[MOJOK.CO] “Sujud Kendang adalah seniman yang paling hakiki dan jujur.”
Mungkin suara dan nyanyiannya nyaris tidak pernah terdengar di televisi nasional, apalagi wajahnya; tidak pernah mondar-mandir di tayangan infotainment kita. Namun, di telinga warga Yogyakarta, nama Sujud Kendang cukup akrab. Namanya masyhur di kalangan seniman dan budayawan. Djaduk Ferianto, Emha Ainun Nadjib, Sawung Jabo, Sindhunata, dan (alm) Sapto Raharjo adalah karibnya.
Pemilik nama asli Sujud Sutrisno ini kerap tampil di berbagai acara, mulai dari acara yang digelar di kampus-kampus, pentas musik, festival kesenian, peluncuran sebuah produk komersil, hingga gelaran Festival Internasional. Bahkan, ia pernah pula tampil di Kraton Yogyakarta. Pada suatu kesempatan, Sujud diajak oleh jurnalis senior Franky Raden untuk tampil di The First Indonesia International Drum Festival. Pada ajang bergengsi yang dihelat awal 90-an tersebut, Sujud berbagi panggung dengan musisi internasional yang mayoritas memiliki skill mumpuni.
Berkenalan dengan Sujud Kendang dan Pencapaiannya
Sujud Sutrisno dibesarkan dalam keluarga seniman tradisional. Ayahnya, Wiro Suwito, yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah adalah seniman karawitan dan cokekan. Dari ayahnya, Sujud belajar karawitan, dan kendang menjadi alat musik favoritnya.
Karena kondisi keuangan yang lemah, ayahnya terpaksa mengais rejeki dengan menjadi pengamen. Begitu juga dengan Sujud; untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia mengamen di jalanan. Sejak 1964, Sujud mengawali kariernya sebagai musisi jalanan hingga menjadi orang yang cukup disegani, baik oleh sesama pengamen jalanan, hingga para seniman besar.
Bermain plesetan lewat lagu menjadi ciri khasnya, sementara kendang adalah senjata utamanya yang membuatnya akrab disapa “Sujud Kendang”.
Gaya bermusik Sujud sangat sederhana dan unik. Dengan kecakapannya, Sujud kerap memarodikan atau menyanyikan lagu-lagu pop yang dimainkan secara medley. Lagu-lagu terkenal yang diplesetkan Sujud di antaranya Mata Indah Bola Pingpong milik Iwan Fals, Susana yang dipopulerkan oleh Ari Wibowo, dan Kolam Susu milik Koes Plus.
Tak jarang, pria kelahiran Klaten, 20 September 1953 ini juga memainkan lagu populer anak-anak seperti Hely, Satu Tambah Satu, hingga Burung Kakatua.
Parodi yang dilakukan Sujud ini lebih dulu ada jauh sebelum band-band macam Padhiyangan Project, Tim Lo, dan lain-lain, bahkan sebelum Weird Al Yankovic memarodikan lagu Nirvana. Bayangkan, karier Sujud di dunia musik sudah dirintis sejak 1964 lalu, sejaman ketika The Beatles pertama kali mendarat di Amerika Serikat dan mengguncang industri musik dunia dengan British Invasion-nya!
Nyanyian Sujud pernah terdokumentasikan lewat album rekaman. Satu di antaranya adalah album kompilasi Street Music of Java rilisan tahun 1976. Jack Body, komposer asal Selandia Baru yang saat itu mengajar seni musik di ISI Yogyakarta, berinisiatif membuat rekaman album kompilasi.
Sayangnya album Street Music of Java bermasalah soal royalti antara para musisi yang berpartisipasi dengan label rekaman.
Alhasil, album yang hanya diedarkan di Amerika Serikat dan Eropa ini sulit ditemukan di Indonesia. Bahkan, seniman musik kontemporer (alm) Sapto Rahardjo tidak sengaja menemukan rekaman ini dalam bentuk CD pada suatu lawatannya ke Perancis di awal 90-an.
Nyanyian Sujud dengan kendangnya juga terekam di album Live in Bantul 2001. Penampilan Sujud Kendang di Teater Garasi itu direkam oleh Felix Blass, dan kasetnya sempat beredar di kalangan penikmat musik Yogyakarta.
Sujud Kendang juga menjalin pertemanan dengan musisi muda, di antaranya kelompok band ERWE. Sujud pernah berkolaborasi dengan band ska tersebut di lagu berjudul Jogja Kota Pelajar. Pada lagu tersebut, Sujud memainkan kendang dan ikut bernyanyi.
Kata Mereka Soal Sujud Kendang
Sebagai pendatang yang tidak lahir dan besar di Yogyakarta, tentu saya tidak pernah melihat aksi Sujud Kendang di jalanan. Karena itu saya sengaja mendatangi beberapa orang yang lahir dan besar di Jogja untuk menggali pengalaman kolektif mereka.
Seniman kontemporer, Ari Wulu, pertama kali melihat Sujud mengamen di rumahnya di kawasan Lempuyangan, sekitar tahun 1989. Saat itu, Ari masih kelas 4 SD, sementara Sujud sudah sangat terkenal di kalangan anak-anak.
Bersama teman-teman seusianya, Ari selalu mengikuti Sujud mengamen dari rumah ke rumah.
“Saat itu kan belum ada TV, hiburan anak-anak masih terbatas. Sosok Pak Sujud yang serupa Charlie Chaplin benar-benar memikat anak-anak saat itu,” ujarnya.
Menurut Ari, uang receh yang diterima Sujud kemudian dimasukan ke dalam kendang yang dibolongi bagian tengahnya, menyerupai celengan. Jika ada penghuni rumah yang ingin memberikan uangnya, setiap anak pun berebut untuk memberikan uang tersebut kepada Sujud.
Sekitar pertengahan tahun 90-an, lanjut Ari, hiburan yang ditawarkan Sujud mulai bisa diterima publik lebih luas. Sujud pun mulai ditanggap dan tampil di atas panggung. Namanya juga dikenal hingga luar daerah, sehingga kerap menerima panggilan tampil di luar kota Jogja.
Hubungan Sujud dengan Ari Wulu yang juga lahir dari keluarga seniman ini sangat dekat. Keluarga Ari kerap membawa Sujud ke berbagai panggung seni dan hiburan. Putra (alm) Sapto Rahardjo ini juga sempat melihat langsung ketika Sujud tampil di The First Indonesia International Drum Festival.
Bersanding dengan banyak musisi profesional dari mancanegara, tidak membuat Sujud kehabisan gaya. Meski sempat bingung diundang di acara tersebut, namun Sujud tetap cuek tampil dengan gaya khasnya.
Sebagai ketua Festival Kesenian Yogyakarta, Ari Wulu sering mengajak Sujud Kendang tampil di atas panggung FKY. Tidak tanggung-tanggung, Sujud diarahkan tampil di panggung utama dan memukau ribuan orang yang hadir.
Menurut Ari, yang dipertontonkan oleh Sujud adalah kesederhanaan yang apa adanya. “Permainan musik yang menggunakan kendang dengan vokal adalah sesuatu yang purba. Beliau memainkannya dengan konsisten,” katanya.
Setiap diundang untuk pentas, tak ada hal khusus yang diminta Sujud, meskipun pada sebuah festival besar. Bahkan untuk urusan penjemputan saja, ia tidak pernah meminta. Sujud hanya bertanya, “Saya harus datang jam berapa dan pakai baju apa?” Lalu, ketika akan pamit usai pentas, seluruh panitia disalami satu persatu dan didoakan kebaikan.
Sementara itu, vokalis band ERWE, Wowok, berujar bahwa Sujud tidak pernah melihat perbedaan usia tua dan muda.
“(Saya) salut dengan Mbah Sujud, (beliau) dengan anak muda sopan banget, bahkan kami nggak bisa ngimbangin. Idul Fitri kemarin malah beliau yang menelpon kami,” ucapnya haru.
MC kondang Alit Jabang Bayi juga memiliki pengalaman serupa. Ia pertama kali mengenal Sujud Kendang di jalan kampung rumahnya di kawasan Pajeksan. “Waktu itu aku masih kecil. Jujur wae, aku ngguyu kemekelan (Jujur saja, aku sampai tertawa terpingkal-pingkal),” kenangnya.
Pernah, Sujud akan pentas dan Alit menjadi MC-nya.
“Pak Sujud aku suruh baca SMS dari temenku yang nge-fan sama beliau. Tak suruh baca dan balesi langsung (SMS-nya), tapi Pak Sujud malah senyum-senyum ndak bales. Ternyata, beliau tidak membaca dan aku baru tahu itu, jadinya antara nggak enak dan mau ketawa.
“Semua yang ada pada beliau: kendangnya, lagunya, suaranya, kepolosannya, dan keramahannya, semua terekam jelas di benakku,” kata Alit.
Djaduk Ferianto juga pernah bercerita pada saya. Sejak kecil, hampir setiap sore Sujud mengamen di rumahnya. Ayahnya yang juga seniman, Bagong Kussudiardja, selalu memberikan apresiasi.
Bahkan, semua orang yang bekerja di sanggar batik miliknya dihibur oleh Sujud.
“Terkadang, Sujud juga tampil dengan make up, kostum Gatotkaca, dan wajah Gareng. Sangat kontemporer,” ucapnya lalu tertawa.
Keunikan Sujud Kendang dan Gelar ‘Pengamen Agung’
Sujud sendiri tidak pernah menganggap dirinya sebagai pengamen. Ia lebih suka menyebut dirinya sebagai “Petugas Pemungut Pajak Rumah Tangga (PPPRT)”, sebuah metode berkesenian berbasis silaturahmi, alias “Door-to-Door Mengamen”.
Dengan kesederhanaannya, Sujud juga sadar akan personal branding. Ia membuat kartu nama dari kertas yang difotokopi. Setiap rumah yang baru didatanginya selalu diberikan kartu nama tersebut. Ia juga selalu tampil necis, bajunya selalu rapi.
Karena dedikasinya itulah, pada 2002, kelompok musik Kua Etnika pimpinan Djaduk Ferianto menganugerahkan penghargaan kepada Sujud Kendang sebagai “Pengamen Agung Indonesia”.
Menurut Djaduk, penganugerahan tersebut terinspirasi oleh tokoh Budhis di Kuil Nara Jepang. Di sana, terdapat sosok yang dikenal dengan “Pengemis Agung”.
“Kata ‘pengemis’ di sini bukan berkonotasi negatif. Sujud adalah seniman yang profesional. Saya hormat dan kagum karena ia konsisten pada pilihannya tersebut,” ujar Djaduk saat saya temui di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, beberapa tahun lalu.
Sujud Kendang yang Mulai Diserang Sakit
Pada September 2013 silam, Sujud Kendang mulai sering sakit-sakitan. Untuk meringankan beban yang dipikul Satria Berkendang ini, berbagai kelompok seniman Yogyakarta menggelar pentas penggalangan dana.
Anang Batas, komika stand-up comedy yang berpartisipasi pada acara donasi tersebut, berpendapat bahwa Sujud Kendang adalah seorang seniman yang berkomitmen berkarya dan konsisten bekerja.
Acara malam donasi itu menunjukkan keguyuban masyarakat saat ada yang terkena musibah.
“Sujud sendiri memang sudah menjadi bagian dari kebanggaan dunia seni Yogyakarta,” ungkap Anang.
Sang Raja Plesetan Jogja ini juga mengaku kecewa karena seharusnya pemerintah kota bisa turut menanggung pengobatan beliau. Djaduk Ferianto juga mengungkapkan nada yang sama.
“Semoga aksi para seniman ini bisa menginspirasi pemerintah dan para pejabat untuk tergerak. Pasalnya, Sujud adalah satu ikon yang dimiliki Yogyakarta,” ujarnya.
Seniman lainnya, Sawung Jabo, bahkan melakukan aksi spontan. Bersama musisi lain, Jabo mengamen di depan Gedung Agung Malioboro pada Kamis sore, (5/9/2013) silam. Baginya, aksi tersebut adalah bentuk solidaritas sesama seniman.
Bagi Jabo, Sujud adalah sosok yang sederhana.
“Ia mengerjakannya dengan tuntas, menyampaikan pesan kesederhanaan dengan baik, dan patut dipelajari,” ujarnya.
Saat Sawung Jabo beraksi, ratusan orang berkumpul memadati kawasan nol kilometer untuk menikmati musik yang dimainkannya. Beberapa kotak amal bertuliskan “Ngamen Amal untuk Kesembuhan Sujud Sutrisno, Pengamen Jalanan Jogja” diedarkan di tengah-tengah nyanyian yang berkumandang.
Perisitiwa amal ini mengingatkan saya pada lagu sederhana milik Koes Plus:
“Siapa bilang siapa bilang sayang, penyanyi mata duitan, bukan.
Penyanyi punya tujuan sayang, menghibur semua orang.
Siapa orang yang tak senang sayang. Suara melayang layang merdu
Siapa yang mendengarkan, hatinya tergoyang-goyang.
Memang benar, penyanyi butuh uang, perlu sandang perlu pangan.
Makan kenyang tak kedinginan.”
Berita Duka yang Mulai Datang…
Pada Rabu (13/10/2017), Sujud Kendang dikabarkan meninggal dunia. Ucapan belasungkawa di berbagai media sosial pun berdatangan. Bahkan, kabar ini sempat dimuat di sebuah portal media lokal.
Mendengar berita duka tersebut, Alit Jabang Bayi tidak lantas ikut-ikutan menyebarkan berita tadi. Dengan rasa kaget, anak dari seniman ketoprak Marwoto ini langsung menuju kediaman Sujud yang sudah dipenuhi banyak wartawan dan seniman.
Alit pun segera mengonfirmasi kejadian sebenarnya melalui media sosial. Ternyata, kondisi pria berumur 64 tahun ini masih sehat walafiat.
Bukan hanya kali itu saja, Sujud telah dikabarkan meninggal dunia dua kali. Berita pertama yang mengabarkan ia meninggal justru saat Sujud sedang keliling ngamen, sekitar 1,5 tahun sebelumnya.
Hingga akhirnya pada 15 Januari 2018, berita dukacita kembali datang. Sujud Kendang dikabarkan tutup usia karena harus kalah dengan penyakit batu empedu yang telah lama dideritanya setelah dua minggu dirawat di RSUD Wirosaban, Jogja.
Di rumah duka, tampak berdatangan tokoh seni dan budaya dari segala usia dan lintas disliplin. Kendang dan topi milik Sujud kemudian diwariskan dan diamanatkan kepada Djaduk Ferianto.
Menurut sang istri, Mami Sumaryati, Sujud Sutrisno merupakan pribadi yang penyayang dan baik hati. Sebagai seorang kepala keluarga, Sujud adalah pekerja keras.
Sujud sungguhlah seniman yang hidup untuk keseniannya. Pertunjukan Sujud adalah sesuatu yang paling hakiki dan jujur.
Secara musikalitas, Sujud memang jarang sekali berinovasi. Sekalipun ada, mungkin hanya di bagian teks dan lirik lagu. Namun, karena konsistensinya inilah, patern kendang yang dimainkan Sujud hanya menjadi miliknya.
“Beliau adalah contoh kualitas manusia yang sudah sangat sulit ditemui hari ini. Ia sangat dekat dengan masyarakat. Beliau adalah legenda urban Jogja,” kata Ari Wulu.
Saat sedang menulis artikel ini, kebetulan saya masih asyik menyelesaikan buku berjudul Ilmu Kawruh Jiwa Suryomentaram, Riwayat dan Jalan Menuju Bahagia. Di sana, dituliskan bahwa ajaran Ki Ageng Suryomentaram mengajak manusia untuk menelusuri diri sampai pada detail terdalam.
Buku setebal 370 halaman terbitan Dinas Kebudayaan DIY tersebut mengajarkan bahwa kebahagiaan itu sederhana, hanya berupa prinsip “saiki, neng kene, mengkene, gelem” (sekarang, di sini, begini, aku mau). Dengan kata lain, rasa bahagia itu tergantung pada diri sendiri.
Sifat-sifat tersebut, nyatanya, sudah tertanam dan terbukti pada diri seorang Sujud Sutrisno.
Jenazah Sujud dimakamkan pada Selasa (16/1/2018), beberapa hari setelah kabar kepergian Yon Koeswoyo, penyanyi legendaris dari grup band Koes Plus.
Mungkin, kini Sujud bisa bernyanyi tidak hanya ditemani kendangnya. Bersama Yon Koeswoyo yang memainkan gitar, mereka pastilah sedang asyik bernyanyi bersama:
“Oh penyanyi tua, lagumu sederhana,
lagu dari hatinya, terdengar dimana-mana.”