Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Mendalam

In This Economy, Kerja Lembur Bagai Kuda Meski Gaji Tak Seberapa dan Tetap Miskin

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
27 November 2025
A A
pekerja miskin, working poor.MOJOK.CO

ilustrasi - in this economy. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Pekerja miskin atau working poor adalah “mereka yang bekerja keras untuk tetap miskin”. Ini bukan soal malas, atau kurang etos kerja. Selama kebijakan tak berpihak kelas pekerja, mereka akan selalu hidup susah.

***

Setiap pagi, sebelum matahari menembus jendela kamar kosnya yang sempit, Ardi (27) sudah terjaga. Alarm ponselnya berbunyi pukul 05.30, meskipun seringkali ia sudah bangun beberapa menit sebelumnya.

Ia tinggal di sebuah kamar kos berukuran 3×3 meter di sisi utara Sleman. Di kamar itu, hanya ada kasur lantai, kipas angin, gantungan baju seadanya, dan sebuah meja kecil tempat ia menaruh laptop.

Sudah dua tahun Ardi bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan supplier konstruksi. Ia bekerja delapan jam sehari, enam hari dalam seminggu. Total, 46 jam kerja dalam sepekan–lebih panjang dari standar jam kerja di banyak negara Asia yang rata-rata kurang dari 40 jam seminggu.

Sialnya, gajinya tak pernah bergerak jauh dari Upah Minimum Regional (UMR) Jogja. Yakni Rp2,5 juta sebulan. Setelah potongan berbagai iuran, uang kos, cicilan motor, transferan ke orang tua, dan pengeluaran makan harian, hampir tak ada yang tersisa.

“Gajian tanggal 25, jatuhnya akhirnya bulan. Tapi awal bulan udah mengkis-mengkis,” ujarnya sambil tertawa kecil, saat Mojok temui di kosnya, Rabu (26/11/2025) malam.

Alhasil, ia pun sudah lama berhenti bermimpi tentang hal-hal besar, seperti menabung untuk menikah, membeli rumah, atau sekadar liburan ke luar kota. 

“Yang penting hidup dulu,” katanya. “Nabung belakangan, kalau ada rezeki.”

Sementara di Jakarta, kisah serupa terjadi pada Mira (27), staf layanan pelanggan di sebuah perusahaan ritel elektronik. Setiap hari, ia terbangun sebelum azan Subuh, mandi, lalu berjalan cepat ke stasiun KRL yang jaraknya 900 meter dari kontrakannya.

Ia berdiri berdesakan selama hampir 40 menit perjalanan menuju Sudirman, lalu lanjut berjalan kaki sepuluh menit untuk masuk kantor pukul 08.00. Sepulang kantor, ritualnya tak jauh berbeda: menunggu gerbong yang penuh, menahan pegal, dan sampai rumah pukul 21.00.

“Belum sah jadi pekerja Jakarta kalau belum ngerasain untek-untekan di dalam KRL,” katanya, Rabu (26/11/2025)

Mira digaji Rp3,5 juta per bulan. Angka itu bahkan masih di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta. Setelah membayar kontrakan, transportasi, pulsa internet, biaya makan, serta berbagai cicilan, gajinya hanya tersisa kurang dari Rp200 ribu untuk bertahan tiga atau empat hari terakhir tiap bulan.

“Kayak kebanyakan pekerja lah, pengen beli rumah, naikin haji orang tua. Tapi ngelihat kondisi sekarang gini, kayaknya mending realistis dulu aja deh. Biaya hidup makin naik, tapi gaji enggak.”

Iklan

Working poor, bekerja keras untuk tetap miskin

Cerita Ardi dan Mira bukan fenomena langka hari ini. Mereka berdua, adalah wajah dari fenomena yang kini semakin umum terjadi di Indonesia: bekerja keras bagai kuda, tetapi tetap hidup sudah dan jauh dari sejahtera. Kondisi semacam ini dikenal sebagai working poor (pekerja miskin), istilah yang muncul untuk menggambarkan realitas baru di mana keberadaan pekerjaan tidak lagi otomatis berarti hidup layak.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menjelaskan bahwa working poor adalah mereka yang sudah bekerja–bahkan bekerja penuh waktu–tetapi pendapatannya masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, dan sering kali berada di bawah garis kemiskinan. Dalam kalimat yang lebih sederhana: “mereka bekerja keras untuk tetap miskin”.

Fenomena working poor sendiri bukan sesuatu yang lahir tiba-tiba. Konsep ini mengakar sejak era Revolusi Industri pada abad ke-18, ketika pabrik-pabrik menyerap jutaan buruh dari desa ke kota dengan janji hidup yang lebih baik, tapi yang terjadi justru sebaliknya. 

Upah murah, jam kerja panjang, dan kondisi kerja berbahaya melahirkan “kelas pekerja yang ironis”. Mereka bekerja dari fajar hingga malam, tetapi tetap hidup dalam kemiskinan struktural. Karl Marx menyebutnya sebagai reserve army of labor, yakni pasukan cadangan pekerja miskin yang menjaga upah tetap rendah karena selalu ada orang yang lebih putus asa bersiap menggantikannya. 

Profesor Ekonomi Politik Ataturk Institute, Ayse Bugra dalam bukunya Social Policy in Capitalist History (2024) menjelaskan, pada abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II, beberapa negara maju mulai membangun negara kesejahteraan (welfare state) dengan jaminan sosial, upah minimum, dan perlindungan tenaga kerja. Untuk beberapa dekade, jarak antara kerja keras dan kesejahteraan sempat sedikit terjembatani. 

Namun, kondisi itu perlahan runtuh ketika era neoliberal datang pada 1980-an, yang ditandai dengan privatisasi, deregulasi, dan pelemahan serikat pekerja. Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat menjadi ikon kebijakan yang mendorong fleksibilisasi pasar tenaga kerja: mudah merekrut, mudah mem-PHK, upah ditekan, dan pekerja digiring percaya bahwa “kesejahteraan adalah urusan individu, bukan negara”. Dari sinilah istilah working poor akhirnya menguat sebagai gejala global.

Gelombang itu kemudian menyebar ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terutama setelah krisis 1998 ketika neoliberalisme–dari structural adjustment IMF hingga percepatan investasi–menjadi fondasi besar tata kelola ekonomi. Hasilnya, adalah pasar kerja yang sangat kompetitif tapi rapuh dalam bentuk pekerja kontrak pendek, outsourcing, kemudahan PHK, dan upah minimum yang seringkali jadi arena tawar yang timpang. 

Jam kerja lama, gaji tak seberapa

Ardi dan Mira hanyalah fenomena gunung es. Sejumlah riset menunjukkan bahwa banyak pekerja di Indonesia, bahkan mereka yang bekerja jauh di atas jam kerja standar, tetap masuk kategori working poor. Fenomena ini menegaskan bahwa kemiskinan pekerja bukan muncul karena orang Indonesia kekurangan etos kerja, tetapi karena struktur upah yang tidak sebanding dengan beban kerja. 

Dalam penelitian berjudul “Having a Job Is Not Enough to Escape Poverty”, misalnya, para peneliti menemukan fakta yang mencolok. Sebagian besar pekerja miskin, kata laporan itu, justru adalah mereka yang bekerja full time, dengan jam kerja panjang, dan memiliki tingkat partisipasi tinggi di pasar tenaga kerja. Mereka bukan penganggur, bukan pemalas. Mereka pekerja keras yang terjebak dalam sistem upah rendah.

Penelitian yang memanfaatkan data panel nasional itu menunjukkan bahwa banyak pekerja miskin bekerja lebih dari 40 jam per minggu, bahkan sering melewati batas waktu kerja normal. Namun, tambahan jam kerja ini tidak otomatis menaikkan kesejahteraan karena upah per jam yang mereka terima sangat rendah. 

Hasil studi tersebut menyoroti bahwa panjangnya jam kerja di Indonesia tidak berbanding lurus dengan kemampuan pekerja memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, tempat tinggal, transportasi, dan pendidikan. Dalam banyak kasus, pendapatan yang diterima hanya cukup untuk bertahan hidup harian–tanpa ada sisa untuk menabung, apalagi investasi.

Data resmi menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja pekerja di Indonesia memang cukup tinggi. Menurut publikasi terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025, rata-rata lama bekerja per minggu mencapai 41 jam. Ini konsisten dengan gambaran bahwa banyak pekerja benar-benar masuk kategori pekerja penuh, atau bahkan bekerja lebih dari standar minimum.

Namun, di balik angka itu, kenyataannya pendapatan pekerja tetap jauh dari cukup. Masih menurut catatan BPS, rata-rata gaji bersih pekerja berada di angka Rp2,84 juta per bulan, jauh dari standar pengeluaran layak hidup bagi rumah tangga dengan beban tanggungan. 

Temuan ini membongkar mitos lama bahwa “asal kerja keras, kamu pasti bisa sukses”. Fakta lapangan justru berlawanan: jam kerja panjang tidak menjamin kesejahteraan ketika struktur ekonomi dan kebijakan upah tidak mendukung kehidupan layak. 

Kebijakan tak memihak pekerja

Dari sisi politik dan regulasi, masalah working poor juga berkaitan dengan bagaimana sistem ketenagakerjaan dan regulasi diperlakukan. Meskipun ada kebijakan upah minimum dan upaya perlindungan tenaga kerja, penerapan dan cakupannya sering tidak mencakup pekerja di sektor informal–di mana banyak pekerja rentan berada. 

Dalam “Comparative Labor Law Studies in Indonesia and Malaysia” (2025), misalnya, disebut bahwa pendekatan desentralisasi di Indonesia menyebabkan penegakan hukum ketenagakerjaan antardaerah jadi tidak merata. Sehingga, banyak pekerja tidak benar-benar mendapatkan perlindungan hukum dan upah layak meskipun regulasi secara formal ada.

Desentralisasi pemerintahan di Indonesia membuat kewenangan penegakan hukum ketenagakerjaan tersebar ke pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota), dan hal ini ternyata berakibat pada penerapan regulasi yang fragmentaris dan tidak konsisten. Studi perbandingan tersebut menunjukkan bahwa meskipun regulasi ketenagakerjaan formal ada, kemampuan institusi lokal berbeda-beda.

Beberapa daerah memiliki kapasitas birokrasi dan pengawasan yang relatif baik, sementara banyak daerah lainnya institusinya lemah, kurang sarana, atau kurang prioritas terhadap penegakan ketenagakerjaan. Artinya, pekerja di satu kabupaten bisa secara relatif terlindungi—sedangkan di kabupaten lain, ya wassalam.

Akibat ketimpangan penegakan ini, banyak pekerja–terutama di sektor informal, di daerah dengan implementasi lemah–tetap bergaji rendah, bekerja dengan kontrak fleksibel, atau tanpa jaminan sosial. Struktur ketenagakerjaan yang fleksibel (outsourcing, kontrak jangka pendek, kerja lepas) dapat dipertahankan tanpa disanksi serius karena pengawas yang lemah dan regulasi lokal yang longgar. 

Hasilnya, regulasi nasional seperti upah minimum, jam kerja, atau standard keselamatan kerja gagal menjamin bahwa pekerja benar-benar mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan.

Pada akhirnya, kisah para pekerja miskin seperti Ardi di Jogja atau Mira di Jakarta bukanlah tentang kemalasan, kurang usaha, atau kurang semangat juang. Mereka sudah bekerja dengan seluruh tenaga: bangun saat kota masih gelap, pulang ketika lampu-lampu jalan sudah padam, memeras waktu dan tenaga untuk gaji yang bahkan tak cukup mengejar kesejahteraan. 

Mereka bukan generasi manja yang tak bisa berusaha. Justru mereka generasi yang dipaksa terus berlari tanpa garis akhir. Yang kehabisan napas bukan karena kurang cepat, tetapi karena lintasan yang semakin menanjak dan aturan yang berat sebelah.

“Kita harus berhenti melihat kemiskinan sebagai masalah individu, seolah hanya masalah malas, tidak mau berusaha,” kata Ardi. “Ini soal sistem dan bagaimana negara memilih untuk tidak berpihak ke para pekerja,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Ketawa Karier di Kantor Bikin Lelah, Tidak Tertawa Sama dengan Cari Masalah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 27 November 2025 oleh

Tags: buruhpekerjapekerja miskinpilihan redaksiworking poor
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO
Catatan

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Perantau Sidoarjo nekat jadi wasit futsal demi bertahan hidup di Jogja hingga akhirnya menyerah MOJOK.CO

Perantau Sidoarjo Nekat Jadi Wasit Futsal demi Hidup di Jogja, Berujung Menyerah Kejar Mimpi di Kota Pelajar karena Realita

28 November 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.