari pengalaman juga di luar. Uang kuliah saya yang bayar, lha mau lulus kapan ya terserah saya,” katanya dengan sedikit muntab.
Ketika saya ingatkan bulan puasa jangan marah-marah, ia malah tambah marah. “Lha wong saya nggak puasa.”
Satrio yang merupakan mahasiswa di salah satu kampus swasta ternama di Jogja menjabarkan bahwa pertanyaan-pertanyaan toksik itu acapkali terjadi lantaran tidak disengaja. “Aku sadar, atas rasa kepedulian sanak saudara kepada saya. Tapi suasana Lebaran mbok ya o bahas kupat atau mercon saja. Ketimbang ngurusi kehidupan kuliah saya, kan? Urgensinya bagi perkembangan bangsa apa?”
Ia kembali bercerita, “Masalahnya, pertanyaan tersebut sering terlontar di saat yang tidak tepat. Semisal ada orangtua saya, kan jadi nggak kepenak. Ketika saudara sudah lulus dan nganggur, masa saya masih kuliah dan dapat pengahasilan UMR setara Om saya,” kata Satrio.
Satrio yang kini nyambi sebagai copy writter lepas di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa mengatakan, “Selain nggak enak untuk saya, bisa jadi boomerang bagi sanak saudara lain yang justru belum dapat kerjaan setelah lulus kuliah. Sedang saya, masih kuliah tapi memberi mereka THR. Kan nggak lucu. Wolak-walik e ndonya,” tutupnya.
Kapan khatam Al-Quran?
Kehidupan seseorang santri yang tinggal di lingkungan pesantren, justru kian pelik saat Lebaran akan datang. Sebut saja Saifa (23) yang akan selalu dihantui pertanyaan kapan khatam Al-Quran dari tahun ke tahun. “Nggak khatam-khatam (khatam menghapal Al-Quran, red) lantaran aku sambi pacaran,” katanya ketika dihubungi melalui pesan Instagram. Dengan emot tertawa, Saifa bilang bahwa itu sekadar guyon belaka.
“Kalau Lebaran gitu, para sepuh biasanya datang dan berkumpul. Mereka bakal nanya aku kapan khatam. Blio-blio bilang, kapan khatam, katanya ngapalin Al-Quran setiap malam, udah didoain juga setiap hari, bahkan lewat Tahajud. Padahal kan menghapal Al-Quran nggak semudah itu—bagi aku. Karena ada makna yang harus dipelajari.”
Saifa yang mengaku bahwa ia adalah tipe santri nyantai dan sering kena hukuman oleh pengurus. “Kumpul lebaran tetap ada, tapi jumlah yang datang sedikit berkurang. Menurutku, pertanyaan kapan khatam ini bikin down banget. Maksud aku, kumpul keluarga buat menikmati opor, bukan malah jadi kompor.”
Ajang kompetisi bernama membandingkan prestasi anak
Bagi Abdul Khois (31), Lebaran tahun ini adalah kesunyian yang disambut dengan semringah. Baginya, Lebaran tahun ini adalah akumulasi dari tahun kemarin, bahwa mudik dilarang untuk memecah mata rantai pandemi Covid-19.
“Ada sedih, ada senang. Nah, sedihnya ya karena acara besar di desa (seperti takbiran dan halal bihalal yang biasanya diadakan satu kelurahan, red) ditiadakan. Sebagai muda-mudi yang luntang-lantung tanpa pekerjaan tetap, nggak ada acara desa, ya itu namanya pengangguran di tengah kondisi nganggur,” kata Khois yang juga ketua karang taruna di desanya.
Untuk kondisi senangnya, Khois punya jawaban yang cukup sentimentil. “Lho, senangnya ya tak ada acara keluarga besar. Itu tandanya, tak ada perlombaan terselubung membanggakan anak-anak dari tiap keluarga yang berkumpul.”
Bagi Khois, kumpul keluarga selama lebaran adalah menumpuk dosa secara terselubung. Selain pertanyaan menyebalkan yang membuatnya mangkel adalah soal banding membandingkan. “Lha menyambut Syawal itu harusnya dengan skor akhir 0-0 kan, Mas, kalau kumpul keluarga ya isinya persaingan siapa yang unggul, siapa yang kalah. Disclaimer, ya, ini di kultur keluarga saya. Tapi saya yakin, sih, banyak di luar sana yang mengalami nasib serupa,” ujar Khois.
Iklan Thailand yang menunjukan bagaimana acara kumpul keluarga penuh pertanyaan menyebalkan.
Dengan sedikit berkelakar, Khois sudah lelah dengan persaingan internal keluarga selama lebaran. “Kasihan ibu saya. Saudara-saudara saya itu sudah S1, ada yang kerja di Pertamina, dokter, sampai astronot saja mungkin ada kalau saya telaten dengerin satu-satu keluarga saya ketika flexing. Lha sedang saya, SMA saja tak lulus. Cuma sebagai perajin kayu borongan. Itu pun serabutan, nggak tentu.”
Dengan sebuah contoh, keluh Khois terlihat amat miris. “Dengan santainya budhe saya berkata, Khois sekarang kerja di mebel, ya? Mebel-mebel apaan, bengkel kayu kok mebel.” Ia melanjutkan, “Lalu budhe saya berkata lagi, wah, keren itu di mebel, anak budhe sekarang malah ambil S3 doang. Cooook, jancooook, S3 kok ya ‘doang’ ini logika macam apa? Lagi pula, ya kalau kayu sudah jadi passion saya, kenapa harus dijejali dengan perbandingan konyol macam itu?”
Namun Khois mafhum, bisa saja orang yang membandingkan, memang tidak sengaja melukai hati orang lain. “Tapi mbok ya mikir, cok! Lebaran itu momen krusial untuk merekatkan, bukan bikin hati anak orang jadi ambyaaaar!”
Khois turut sedih bahwa Lebaran tahun ini sungguh amat sepi. Roti-roti yang sudah disiapkan oleh simbahnya, menjadi sekadar pajangan di rumahnya. “Keluarga di luar Jogja, tak bisa datang karena aturan dilarang mudik. Hati saya nyeri ketika melihat simbah tak bisa menyapa anak-anak dan cucu-cucunya. Tapi di satu sisi, hati saya semringah karena tak ada yang namanya dibanding-bandingkan,” katanya.
Dengan kata-kata yang amat lirih, Khois pun menyarankan agar siapapun yang bersuka cita lantaran Lebaran tahun ini sepi, lebih baik disimpan saja perasaan itu rapat-rapat. “Bagaimana pun, bagi Kaum Muslim, lebaran adalah kemenangan. Bagi banyak orang, mereka merayakan kemenangan atas hawa nafsu godaan setan yang terkutuk. Sedang saya, merayakan dalam diam atas kemenangan melawan dibanding-bandingkan saya dengan saudara yang jelas-jelas udah tak apple to apple.”
Sembari tertawa dan ngunyah permen di siang bolong, Khois yang sedang mbubut kayu berkata, “Gimana apple to apple lha wong pengerajin kayu dibandingkan dengan dokter. Ibarat ikan disuruh lomba lari sama tupai. Ah, toksik!”
Mudik uang pas-pasan, malah disuruh bagi-bagi THR
Aturan dilarang mudik yang disesalkan berbagai pihak, justru disambut bahagia oleh Aldi (25). Baginya, tidak ada mudik berarti ia bisa menabung rupiah yang ia himpun selama bekerja di Jakarta. “Aku kira konsep mudik selama ini itu salah, ya. Orang di kampung kira, aku di Jakarta udah sekaya Hary Tanoe. Padahal ya ora tentu.”
Aldi mengira, telah terjadi kesalahpahaman antara si pemudik dan orang yang menjadi tujuan mudik. “Orang di kampung kira, aku pulang itu untuk bagi-bagi rezeki selama di Jakarta. Padahal aku pulang hanya untuk numpang nangis dan menyatakan kalah tanpa syarat akan kerasnya kehidupan di ibukota.”
Aldi bercerita bagaimana batinnya teriris atas anggapan bahwa orang-orang yang merantau ke ibukota akan mudah mendapatkan cuan. “Pernah waktu itu pulang kampung, dengan bekal uang hanya sebesar lima juta rupiah, itu pun udah dipotong oleh janjiku kepada Ibu untuk membetulkan kamar mandi rumah. Sesampainya di kampung, saudara-saudara saya malah minta THR alih-alih menyambut dengan pelukan.”
Aldi berpendapat, jika tidak pulang kampung akan merasa berdosa, sedang pulang kampung malah akan menambah masalah. “Tinggal urusan diriku kepada keluarga, atau diriku kepada perutku. Aku kira, self-love tidak berlaku bagi kelas pekerja yang ingin mudik seperti saya,” jawabnya diiringi dengan tawa getir.
Dilarang mudik tahun ini, Aldi menyimpan luka sekaligus suka. “Luka banget, ya, apalagi Ibu di rumah pasti rindu. Tapi suka juga, sih, karena nggak keluarin uang untuk THR saudara-saudara. Ya, walau THR lima ribu sampai sepuluh ribu doang, sih, Mas, tapi kalau saudaraku jumlahnya ada dua puluh, ya edan.”
“Mudik dilarang, kumpul keluarga nggak ada, sepi sudah pasti mengisi hati. Namun, aku rasa, aku lebih memilih kesepian ketimbang melihat mata kecewa para saudara yang mengharap THR dari saya yang sebenarnya ya butuh uang juga,” katanya.
Aldi memang terbiasa mudik dengan motor dari Jakarta ke Jogja ketika Lebaran. Untuknya, itu adalah bentuk menghemat. Definisi pulang, baginya, adalah derai haru air mata orangtua yang tak pernah kecewa melahirkan dirinya. Bukan pertanyaan menyebalkan atau anggapan semu dari sanak saudara. Dalam posisi kalah di Jakarta atau ketika bahagia di desa, sorot mata Ibu adalah makna dari mudik itu sendiri, ujarnya dengan cara paling khidmat.
BACA JUGA Yang Merantau dan yang Tak Pernah Berniat Pulang Kampung liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.