Saya berangkat dari rumah ditemani gerimis. Jam di kendaraan saya menunjukkan pukul 20.18 menit. Saya sedang menunaikan janji bertemu dengan seorang pengusaha muda yang sedang moncer lewat produk essential oil-nya.
Saya tertarik dengan aroma. Pada dasarnya, saya yakin banyak orang yang menyukai aroma. Entah itu aroma makanan, minuman, atau aroma parfum. Sekalipun sudah tidak lagi minum kopi tubruk hitam, saya tetap menyukai aromanya. Saya juga menyukai aroma kretek. Dan siapa sih yang tidak suka aroma hujan ketika pertama kali menyentuh tanah di saat sehabis panas menyengat? Saya juga suka parfum. Senang mencoba beragam parfum. Tapi yang paling suka parfum adalah istri saya.
Lewat istri saya pula, saya mengenal essential oil. Belum lama, kalau tidak salah ketika awal pandemi berlangsung. Istri saya meminta agar kami membeli diffuser, semacam alat untuk menguarkan aroma dari essential oil. Lalu rumah kami tiba-tiba terasa terus wangi. Kadang di malam hari, saya senang mengamati bagaimana asap tipis keluar dari diffuser itu, sambil menikmati aromanya yang merambat masuk ke rongga dada. Keingintahuan saya tentang essential oil mulai timbul.
Saya banyak berselancar di dunia maya dan di market-place. Hingga saya memesan beberapa produk essential oil buatan Indonesia. Bukan, saya bukan anti-asing. Tapi saya punya kepercayaan, mestinya untuk aroma, pengalaman indera penciuman kita tidak kalah dengan orang mancanegara. Saya punya argumen yang kuat, pasalnya Indonesia adalah negeri tropis. Kita kaya dengan beragam, bunga, buah, dan rempah. Sehingga secara natural, kita lebih punya referensi aroma yang lebih kaya. Entah lewat aroma natural tanaman, bunga, dan buah-buahan, atau yang sudah diolah, terutama aroma masakan.
Dan ternyata apa yang saya duga, tepat kiranya. Saya mencoba essential oil produk Indonesia, seperti Sensatial Botanicals, Nusaroma, Botanina, Nares, dan masih banyak yang lain. Untuk beberapa merek, saya kira tidak kalah dibanding produk-produk luar negeri yang sohor seperti Young Living, Rocky Mountain, Now Solutions, dll. Tapi, perhatian saya tertarik pada Nares.
Masalahnya sederhana, setiap kali saya menuju ke kantor Mojok, ada ruko yang memajang secara khusus produk Nares. Saya penasaran. Tapi memang, tidak semua rasa penasaran harus dituntaskan dengan jalan mudah. Saya menikmati terus essential oil di rumah yang diracik oleh istri saya lewat diffuser, dengan produk yang lebih variatif, kadang buatan Indonesia, kadang buatan luar negeri. Dan dalam waktu yang nisbi lama, saya melupakan Nares karena berkutat dengan hal lain. Mampir ke gerainya pun tidak.
Hingga sekira dua bulan lalu, saya mulai tertarik mencoba membeli parfum-parfum buatan Indonesia. Lagi-lagi saya tercenung. Banyak parfum berkualitas, menurut saya tentu saja, yang mampu dibuat oleh anak bangsa kita. Di saat itu pula, saya teringat Nares. Kembali saya ingin berkunjung ke gerainya, ingin bertemu pemiliknya. Tapi lagi-lagi, kesibukan menimbul-tenggelamkan saya, dan lagi-lagi Nares terlupa. Tapi ternyata, keberuntungan kali ini mengunjungi saya. Suatu malam, saya berjanji bertemu kawan lama. Kawan saya meminta izin mengajak temannya. “Namanya Khafidz, dia yang punya Nares….”
Wah, tentu saja saya gembira dengan kabar tersebut. Dari situlah, saya mulai mengenal pendiri Nares. Tapi sekali dua perjumpaan dengannya, saya tak banyak menyatakan keingintahuan saya tentang Nares. Saya butuh waktu khusus, begitu pikir saya.
Mobil saya memasuki gerbang perumahan salah satu perumahan terbesar dan teranyar di Jalan Kaliurang. Wajar, pebisnis sukses, batin saya sambil bertanya kepada petugas satpam, nomor rumah yang saya tuju. Saya memarkir persis di depan rumah yang saya tuju untuk menepati janji, persis pukul 20 lebih 30 menit. Tepat di saat itu, gerimis berhenti turun.
Hampir tutup bukan karena rugi
Saya disambut dengan keramah-tamahan pasangan muda, tuan rumah. Merekalah pendiri Nares Essential Oils. Khafidz Nasrullah dan Cahyaningrum. Mereka menikah tahun 2016, setahun sebelum Nares didirikan. Iseng saya bertanya, bagaimana mereka bisa bertemu? Spontan mereka berdua menjawab, “Dari pengajian.”
“Wiiih, pertemuannya islami!” gojlok saya. Memang untuk urusan gojlok-menggojlok, saya agak punya kelebihan dibanding rerata teman saya. Tapi saya tak akan sembarangan menggojlok jika tak kenal. Atau setidaknya, memastikan orang yang saya gojlok tidak tersinggung. Saya memang baru bertemu dua kali dengan Khafidz, dan baru sekali bertemu dengan istrinya, dan baru sekali itu berkunjung ke rumahnya. Tapi naluri nggojlok saya keluar duluan. Mau gimana lagi, sudah kadung ketrucut…
Mereka tidak pacaran. Kenal selama sekian bulan, lalu menikah. Cahyaningrum, perempuan berusia 30 tahun yang sumeh itu, kemudian banyak berkisah tentang Nares. Dia lulusan akuntansi Universitas Islam Indonesia, dan sudah bekerja mapan saat memutuskan mau menikah dengan Khafidz. Khafidz sendiri, saat itu, sudah memiliki bisnis yang mapan. Laki-laki kelahiran Kendal, 32 tahun lalu itu, sudah memiliki bisnis yang bagus. Pabrik minyak atsirinya yang berada di Kendal sudah berjalan lancar setelah lewat proses jatuh-bangun.
Pasangan itu memilih menetap di Yogya. Sebetulnya alasannya sederhana, kampung halaman Khafidz, adalah tempat yang sepi bagi Cahyaningrum. Masalah bertambah, karena lokasi kampung tersebut sangat dingin. Saya langsung paham ketika disebut lokasinya di Kecamatan Sukorejo, dan desanya bernama Arjosari. Itu benar-benar berada di lereng Gunung Prau, berbatasan dengan salah satu desa di Temanggung, yang kebetulan saya pernah ke sana. Cahyaningrum tidak betah dengan udara dingin. Dia selalu bersin-bersin.
Begitu menetap di Yogya, Khafidz dan Cahyaningrum bertekad untuk membuka bisnis sendiri. Karena sudah merasa paham dengan seluk-beluk pemrosesan minyak atsiri, Khafidz mengusulkan agar mereka mendirikan bisnis EO. Tapi sebetulnya tidak ada yang tiba-tiba dalam hidup ini, termasuk dalam ide….
Beberapa tahun sebelumnya, ketika mengikuti sebuah pameran produk atsiri di Jakarta, Khafidz didatangi oleh seorang laki-laki yang membawa botol Young Living. “Kamu bisa bikin kayak gini?” tanya laki-laki itu. Khafidz langsung membaui dan meraba-raba cairan dari Young Living. “Bisa,” jawabnya mantap. Tapi laki-laki itu tak bicara banyak. Dia hanya memborong produk minyak atsiri bikinan Khafidz. Semenjak itu, Khafidz mulai mencari berbagai informasi tentang essential oil dan punya keyakinan suatu saat dia akan bisa membuatnya.
Mendengar usulan Khafidz, Cahyaningrum mengiyakan. Dipilihlah “Nares” sebagai merek mereka. Cahyaningrum bahkan memutuskan untuk keluar dari tempatnya bekerja. Tapi bisnis bukan urusan gampang. Bertahun-tahun perempuan kelahiran Semarang namun sejak kecil mulai tinggal di Yogya itu terbiasa dengan rutinitas, jam sembilan masuk, jam lima sore pulang. Dia juga tidak berpikir soal bagaimana menjual produk, berurusan dengan konsumen, memikirkan pekerja dan laba. Dia tahunya, setiap awal bulan gajian. Pola yang ekstrem itulah yang kemudian membuat Cahyaningrum menyerah. Sambil menangis, dia menyatakan kepada Khafidz kalau lebih baik Nares ditutup saja.
Khafidz yang lebih banyak berpengalaman dalam dunia bisnis dan sudah mencicipi pahit getirnya dunia itu, mencoba menahan keinginan istrinya. Dia bilang, ini belum apa-apa. Dihadapi dan dilalui saja semua tantangannya. Atau kalau memang Nares ditutup, mereka harus tinggal di Kendal. Karena bisnis Khafidz ada di sana, dan tidak ada alasan lagi untuk tinggal di Yogya. Mungkin karena masukan dari suaminya, plus bayangan betapa tersiksanya dia kalau mesti bersin-bersin karena cuaca dingin, Cahyaningrum urung menutup Nares. Dibantu Khafidz, Nares mulai menggeliat.
“Benar sih kata suami saya, Mas…”, ujar Cahyaningrum sambil tersenyum, “dinikmati sajalah prosesnya. Justru dengan itu, semua beban malah kayak ringan, dan mungkin karena itu pula, Nares malah bisa makin berkembang.”
Memang miskin beneran
Saya orang yang tidak mudah terbuai kisah semacam from zero to hero. Kadang, saya kira, orang perlu meromantisir masa lalunya. Hal yang sepertinya biasa saja di masa lalu, karena kesuksesan di masa kini, lalu terlihat menyedihkan. Tapi mendengarkan kisah Khafidz di masa lalunya, saya harus menyatakan, ya dia memang miskin beneran.
Orang tua Khafidz hanya punya sepetak tanah, tapi luasnya tak seberapa. Pemasukan terbanyak untuk menghidupi pasangan dengan empat anak itu adalah dengan menjadi buruh tani. “Saya terbiasa kok, Mas, makan nasi dengan lauk garam yang dibakar bersama bawang merah atau bawang putih,” ujar Khafidz mengenang masa lalunya. Mendengar itu, saya mulai agak percaya kalau Khafidz berasal dari keluarga tak mampu. Saya juga orang desa. Saya tahu apa yang disebut “miskin” sekalipun saya bukan berasal dari keluarga miskin.
“Saya pas SMP dan SMA sering puasa Senin-Kamis, tapi bukan karena demi melakukan ajaran sunah belaka, tapi ya karena keadaan. Daripada gak makan, ya puasa sekalian…,” tawa Khafidz berderai. Laki-laki yang selalu mengisap rokok Djarum Black Cappuccino itu dengan jujur menyatakan bahwa dia tidak pernah bermimpi bisa kuliah. Tapi orang tuanya memaksa. Akhirnya, Khafidz memutuskan kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dulu bernama IAIN Sunan Kalijaga, dengan mengambil jurusan Teknik Industri. Khafidz masih ingat persis, dia diberi uang oleh bapaknya dari hasil menjual dua kambing. Saat itu laku satu juta. Padahal masuk di UIN saat itu butuh uang 1,4 juta. Akhirnya berbekal “surat pernyataan miskin” Khafidz boleh mengangsur dua kali. Dan di tangannya dia hanya punya uang 300 ribu rupiah. Dia tidak tahu sampai kapan, tidak punya kenalan di Yogya, dan tidak punya kos….
Dia miskin beneran kalau begitu sih, batin saya lagi.
Khafidz lalu tinggal di masjid UIN, hingga kemudian kenal salah satu teman kuliahnya ketika mereka sedang mengikuti ospek. Temannya anak juragan tembakau di Temanggung dan mengontrak rumah bersama teman-temannya yang lain. Tahu kalau Khafidz tidak punya tempat tinggal, si teman yang baik hati itu pun menawari Khafidz tinggal sementara di kontrakannya. Satu masalah yakni tempat tinggal, selesai. Masalah yang lain menghadang: bagaimana Khafidz bisa bertahan hidup di Yogya, yang sekalipun tidak “sejahat” Ibu Kota, tentu tak bisa hidup di kota ini bermodal senyum belaka.
Semua pekerjaan akhirnya dilakoni oleh Khafidz. Mulai dari mengantar galon minum, jual-beli burung, sampai menyediakan jasa mengecat. Hingga akhirnya dia memutuskan kuliah sambil berjualan angkringan. Dari situlah, nasib Khafidz mulai berubah. Menjadi penjual angkringan membuat Khafidz mulai bisa menabung, kalau pulang kampung bahkan bisa memberi uang untuk orang tuanya. Selama tiga tahun Khafidz kuliah sambil jualan angkringan, akhirnya tiba dia mesti mengambil praktek magang kerja di luar kota selama dua bulan. Begitu balik ke Yogya, tragedi menimpanya. Gerobak angkringannya dicuri orang. Akhirnya dia memutuskan cuti kuliah lalu pulang kampung.
Kenapa tidak membeli gerobak angkringan lagi? Saya bertanya dengan penasaran. Di luar hujan deras turun. Cahyaningrum menutup pintu supaya suara kami ngobrol tidak terganggu deru suara hujan.
“Ya, uang saya habis, Mas. Mau membeli pakai apa?” begitu jawaban Khafidz. Saya membatin lagi, Iya, dia miskin beneran….
Tapi kepulangannya ke kampung halaman saat itu adalah keputusan sangat penting yang memutar jarum kehidupan Khafidz 180 derajat.
Kaya mendadak, miskin seketika
Ketika pulang kampung, sembari kerja serabutan, Khafidz tahu kalau ada salah satu tetangganya yang sukses karena membuat minyak atsiri dari daun cengkeh. Khafidz pun mempelajari dan banyak bertanya soal bisnis itu. Tapi apa daya, modalnya tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan uang sebesar 80 juta rupiah untuk membuat tempat pengolahan minyak atsiri skala kecil.
Khafidz tak mau menyerah, apa yang ada di pikirannya, dituang menjadi sebuah proposal bisnis dan ditawarkan ke berbagai lomba proposal bisnis. Tak ada yang tembus. Hingga akhirnya dia bertemu dengan salah satu teman lamanya yang berasal dari Bengkulu, anak juragan kelapa sawit, yang sudah mencoba berbagai usaha di Yogya tapi selalu gagal. Akhirnya mereka bersepakat menjalankan proposal bisnis yang dibuat oleh Khafidz. Si teman yang memodali, Khafidz yang menjalankan.
Kali ini keberuntungan mendatangi Khafidz. Dalam waktu singkat, usahanya maju. Kebetulan si kawan hendak pergi kuliah di luar negeri, dan dia meminta agar uangnya ditarik untuk menambah modal kuliah. Mengembalikan uang sebesar 80 juta rupiah pun bukan perkara yang terlalu berat buat Khafidz. Hal itu menunjukkan betapa maju usahanya.
Bukan hanya itu, Khafidz pun memenangkan berbagai penghargaan kewirausahaan. Dia tampil di berbagai forum bergengsi, bahkan sampai luar negeri. Para investor meliriknya dan menanamkan uang untuk membesarkan usaha Khafidz. Tepat di saat itulah Khafidz mesti menghadapi hal buruk dalam hidupnya. Ternyata dia belum tahu banyak soal bisnis minyak atsiri. Lonjakan harga, turun-naiknya, juga mudahnya dia terpesona dengan panggung-panggung gemerlap dengan cap “wirausahawan muda” yang sukses, justru abai pada realitas bisnisnya sendiri.
Dengan cepat, bisnisnya ambruk. Para investor tidak mau tahu, uang mereka harus balik. Khafidz bukan hanya berada di titik terendah, dia sudah berada di jurang terdalam di hidupnya. Semua asetnya dijual. Bahkan rumah serta sedikit lahan yang dimiliki orang tuanya pun digadaikan. Utangnya di bank menumpuk. Pada tahun 2013, setahun lebih setelah usahanya dirintis, usahanya kukut dengan tanggungan utang ratusan juta rupiah.
“Saya syok. Tak bisa berbuat apa-apa. Setiap hari selalu ada yang menagih utang. Tapi saya tidak lari. Semua saya hadapi. Tapi jujur saja, saya saat itu tak tahu harus bagaimana lagi….”
Hingga suatu hari, seorang petani cengkeh perempuan mendatanginya. Perempuan itu adalah pemasok daun cengkeh yang diolah di pabrik Khafidz. Khafidz masih belum bisa membayar utangnya pada ibu tersebut. “Bu, kalau Anda mau menagih pembayaran, saya benar-benar tidak punya uang…,” ungkap Khafidz mencoba jujur.
Di luar dugaan, ibu tersebut berkata, “Saya tidak mau menagih uang kok, Mas…” Lalu ibu itu malah mencopot gelang, kalung, dan anting-antingnya. “Saya tahu Mas Khafidz sedang banyak masalah, ini saya serahkan perhiasan saya, pakai dulu. Bayar kalau nanti usaha Mas Khafidz berhasil.” Apa yang dilakukan ibu tersebut kepada Khafidz bukan hanya membuat Khafidz menangis, tapi juga menyuntikkan semacam semangat baru. Kalau si ibu itu percaya dia bisa bangkit, kenapa dia sendiri tidak yakin? Berbekal uang hasil penjualan perhiasan itulah, Khafidz mulai menggerakkan pabrik penyulingan minyak atsirinya kembali.
Dari kegagalannya, dia belajar beberapa hal. Pertama, dia tidak mau meninggalkan bisnisnya dan tidak mau silau lagi dengan berbagai forum yang menempatkan dirinya seolah-olah orang yang sudah sukses. Kedua, dia belajar banyak tentang keuangan dan manajemen risiko. Ketiga, dan ini yang kelak menjadi sangat penting, Khafidz merasa berkali-kali ditolong oleh orang, maka dulu yang bisnisnya semata untuk uang mendadak berubah. Mulai saat itu dia seperti merasa penting untuk lebih peduli pada para petani yang bekerja sama dengannya, apalagi dia juga anak seorang buruh tani.
Kini, Khafidz sudah bukan hanya membuat minyak atsiri dari daun cengkeh saja. Ada nilam, lemon, sereh wangi, mawar, dan banyak lagi. Kematangan atas proses itulah yang membuat Khafidz yakin Nares akan sukses.
Retail ada pada detail
Mental boleh matang. Pengalaman boleh banyak. Tapi bisnis Nares yang digeluti pasangan Khafidz dan Cahyaningrum berbeda dengan bisnis minyak atsiri. Pertaruhan retail itu pada detail, sementara di pabrik atsirinya, pertaruhannya ada pada volume. Pasangan itu berkutat pada persoalan renik, kecil-kecil, banyak, tapi itu yang memang mesti dikerjakan. Dari mulai riset essential oil apa yang laku, membuat kemasan, pesan botol, mencari pasar, sampai melayani konsumen. Tentu semua tidak gampang.
Apa yang dikerjakan oleh pasangan itu nyaris tak ada bedanya dengan kebanyakan orang yang berbisnis retail. Mereka mempunyai ruang pajang yang terletak di Jalan Kaliurang Km 12, Jogja. Mereka membangun penjualan digital di media sosial dan ikut berbagai pameran. Semua langkah kecil dilakukan dengan teliti, dan sebagaimana yang dikatakan oleh Cahyaningrum: dinikmati prosesnya. Perlahan namun pasti, usaha yang dimulai pada tahun 2017 mulai menampakkan hasil. Sebulan, Nares bisa menjual antara 1.000 sampai 2.000 botol. Kini mereka punya delapan karyawan.
“Laba bisnis Nares itu menjanjikan…,” ungkap Cahyaningrum dengan raut muka yakin. “Persoalan terbesar kami tentu saja di pemasaran. Tapi alhamdulillah, omzet kami meningkat terus.”
Khafidz menyatakan bahwa secara kualitas, Nares mampu bersaing dengan merek-merek essential oil luar negeri. Karena dia punya pengalaman melakukan ekspor dengan kualitas yang juga bersaing dengan produk dari negara-negara lain, maka dia yakin Nares pun akan bisa bersaing di kancah internasional.
Memerangkap aroma hujan
Kerja tetap harus dilakukan, namun Khafidz dan Cahyaningrum tak lupa bereksperimen. Suatu saat, ada pesanan dari sebuah pabrik parfum dari Prancis untuk membuat parfum dengan aroma hujan.
Khafidz tertantang bagaimana bisa memerangkap aroma hujan alias petrikor. Dia mengerjakan eksperimen itu dengan timnya, dan berhasil sekalipun hanya sedikit. Pemesannya senang, dan memesan lagi. Tapi aroma hujan itu hanya bisa diperangkap di saat hujan pertama kali jatuh setelah musim kemarau yang panjang. Itu artinya hanya bisa dikerjakan setahun sekali. “Tapi harganya mahal sekali…,” Khafidz tergelak saat mengatakan itu.
Setidaknya sekarang ini, Nares memiliki 19 jenis essential oil. Ada yang best seller, tapi ada juga yang biasa saja. Cahyaningrum memperlakukan semua produknya dengan sama. Yang laku biasa saja tetap diproduksi karena tetap ada peminatnya.
Cahyaningrum undur diri dari ruang obrolan kami karena sudah mengantuk. Saya dan Khafidz masih meneruskan obrolan. Saya menyimpan rasa takjub pada sosok di depan saya itu. Di pabrik atsirinya, dia punya 30 karyawan. Dan punya 20.000-an petani mitra di seluruh Indonesia. Bukan hanya di Jawa, tapi juga di Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan NTT.
Kami ngobrol banyak soal hal-hal yang mendalam. Tentang bagaimana dia sangat bahagia cukup dengan menyaksikan para petani kemitraannya banyak yang sukses, atau saat karyawannya bisa membeli televisi dan meja kursi di saat Lebaran, atau saat mereka mulai bisa menyekolahkan anak sampai bangku universitas. “Setidaknya, mereka yang kuliah, tidak hanya berbekal uang 300 ribu rupiah seperti saya…,” lagi-lagi, Khafidz tergelak mengenang masa lalunya.
Saya mesti mengakhiri obrolan karena waktu menunjukkan pukul 02.05 WIB. Sudah dini hari. Sebelum saya pulang, Khafidz menunjukkan kolam ikan koi-nya. Dia memang hobi mengoleksi koi. Saya yang tidak paham ikan koi, iseng bertanya, “Yang paling mahal harganya berapa?”
“Itu, Mas,” Khafidz menunjuk satu ikan. “Yang itu 50 juta harganya.”
Saya langsung terkesiap. Buset. Tapi belum selesai kekagetan saya, Khafidz menunjuk satu lagi, “Nah kalau yang itu, kemarin ditawar 75 juta tidak saya berikan.”
Saya cuma geleng-geleng kepala. “Jadi Anda itu hobi ikan atau bisnis ikan?”
Khafidz mengulum senyum malu-malu. “Hobi, Mas. Tapi kalau harganya cocok ya saya jual.”
“Mas Puthut mau ikan koi?” Dia bertanya agak serius.
Saya buru-buru menjawab tidak. “Rumah saya kecil, tidak mungkin bisa dibikin kolam ikan koi. Kolam wader pun tak mungkin….”
Kami berdua tergelak. Saya pamitan. Khafidz mengantar sampai saya menutup pintu kendaraan.
BACA JUGA Jogja di Sepotong Sayap Olive Fried Chicken dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.
[Sassy_Social_Share]