Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Mendalam

Guru Besar Abal-Abal: Gelarnya Diperebutkan dengan Penuh Kecurangan

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
23 Oktober 2025
A A
Guru Besar Abal-Abal: Gelarnya Diperebutkan dengan Penuh Kecurangan.MOJOK.CO

Ilustrasi - Guru Besar Abal-Abal: Gelarnya Diperebutkan dengan Penuh Kecurangan (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Setiap kali membuka portal publikasi ilmiah kampusnya, Bima*, seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa, selalu menemukan nama yang sama di deretan teratas: seorang profesor yang baru saja diangkat menjadi guru besar. Jumlah artikelnya mencengangkan, hampir sepuluh publikasi ilmiah hanya dalam setahun.

“Padahal saya tahu betul, beliau sibuk sekali di jabatan struktural,” katanya, Senin (20/10/2025).

Awalnya Bima tak menaruh curiga. Namun, rasa ingin tahunya muncul saat ia melihat pola publikasi yang tak wajar: semua artikel muncul di jurnal yang tak familiar, banyak di antaranya berbayar, bahkan beberapa terindeks di situs yang reputasinya meragukan.

“Awalnya skeptis saja,” katanya. “Tapi makin dilihat, makin janggal.”

Ia pun menelusuri satu per satu. Hasilnya, beberapa jurnal tempat profesor itu menulis ternyata termasuk kategori jurnal predator–penerbit yang menjual ruang publikasi tanpa proses telaah sejawat (peer review) yang memadai.

Bima sudah melapor ke kampus. Namun, hingga kini, belum ada jawaban. Ia menduga kasus seperti ini bukan hanya terjadi di kampusnya.

“Sepertinya bukan satu dua orang. Seolah ada cara baru untuk mengejar gelar kehormatan itu, entah dengan joki publikasi, entah dengan jurnal berbayar.”

Ledakan publikasi dan bisnis jurnal predator

Dugaan Bima bukan tanpa dasar. Data BRIN menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah publikasi ilmiah dari Indonesia memang melonjak tajam, tapi  sebagian besar berasal dari jurnal tidak bereputasi.

Riset internal lembaga itu pada 2023 bahkan menemukan bahwa lebih dari 25 persen publikasi dosen Indonesia terbit di jurnal yang terindikasi predator. Bersamaan dengan itu, marak pula praktik “paper mill” atau jasa pembuatan artikel instan lengkap dengan nama penulis pesanan.

Lonjakan jumlah guru besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang nyata. Laporan Statistik Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam jabatan akademik tertinggi itu. Namun, kenaikan kuantitas tersebut tidak selalu diiringi dengan lonjakan kualitas publikasi ilmiah.

Kondisi ini sejalan dengan temuan Research Integrity Index (RI²) yang digagas Profesor Lokman I. Meho dari American University of Beirut. Dalam laporannya, RI² menempatkan 13 kampus di Indonesia ke dalam kategori risiko tinggi terhadap integritas riset.

Temuan tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan publikasi yang tidak wajar di sejumlah kampus nasional, disertai banyaknya artikel di jurnal predator dan praktik manipulatif dalam publikasi ilmiah.

Namun, yang perlu diingat, fenomena ini bukan semata soal etika individu, melainkan akibat tekanan sistemik. Dosen didorong menulis sebanyak mungkin untuk memenuhi syarat kenaikan jabatan, terutama menuju posisi tertinggi: guru besar. Setiap publikasi di jurnal internasional bereputasi bernilai tinggi dalam sistem penilaian angka kredit (KUM).

Akibatnya, terbentuklah pasar bawah tanah akademik: dari joki penulis hingga agen jasa penerbitan cepat.

Iklan

“Yang penting terbit dan diindeks. Soal mutu, belakangan,” ucap Bima.

Mengapa gelar guru besar begitu diincar?

Di tengah tekanan publikasi itu, gelar guru besar menjadi tujuan yang makin menggoda. Menurut Presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Dodi Faedlulloh, dalam kultur birokratik perguruan tinggi di Indonesia, jabatan itu bukan hanya soal keilmuan, tetapi juga simbol status dan kekuasaan.

“Guru besar memiliki privilese material dalam bentuk tunjangan fungsional, akses ke pengambil keputusan, hingga legitimasi moral sebagai intelektual senior,” ujar Dodi kepada Mojok, Rabu (22/10/2025). 

Ia berpandangan, banyak akademisi mengejar jabatan guru besar bukan semata dorongan epistemik, melainkan dorongan struktural, seperti tunjangan, posisi, dan simbol kehormatan.

“Dalam iklim seperti itu, godaan untuk mengambil jalan pintas jadi besar,” imbunya.

Hal senada disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana. Ia menyebut, fenomena guru besar di Indonesia “lebih banyak digunakan untuk status sosial atau privilege”.

Padahal, kata dia, Undang-Undang Guru dan Dosen menempatkan guru besar sebagai teladan akademik–seseorang yang menuntun arah keilmuan lewat riset, pengajaran, dan pengabdian masyarakat.

“Masalahnya, banyak yang tak punya rekam jejak tridharma yang kredibel, tapi tetap mengejar gelar itu dengan berbagai cara,” ujar dosen yang juga menjadi pegiat kebebasan akademik ini, Rabu (22/10/2025).

Jalur menuju guru besar

Untuk menjadi guru besar, seorang dosen harus mengumpulkan angka kredit dari tiga bidang tridharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Namun, bobot terbesar berasal dari publikasi ilmiah di jurnal bereputasi internasional. Semua berkas penilaian diverifikasi oleh Kemendikbudristek.

Sistem ini memang dianggap objektif karena kuantitatif dan bisa diukur. Namun, kata Dodi, justru di situlah letak masalahnya.

“Mekanisme kita relatif administratif dan sentralistik. Logika kuantitatif terlalu kuat, mengerdilkan substansi ilmiah,” jelasnya. Dalam sistem seperti itu, orisinalitas dan integritas riset kerap tersubordinasi oleh jumlah artikel yang terbit.

Di banyak negara lain, proses menjadi profesor lebih berbasis pengakuan sejawat (peer reputation). Rekan-rekan ilmuwan dalam bidang yang sama menilai kontribusi dan dampak riset seseorang secara substantif.

“Penilaian sejawat itu mengukur impact dan originality, bukan sekadar angka,” tambah Dodi.

Satria mengamini. Di kampus Eropa, katanya, prinsip kolegialitas sangat kuat.

“Komunitas akademik yang menilai apakah seseorang layak menjadi profesor atau tidak. Dasarnya bukan angka kredit, tapi rekam jejak penelitian, publikasi, dan integritas,” jelas Satria.

Praktik itu dapat ditemui, misalnya, di Swedia dan Jerman. Di universitas-universitas Swedia, penilaian calon profesor dilakukan oleh referee independen dari bidang yang sama–sejawat yang menelaah reputasi akademik dan kontribusi ilmiah kandidat secara substantif, bukan sekadar menghitung jumlah publikasi.

Sementara di Jerman, promosi ke posisi guru besar mewajibkan kandidat menunjukkan kepemimpinan ilmiah dan pengakuan internasional di komunitasnya, serta keterlibatan aktif dalam kehidupan akademik universitas.

Sistem seperti ini menegaskan bahwa gelar profesor di banyak kampus Eropa merupakan bentuk rekognisi sejawat atas reputasi dan integritas ilmuwan, bukan hasil akumulasi angka administratif. Prinsip ini, kata Satria, mestinya menjadi inspirasi tata kelola akademik Indonesia ke depan.

Celah dan jalan pintas

Sialnya, selama sistem penilaian masih berorientasi pada angka, celah untuk praktik-praktik niretik akan terus terbuka.

“Karena yang dinilai hanya output, banyak dosen akhirnya mencari cara tercepat untuk menghasilkan publikasi,” ujar Dodi. Dari sinilah muncul distorsi seperti paper mill, joki publikasi, dan ketergantungan pada jurnal predator–sebagaimana disampaikan di awal tadi.

Di sisi lain, lembaga seringkali abai. Kampus dan kementerian memberikan insentif besar untuk produktivitas publikasi, tapi hampir tidak ada penghargaan untuk riset yang bermutu atau berdampak sosial.

Sebuah riset berjudul “Trading-off Monetary Rewards as Reinforcers to Enhance Task Motivation and Performance of Publication in Academia” menunjukkan bahwa skema insentif publikasi di sejumlah universitas Indonesia lebih banyak mendorong dosen mengejar angka ketimbang mutu.

Insentif moneter memang terbukti meningkatkan jumlah artikel. Namun, ia tidak otomatis memperbaiki kualitas atau relevansi penelitian. Dosen cenderung menyesuaikan topik dan strategi publikasi agar cepat terbit, bukan agar risetnya menjawab persoalan masyarakat. Fenomena ini menandakan bagaimana sistem penghargaan akademik justru bisa menggerus motivasi ilmiah yang sejati.

“Proses menuju guru besar sering didekati secara administratif, bukan etis,” kata Dodi. “Dalam situasi itu, kampus bahkan bisa secara tidak langsung ‘memfasilitasi’ praktik tak sehat dengan membentuk tim akselerasi guru besar.”

Satria menambahkan, pelanggaran etik kini meluas dalam bentuk yang lebih subtil: dari kolaborasi semu hingga pembajakan karya mahasiswa.

“Ada dosen yang menempelkan namanya di artikel mahasiswa, atau memaksa mahasiswa menulis untuk kepentingan kenaikan jabatan,” ujarnya. “Padahal secara hukum dan etika, itu bentuk pelanggaran akademik.”

Semua ini, kata Satria, adalah gejala dari satu akar yang sama: krisis integritas di tengah sistem penghargaan yang timpang. Ketika gelar menjadi komoditas, ilmu pun kehilangan makna sosialnya.

Harus ada evaluasi

Baik Dodi maupun Satria sepakat bahwa reformasi sistem pengangkatan guru besar harus dilakukan. Evaluasi mesti bergeser dari numbers-based ke peer-based.

“Penilaian profesor seharusnya kolegial, berbasis reputasi riset dan dampak sosial ilmu,” kata Dodi.

Adapun Satria menekankan pentingnya memperkuat prinsip kolegium di setiap kampus, agar komunitas akademik punya peran menentukan siapa yang layak menyandang gelar itu.

“Guru besar harus menjadi rekognisi sejawat atas integritas dan dedikasi panjang, bukan hasil manipulasi metrik,” ujarnya.

Sementara itu, Bima–dosen yang menjadi saksi awal cerita ini–masih menunggu tindak lanjut laporannya. Ia mengaku kecewa, tapi mulai memahami bahwa persoalan yang ia lihat bukan hanya tentang satu orang profesor.

“Mungkin ini gejala sistemik,” katanya.

Ia menatap daftar publikasi di layar komputernya: nama-nama profesor baru terus bermunculan, artikel demi artikel mengalir tanpa henti. Di balik deretan karya itu, Bima melihat sesuatu yang lebih besar dari sekadar ambisi pribadi, yakni ketika angka dianggap lebih berharga daripada akal budi.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Riset Kampus di Indonesia Cuma Jadi Sampah Ilmiah, Alarm Serius buat Binus hingga Unair yang Masuk Daftar Red Flag atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 23 Oktober 2025 oleh

Tags: Dosenguru besarguru besar abal-abalguru besar kampus indonesiapilihan redaksiprofesorskandal guru besar
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO
Catatan

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.