Ayam kampus, jadi sebutan yang umum digunakan untuk menyebut praktik prostitusi yang melibatkan mahasiswi. Mojok.co bertemu dengan muncikari yang saat masih berjaya bisa mengantongi puluhan juta rupiah setiap bulannya.
****
Semua berawal dari klub malam
Sebut saja namanya Mas Kris (30). Senin sore, 12 April 2021 saya mentraktirnya minuman berbasis susu dan biskuit Regal, lantas perbincangan panjang, penuh kenakalan, tawa, dan bisik-bisik kami lakukan.
“Ada stok model gimana hari ini, Mas?” tanya saya iseng untuk memecah suasana. Maklum, saya memang sudah lama tidak bertemu Mas Kris.
Mas Kris cengengesan sambil meneguk minumannya lantas membersihkan serpihan biskuit di jenggotnya. “Sudah pensiun, Bro,” jawabnya. “Tapi kadang kangen jualan lagi.”
Mas Kris memang pernah aktif menjadi muncikari ayam kampus di tempat kuliahnya dulu. Dia menuturkan kepada saya, tahun 2012 adalah awal mula kariernya. “Saya kan punya temen SMP cewek yang jadi LC Karaoke di sebuah klub malam elit di Jogja. Setiap nemenin dia, saya diberi lima ratus ribu. Saya antar jemput dia gitu. Dia nemenin om-om minum, dibayar, dan pulang.”
“Loh, bukan mucikari itu namanya, kan?”
Mas Kris menyulut sebatang rokok bermerk Camel Purple, menghisap asapnya dalam-dalam, baru membalas pertanyaan saya. “Awalnya emang gitu. Cuma nemenin dia dan dapet komisi. Tapi habis itu, saya kenal sama GRO (Guest Relation Officer) klub malam itu,” dihisapnya lagi Camel Purple sebelum melanjutkan.
“Saya bilang, kalo ada yang nyari temen minum, kontak saya saja. Saya ada orang,” kata Mas Kris. Yang Mas Kris maksud adalah teman SMP-nya yang LC itu. “Jadi kalo temen saya dapet klien dari saya, saya dapet persenan. Dapet dari temen saya itu, dapet dari kliennya juga.”
Awalnya, Mas Kris hanya berbisnis mencari orang-orang yang menemani minum di klub malam. Lama-lama, orang-orang itu minta lebih, tidak sekadar ditemani minum. Tapi juga ditemani tidur. Tentunya, Mas Kris mematok harga lebih untuk layanan plus itu. Ternyata, semakin banyak pesenan dari GRO klub itu. Ia akhirnya mencari perempuan-perempuan lain, tidak hanya mengandalkan temannya yang menjadi LC.
“Temen-temen kampus, ya, Mas?” tanya saya.
Mas Kris mengangguk. Tahun 2012 dia masih berkuliah di salah satu kampus swasta yang terkenal banyak mahasiswi yang melakukan aktivitas prostitusi, sebelum akhirnya memutuskan tidak melanjutkan kuliahnya di tahun 2014. “Banyak anak kampus yang ketemu di klub lagi dugem. Ya sudah, saya tawari saja setelah basa-basi singkat. Kadang kalo ketemu temen di kantin, saya ajak ngobrol-ngobrol sambil bercanda, terus nyeletuk aja, ‘Eh, elo mau gue jual, nggak?’ gitu,”
“Blak-blakan gitu? Nggak ada yang tersinggung?”
“Saya kan tau mana yang sudah sering begituan dan mana yang enggak. Gerak-geriknya kelihatan. Lagian ngomongnya sambil bercandaan juga. Biasanya nanti dianya BBM saya, bilang mau dijualin. Waktu itu jamannya masih BBM emang, belum rame WhatsApp kayak sekarang.”
“Banyak yang japri setelah ditanya sambil bercandaan gitu?”
“Saya sampai punya grup khusus buat mereka. Isinya lima belas orang.” Mas Kris meminum susu regalnya sekali lagi.
“Kalo ada klien yang mau ditemenin minum, saya share ke grup itu. Tanya siapa yang bisa. Dijadwalkan juga kapan ketemu kliennya. Kalo udah ada yang mau, saya kabarin ke kliennya.”
Ayam kampus kebanyakan anak orang kaya, ada yang tarifnya Rp 100 juta
Mas Kris awalnya masih menggunakan GRO. Namun, lama kelamaan ia punya kontak klien langsung. Mereka biasa langsung japri dirinya jika butuh ayam kampus.
“Tarifnya berapaan, Mas?”
“Saya pukul rata dua juta. Nggak mandang fisik. Itu untuk nemenin minum saja ya, beda lagi kalo klien minta ditemani tidur.”
“Berapa kalo mau sampe nidurin?” saya langsung menegaskan bukannya pengin pesen mbak-mbak atau gimana, tetapi murni demi pengetahuan saya. Sekalipun sudah saya tegaskan begitu, tetap saja Mas Kris cengengesan sambil mematikan Camel Purplenya yang sudah menyentuh filternya.
“Kalo mau nyoba ya nggak apa-apa, masih ada temen yang jualan, kok.” Mas Kris menggoda saya. “Tapi rata-rata lima sampai sepuluh juta tarifnya. Nentuinnya tergantung si klien. Kalo si klien tajir, saya ngasih harga minimal sepuluh juta. Kalau kliennya biasa saja, nggak tajir-tajir amat, tarifnya mulai lima juta.”
“Kalo ada yang nawar gimana, Mas?”
“Langsung saya skip. Pokoknya saya hanya jualan di harga segitu. Misal nggak sanggup, ya sudah nyari yang lebih murah. Ada temen saya yang nyari dengan budget dua jutaan, ya saya tolak. Mau minta harga teman ya nggak saya kasih. Kalo mau murah, di Sarkem saja.”
Mas Kris juga menegaskan, seiring berjalannya waktu, banyak mahasiswi-mahasiswi yang mendatangi dirinya untuk dijualkan ke klien. Tidak hanya dari kampus tempatnya kuliah, tetapi banyak juga dari kampus-kampus lain.
“Biasanya kenapa mau jual diri sih, Mas? Alasan ekonomi?”
Disulutnya lagi sebatang Camel Purple. “Nggak gitu.” Dia menggeleng setelah mengembuskan nikotin. “Justru kalo yang di kampus, rata-rata orang kaya.”
“Weh, lha gimana ceritanya? Kebanyakan yang terjun ke prostitusi kan urusan ekonomi?”
“Kalau yang temen saya itu emang gitu, tapi dia kan profesi utamanya emang LC. Beda sama yang mahasiswi, terutama mahasiswi di tempat saya kuliah,” jelasnya.
“Kebanyakan mereka anak orang kaya dan kesehariannya pake mobil. Kenapa mereka mau jual diri? Ya karena pengin duit tambahan. Pengin hedon. Pengin beli ini beli itu tanpa minta lagi sama orang tua.”
“Buat gaya hidup ternyata, ya?”
Mas Kris mengangguk. Diminumnya lagi susu regal yang tinggal setengah cup plastik. “Bisa dapat duit banyak dan gampang, kenapa enggak?”
“Paling banyak emang pernah jual berapa juta, Mas?”
“Pernah seratus juta!”
“Seriusan?”
Mas Kris tertawa-tawa sewaktu melihat keterkejutan saya. “Itu juga bukan saya yang ngejualin malahan,”
“Eh, gimana itu?”
“Itu cuma nemenin. Jadi saya dikontak temen dari Bali. Dia main ke Jogja dan minta saya nemenin dia. Eh mendadak minta diantar ke Solo, ya sudah saya antar. Saya balik ke Jogja karena dia mau nginap di sana. Besoknya, saya diminta jemput dia. Dia ngasih saya uang buat sewa mobil dan jemput ke Solo. Saya samperin dia ke hotel, dan ternyata lagi sama om-om. Pas pulang, dia bilang habis dibayar seratus juta rupiah. Terus saya dikasih sepuluh juta waktu itu.”
Saya kaget mendengarnya. Mas Kris cerita, ia kaget mendengar cerita temannya. Tak kalah kaget juga karena ia mendapatkan Rp 10 juta rupiah dalam sehari. Biasanya uang sejumlah itu ia dapatkan dalam waktu seminggu.
“Seminggu sepuluh juta itu berapa hari kerja dan jual berapa ayam kampus, Mas?” tanya saya.
“Cuma lima hari kerja. Ya pokoknya tiap malam itu jual terus siapa yang bisa dijual. Kan saya dapet sepuluh persen dari harga jual. Itu cuma nemenin minum. Kalo mau ditidurin, nanti saya dapet sepuluh persen lagi. Udah gitu, nanti dapet persenan lagi dari hotel tempat mereka nginep.”
Mas Kris menjelaskan kalau dulu dia kenal beberapa front office di hotel-hotel bintang empat di Jogja. Hotel-hotel itulah yang selalu direkomendasikan ke klien kalau mau membutuhkan ayam kampus sebagai teman tidurnya.
“Kalo mau mahasiswi, harus di hotel minimal bintang empat. Kalo enggak, ya nggak boleh. Nanti hotelnya saya rekomendasiin. Barulah saya kontak teman saya di hotel itu, tanya ada tamu atas nama ini apa enggak, terus bilang itu tamu saya. Kalau udah gitu, nanti saya bakal dikasih persenan sama temen saya yang di hotel itu.”
Hotel bintang empat jadi pilihan untuk ena-ena’ selain faktor pride juga faktor keamanan bagi ayam kampus, terutama menghindari gerebekan yang biasanya terjadi di hotel melati.
“Berarti banyak banget pihak yang terlibat, ya?”
“Ada oknum aparat juga,” tegas Mas Kris. “Yang jaga di depan klub kan ada aparat juga. Nanti kalo ada klien yang macem-macem sama jualan saya, tinggal saya panggil itu aparat, suruh ngusir klien itu.”
“Macem-macem gimana, Mas?”
“Ya kalo nggak sesuai kesepakatan. Kalo kesepakatannya cuma nemenin minum, ya nggak boleh lebih. Biasanya banyak yang grepe-grepe. Itu kan nggak sesuai kesepakatan. Ya sudah, panggil keamanan yang jaga di depan. Biasanya saya kasih duit rokok gitu.”
“Jualannya emang murni di klub malam itu, Mas?”
“Lewat BBM juga. Biasanya yang japri langsung itu nggak lewat klub malam. Nanti ada yang japri saya, nentuin tanggal, terus milih mau ditemenin siapa, baru lakukan pembayaran.”
“Ada yang minta foto-foto dulu gitu juga?”
“Nah itu saya kasih tarif juga biar tau dia main-main apa enggak,” terang Mas Kris. “Kalau dia minta foto, saya kasih tarif lima puluh ribu. Itu dapat dua foto dari satu orang. Satu foto biasa, satunya foto bugil. Kalau dia bayar, saya kasih fotonya. Kalau dia langsung nolak, ya sudah, nggak lanjut ke transaksi.”
“Kenapa dibikin begitu, Mas?”
“Biar fotonya nggak dimanfaatkan buat yang enggak-enggak,” terang Mas Kris. “Kalau saya kasih gratis, nanti malah dijadiin macem-macem sama dia. Belum tentu dia pesen juga. Pokoknya saya nggak mau sama yang kebanyakan basa-basi. Kalau emang butuh, pasti mau-mau saja saya suruh bayar buat foto.”
Ditangkap karena narkoba
“Jual video juga nggak, Mas?”
“Wah kalo itu enggak. Itu terlalu berbahaya, sih.”
“Jualan lewat online kayak Facebook atau Twitter gitu nggak?”
Mas Kris menggeleng. “Saya nggak mau yang digital gitu. Gampang kelacak. Terus banyak yang cuma iseng dan nggak sampai deal. Mending jualan langsung di klub malam atau nunggu dijapri saja, lebih aman.”
“Nggak takut kalo yang japri itu ternyata polisi yang nyamar dan lagi nyari muncikari?”
“Wah, kalo itu malah nggak kepikiran. Iya juga, ya? Untungnya sih saya pake akun palsu di BBM.”
Ketika saya singgung apakah Mas Kris pernah mengalami kasus serius dengan pihak berwajib, dia mengatakan belum pernah untuk urusan ayam kampus. Tetapi kalau ditangkap di klub malam dan bisa lolos karena jual perempuan, dia pernah melakukannya dan terjadi lumayan epik.
Mas Kris mengatakan pada tahun 2013, dia dan teman perempuannya yang LC memang memakai narkoba di rumah si perempuan. “Yang disuntik, jadi langsung nyebar. Lah ternyata pas mau masuk ke klub, sudah ada petugas dan melakukan tes urin. Ya sudah, saya dan teman saya ketangkap.”
Mas Kris mengatakan hanya ditahan tiga hari. “Sehari setelah ketangkep, saya nemuin petugasnya, minta tolong buat dilepasin. Petugasnya bilang kalau mau lolos, kudu bayar denda seratus lima puluh juta rupiah dulu.”
“Saya langsung puter otak. Untungnya kan boleh pegang HP, nah saya langsung japri klien-klien lama saya. Temen saya juga japri klien-klien dia. Minta DP dulu, terus pakainya beberapa hari lagi. Kekumpullah seratus lima puluh juta rupiah dalam sehari. Kita bayarin ke oknum petugas, terus kita dibebasin.”
“Itu ngomong ke klien-klien lama kalau lagi ketangkep?”
“Enggak, lah! Ya softselling gitu. Ngerayu-ngerayu nggak pake malu. Ya gimana caranya biar mau dan dapet duit. Untungnya dapet.”
“Weh, berarti kalo beneran mau jualan, bisa sehari dapet ratusan juta, Mas? Gila, gede banget sih itu.”
“Iya. Tapi kan nggak setiap hari pada mau ditawarin. Itu untungnya aja pas mau. Kalo pas nggak ada yang mau, ya susah. Makanya, basis operasi saya tetep di klub malam. Lebih aman jualan offline.”
Berhenti karena mucikari artis tertangkap dan beralih jualan tahu
Ketika saya tanya perihal alasan berhenti padahal pendapatan begitu menggiurkan, Mas Kris menjawab karena ada mucikari artis yang tertangkap di tahun 2015. “Itu pemberitaannya skala nasional. Kalau yang ketangkap cuma temen saya di lingkungan klub malam, saya sih bakal jalan terus.”
“Memangnya kalau pemberitaannya berskala nasional, ngefeknya apa, Mas?”
“Biasanya setelah itu banyak polisi berbondong-bondong melakukan hal serupa,” terangnya. “Ada kasus ketangkap di sana, tiba-tiba di daerah-daerah lain ada penangkapan juga. Itu yang saya nggak mau. Makanya berhenti.”
“Lah, itu kan kasusnya sudah lama. Kenapa nggak lanjut lagi sekarang?”
“Faktor kesehatan juga, sih. Tiap malam ke klub dan mabok itu kan ya bikin badan remuk. Secara kan kalau ke klub, saya pasti minum. Nggak bisa kalau enggak. Jadi ya memutuskan tobat dan cari jalan lain, lah.”
“Tapi pernah tergiur pengin jualan lagi nggak?”
“Jelas. Kalau melihat pendapatan saya saat ini, rasanya pengin jualan lagi. Tapi kalau jualan lagi, saya harus mulai dari awal. Saya sudah nggak kenal GRO klub malam. Temen saya yang LC sudah punya keluarga. Ayam kampus yang dulu saya jual juga udah lulus dan nggak tau ke mana sekarang. Susah mulai dari awal lagi.”
Sambil menghabiskan sisa-sisa susu regalnya, Mas Kris menceritakan aktivitasnya saat ini yang dihabiskan dengan berjualan tahu. “Jadi suplier tahu ke kedai-kedai kopi. Ke rumah-rumah makan juga. Penghasilannya miris, sebulan nggak sampe UMR Jogja!.”
“Dari dulu langsung jualan tahu?”
“Punya WO (Wedding Organizer) juga, tapi kan pandemi gini susah laku. Dulu sih lumayan penghasilannya, meski tetep kalah jauh kalo dibandingkan dengan jualan mahasiswi di klub malam. Dulu, saya bisa gonta-ganti motor, gonta-ganti HP, dan makan siang kudu di Ambarukmo Plaza. Sekarang, makan siang tadi saya cuma mie instan.”
Terakhir, Mas Kris mengatakan kepada saya bahwa dia memang sudah memutuskan untuk tobat dari dunia kelam. “Saya sudah tobat. Sudah tua juga. Ngerusak badan kalau saya balik lagi ke klub malam kayak dulu.”
Perbincangan saya dengan Mas Kris berakhir tepat ketika azan isya berkumandang dan saling bersahut-sahutan antara satu masjid dan masjid lainnya. Mas Kris izin pamit karena harus mengantar barang ke temannya setelah azan tak lagi terdengar. Saya duduk bertahan, merapikan badai di kepala saya, sambil memandangi punggung Mas Kris yang semakin lama terlihat semakin menjauh.
BACA JUGA Penyedia Jasa Open BO dan Bagaimana Mereka Menjalankannya liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.