MOJOK.CO – Investigasi alias nanya-nanya doang ke sejumlah tukang ojek pangkalan di Jogja ini menemukan bahwa ada rumus Rp4 ribu/km yang dipakai tukang ojek pangkalan.
Bukan rahasia bahwa di awal kebangkitan ojek online alias ojol terjadi peperangan yang sengit antara mereka dan ojek pangkalan. Tapi waktu membuktikan ojol lebih digdaya. Banyak ojek pangkalan mulai beralih jadi ojol. Pangkalan ojek lama pun mulai mati. Tapi belakangan di mana-mana bermunculan posko ojol berdasarkan area tertentu. Aneh juga ya, pada akhirnya ojek online butuh pangkalan juga.
Di tengah arus perubahan, selalu ada yang kafah mempertahankan cara lama. Meski sedikit, masih ada tukang ojek pangkalan yang kukuh menjalankan praktik bisnis dengan cara lama. Bahkan untuk urusan tarif sekalipun mereka masih memasang harga yang boleh dikata mahal bila dibandingan dengan tarif ojol. Lalu apa yang membuat mereka menetapkan tarif segitu meski tahu bakalan susah bersaing dengan ojol?
Jawaban pertanyaan itu adalah rahasia yang ingin saya kuak. Apa iya ojek pangkalan yang terkenal mahal itu memang asal-asalan dalam menetapkan harga? Untuk menjawabnya, saya mencoba bertanya ke sejumlah tukang ojek pangkalan di seantero Jogja.
Saya menuju Terminal Giwangan, terminal bis terbesar di Jogja. Di salah satu pangkalan ojek saya menemui Suyatno yang sudah jadi tukang ojek selama 9 tahun. Menurut blio, ojek pangkalan yang ada di Giwangan, para tukangnya ya orang-orang sekitaran situ. Mereka kemudian membentuk sebuah paguyuban. Paguyuban yang Suyatno ikuti jumlahnya 30 tukang ojek. Tidak ada sif kerja, Semua bebas ingin mangkal jam berapa saja.
“Ya kalau dari sini (Terminal Giwangan) sampai Malioboro ya kita pasang tarif 30 ribu, Mas. Itu memang hampir dua kali lipat tarif ojol. Kalau ojol paling ya 18 ribu,“ kata Suyatno. Jarak dari Giwangan ke Malioboro sekitar 7 km. Pakai hitungan kasar, tarif per kilometernya sekitar 4 ribuan.
“Nawar sih masih bisa. Tetapi kalau kebangetan banget (alias harganya mendekati tarif ojol), biasanya kita tolak. Pokoknya harganya sekitaran itu, kalau nggak mau ya silakan cari ojek lain,” tambahnya.
Jarak jadi pertimbangan utama penentuan tarif. Tetapi tarif ini, menurut Suyatno, masih sama dengan 9 tahun lalu ketika ia baru mulai jadi tukang ojek.
“Pokoknya dari dulu segitu. Semua yang di paguyuban juga tarifnya sama, nggak ada yang jomplang banget. Itu ya sudah buat bensin, buat makan juga. Toh paling sehari juga cuma narik 2-3 kali. Itu uangnya juga buat arisan paguyuban. Sehari bayar seribu. Itung-itung uang absen juga. Nanti ya uangnya juga buat piknik bareng-bareng.”
“Jadi uang hasil ngojek itu ya buat hidup, buat bersosialisasi sama tukang ojek lain, dan buat senang-senang nggih, Pak?”
“Ya, gampangnya gitu lah, Mas. Hehe.”
Saya melanjutkan investigasi, halah, ke ojek pangkalan di Stasiun Lempuyangan. Di sini ojek pangkalan ternyata masih banyak. Ada sekitar 5 pos ojek di sepanjang jalan depan stasiun. Maka, maklum apabila kawasan ini jadi zona merah ojol.
Sialnya saya datang bersamaan dengan kedatangan kereta. Para tukang ojek sibuk mencari penumpang. Saya harus menunggu dulu hingga ada yang punya waktu luang.
“Sama saya aja, Mas. Saya dulu juga sempat jadi tukang ojek kok.” Seorang bapak menyapa saya. Slamet namanya, mantan tukang ojek yang kini beralih jadi tukang becak. Kata blio, jadi tukang becak sekarang sedikit lebih menjanjikan dibandingkan jadi tukang ojek pangkalan.
“Kalau untuk tarif, dari sini sampai Terminal Giwangan ya sekitar 30 ribu. Itu kalau ada yang nawar 25 juga nggak papa. Masih di atas ojol yang sekitaran 18 ribuan, tetapi ya nggak masalah. Kalau saya dulu, pokoknya ya kadang harus berani pasang harga yang bersaing dengan ojol. Wani perih dulu nggak papa. Ojek lain yang di paguyuban sini juga begitu. Kalau nggak gitu, nggak dapat uang,” cerita Slamet.
Jarak stasiun Lempuyangan ke Giwangan sekitaran 7 km juga. Tarifnya ternyata tak jauh berbeda dengan ojek di Giwangan tadi. Slamet bilang, tarif ditentukan oleh jarak dan harga-harga barang kebutuhan hidup. Kalau harga-harga naik, tarifnya naik. Cuma ya itu, kadang harus wani perih, berani agak merugi dahulu, agar tak pulang dengan tangan hampa. Namun, mereka tetap nggak mau kalau ditawar setara tarif ojol.
Sebelum ada ojol, Slamet bisa mendapat 300 ribu per hari. Setelah ada ojol ia paling cuma narik 2-3 kali dengan pendapatan 60-100 ribu. Jelas akan sangat perih jika harus menurunkan harga setara harga ojol.
Dari Lempuyangan saya melipir jauh ke Bantul, ke pertigaan Sapuangin yang ada di Jalan Srandakan. Daerah ini sengaja saya pilih untuk mendapatkan gambaran tentang ojek pangkalan di kawasan pedesaan. Di pangkalan Ojek Sahabat, begitu pangkalan tersebut dinamai, saya menemui Setiawan dan Bono yang sedang mangkal di situ.
“Kalau saya sudah 20 tahunan jadi tukang ojek,” kata Bono. Sedangkan Setiawan aslinya sopir bis. Tukang ojek hanya sampingannya kalau sedang luang.
“Biasanya sih kita nganter ke daerah Sanden, itu 20 ribu. Pernah juga nganter sampai Wates, itu 80 ribu. Yang naik biasanya memang sudah jadi pelanggan, jadi sudah hafal harganya. Yang jadi pertimbangan utama, jarak sih, soal nentuin harganya. Tentu harga bensin juga ngaruh. Terus kita juga ada arisan paguyuban, besarannya 30 ribu,” kata Bono ketika menjelaskan soal tarif.
Jarak dari pangkalan ke Sanden sekitar 5 km. Jarak ke Wates sekitar 20 km. Lagi-lagi muncul angka 4 ribu per kilometer. Hmmm….
“Tetapi, uang bukan segalanya,” Setiawan kemudian menyela, “Kalau misal ada anak sekolahan minta diantar, tetapi nggak punya uang, tetap gas. Pokoknya niat kita tetulung, saling tolong-menolong. Itu membuat kita dipercaya masyarakat sini.”
Slamet mengatakan, pangkalan ojek tersebut sempat akan digusur, namun dipertahankan oleh pemilik tanah agar dipakai untuk ojek saja. Selain itu setiap tahun masyarakat sekitar bersama tukang ojek mengadakan kenduri untuk memeringati berdirinya pangkalan ojek tersebut. Polisi juga diajak untuk mengikuti kegiatan tersebut.
“Itu menandakan bahwa kami sudah dipercaya dan menjadi bagian dari masyarakat. Jadi urusan tarif ya mereka sudah hafal dan maklum. Kalaupun ada yang nawar, pasti bukan warga sekitar sini yang biasa naik kita,” ujar Slamet lagi
Dari hasil interogasi di tiga pangkalan di atas dapat disimpulkan jarak memegang peran penting dalam penentuan tarif, diikuti harga komoditas serta biaya senang-senang atau kumpul-kumpul. Itu saya yakin bukan rahasia, Anda semua juga bisa menebaknya tanpa harus wawancara.
Hanya saja, ada satu hal menarik yang saya temui. Semuanya memasang tarif sekitar 4 ribu per kilometer. Seingat saya, ojol juga pernah menuntut tarif narik per kilometer sebesar itu, namun ditolak karena dianggap kemahalan.
Kepada para tukang ojek pangkalan tadi saya tanyakan, harga 4 ribu per kilometer itu yang menentukan siapa? Kok bisa sama semua? Apa paguyuban ojek pangkalan seluruh Jogja pernah mengadakan kongres untuk menetapkan harga standar? Apakah perang dagang Cina-AS bisa menjadi pemicu kenaikan tarif ke depannya?
Tentu pertanyaan mendetail tersebut hanya akan memusingkan mereka dan jawabannya sama semua. “YA DARI DULU EMANG SEGITU KOK, MAS, NGGAK TAHU SIAPA YANG NENTUIN”.
Jangankan mereka, saya aja pusing mikirnya. Hingga kemudian saya sadar, niat awal saya yang ingin menguak rahasia, bukannya terkuak saya justru malah mendapatkan misteri lainnya. Hadeeeh.
BACA JUGA Jika Pemancing Dimarahi Istri atau Ketemu Hantu, Ia Akan Tetap Memancing atau LIPUTAN khas Mojok lainnya.