Memilih lulus cepat dan membantu ayahnya dalam kontestasi politik adalah pilihan yang ditempuh oleh Ryan Devananda, mahasiswa UNAIR jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2020. Menggantikan peran kakaknya, Ryan membantu ayahnya, caleg Gerindra, bertarung di DPRD Surabaya di Dapil 4.
***
Jika kita bicara mahasiswa yang terjun ke politik, nama macam Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, dan Adian Napitupulu akan muncul. Tak bisa dimungkiri, bahwa merekalah top of mind topik tersebut. Makin ke sini, tak banyak nama baru yang kita dengar, tapi bukan berarti tak ada.
Ryan Devananda, jelas tak sementereng mereka. Tapi mahasiswa UNAIR Surabaya ini juga terjun ke politik, meski tak sedalam nama-nama di atas. Ryan membantu ayahnya “bertarung” di Dapil Surabaya 4, di bawah Partai Gerindra. Dan untuk membantu ayahnya, dia memilih untuk lulus cepat.
Lulus cepat demi bantu bapak nyaleg
“Faktor kenapa saya memilih lulus cepat itu gara-gara teringat 5 tahun lalu, Bapak dulu riweh banget dalam pemilu ini. Dulu ada dua kakak saya, yang juga bantu bapak. Sebelumnya saya nggak ada gambaran mau lulus cepat dan bantu bapak. Tapi saat menginjak semester 7 itu, baru kepikiran. Saat itu juga saya sudah ambil skripsi, dan kebetulan ambil tema komunikasi politik. Pas banget kan,” terangnya pada saya saat wawancara (13/04/2024).
“Saat saya mulai mengerjakan skripsi, kalau tak salah Oktober, meski belum kampanye, tapi Bapak sudah mulai ngumpulin tim. Saya saat itu masih skripsi dan magang, dan melihat Bapak sudah mulai riweh, baru itulah saya ngebut skripsi dan magang, biar bantu Bapak saat Januari dan Februari. Salah satu faktornya itu, Mas.”
“Biar bisa all out, Mas, pas bantu. Nggak kepikiran skripsi. Terlebih kakak saya udah jadi orang partai, di DPC Gerindra Surabaya, jelas sibuk banget. Mau nggak mau ya saya yang all out ke Bapak.”
Setelah Desember, saat sudah kelar semua dan lulus dari UNAIR, Ryan ikut terjun bantu Bapaknya. Seperti ikut memasang APK, bantu branding ayahnya, belajar komunikasi dengan tim, dan lain-lain.
Bantu Bapak agar branding tidak membosankan
Ryan bilang bahwa dia yang bantu Bapaknya branding. Bagi caleg muda, branding jadi hal utama. Tapi untuk caleg senior seperti Bapaknya, branding tak jadi hal utama. Dia ingin menerapkan ilmu komunikasi yang sudah dia dapat dalam kuliahnya, agar branding Bapaknya lebih fresh.
Hal seperti baliho, dokumentasi, semua didesain oleh Ryan. Alasannya seperti paragraf sebelumnya, agar lebih fresh. Bagi Ryan, cara pemasangan baliho dan hal semacamnya itu perlu diubah, agar tidak terlihat kuno, tidak meresahkan.
“Dalam hati saya tuh miris, Mas. Dari dulu melihat kampanye para politisi yang boring. Foto sembarangan, desain tidak menarik, baliho berjejeran. Makanya saya bantu Bapak, pengin kampanye bapak tuh eyecatching dan bagus. Nggak mengganggu, nggak ditaruh di depan rumah orang, trotoar.”
“Kebetulan, Bapak juga kepikiran hal yang sama.”
Belajar banyak
Dalam proses membantu bapaknya kampanye sebagai caleg Gerindra di dapil 4 Surabaya, Ryan mendapat banyak hal yang dia dapat dalam proses. Salah satunya adalah, dia mendapat insight dari banyak obrolan dari tim pemenangan. Sebagai pemuda, dia bisa jadi penyeimbang pandangan dan sumber informasi dari media sosial. Tim pemenangan dan masyarakat biasanya mendapat informasi dari media konvensional, jadi Ryan bisa memberi informasi dari sumber lain.
“Pengalaman yang kudapet juga banyak, Mas. Aku nggak mau terjun ke politik sebenere, Mas. Tapi gara-gara ikut ke lapangan inilah, jadi tau realitasnya, Mas. Selama ini aku hanya belajar teori, tapi gara-gara terjun inilah aku tahu realitasnya di masyarakat. Yang terjadi di media sosial dan di dunia nyata itu beda jauh, Mas.”
Nggak dapet masalah selama bantu caleg Gerindra
Pemilu 2024, tak bisa dimungkiri, “membelah” banyak kalangan. Tiap kalangan, punya jagonya masing-masing, dan memujanya dengan cara masing-masing. Media sosial pun jadi arena pertarungan. Sebagai anak caleg Gerindra, partai pengusung Prabowo Subianto, pastilah Ryan menemui beberapa kawannya yang berseberangan dengan Prabowo.
Saya pun bertanya pada Ryan, bagaimana reaksi dia melihat kawannya berseberangan dengan dia. Di luar dugaan, jawaban dia justru senang.
“Aku justru seneng sih, Mas, karena artinya temen-temen melek secara politik. Ikut andil, ikut argumentasi, ikut diskusi. Aku sih belum pernah lihat temen-temen ngatain sih, Mas, tapi ngomongin tentang programnya. Saya sih nggak pernah diserang secara personal. Lagi pula, ini urusan nasional, Mas, soalnya saya juga nggak terlibat langsung.”
Ryan juga mengatakan bahwa tak ada masalah yang menimpa dia sekalipun dia anak caleg Gerindra, pengusung Prabowo. Dalam pertemanan pun baik-baik saja, karena pemilu ini, katanya, pilihan partai tak melulu sejalan dengan presiden. Maksudnya, memilih partai A tak otomatis juga memilih presiden dari partai yang sama.
Pelajaran yang didapat saat kampanye caleg Gerindra
Pengalaman terjun ke kampanye caleg Gerindra ini begitu berharga untuk Ryan, lulusan UNAIR Surabaya. Dia bisa memahami apa yang masyarakat minta, belajar memimpin rapat, berorganisasi, berpolitik. Pada akhirnya, ketika dia terjun ke dunia kerja nanti, apa yang dia dapat di kampanye ini akan dia terapkan. Dunia kerja pun isinya politik, dan itu tak bisa dimungkiri, tegas lulusan UNAIR ini.
Dia tidak memungkiri bahwa dia bisa mendapat semua pengalaman ini karena punya privilege sebagai anak caleg, terlebih partai besar macam Gerindra. Bagi Ryan, hal ini kembali lagi ke orangnya. Banyak anak caleg yang tak peduli bagaimana bapak atau ibunya berkampanye dan berpolitik. Privilege, kalau tak dimanfaatkan, juga tak berguna.
Kalau masih gampang panas, mending nggak usah
Saya akhirnya bertanya, apakah dia tertarik terjun politik, dan akan menyarankan pemuda yang lain untuk terjun ke politik. Ryan menjawab mungkin dia akan terjun. Sebab, dia menikmati prosesnya. Hanya saja, dia ingin masuk partai dengan normal, alias lewat kaderisasi atau prosedur yang seharusnya. Dia tidak ingin mendompleng nama bapaknya atau dipermudah karena bapaknya.
Untuk saran terjun ke politik, Ryan menyarankan terjun saja, tapi di daerah saja, seperti pemilihan wali kota, DPR daerah, bupati, dan semacamnya. Sebab, monitoringnya lebih dekat. Selain itu, Ryan menekankan jadi relawan daerah itu bisa belajar lebih banyak. Kalau jadi relawan DPR pusat atau presiden, memang lebih banyak serunya, tapi belajarnya lebih dikit. Kebanyakan hanya jadi tim hore, dan nggak bisa belajar lebih banyak. Terlebih, monitoringnya susah.
“Temen-temen yang masih gampang panas, mending nggak usah ikut relawan legislatif.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.